Minggu, 08 Maret 2009

Politisi Berbasis Riset

Untuk melengkapi artikel saya tentang “ menjelang PEMILU 2009 “, bersama ini saya postingkan artikel tentang Politisi berbasis riset yang ditulis oleh Dhorifi Zumar dan pernah dimuat surat kabar Pikiran Rakyat, tanggal 18 Oktober 2008. Inilah tulisan beliau :
Beberapa bulan terakhir, para anggota dewan kita (legislatif) menjadi sorotan publik. Bukan karena kinerjanya yang makin bagus dan sesuai dengan harapan rakyat, melainkan lantaran perilaku menyimpang dan berbagai skandal yang mereka lakukan. Mulai dari skandal menerima suap, gratifikasi, melakukan kebohongan publik, suka melancong ke luar negeri tanpa hasil yang jelas, hingga yang lebih hina lagi yaitu melakukan skandal seksual dengan sekretaris pribadinya atau wanita panggilan.
Berbagai perilaku menyimpang dan skandal tersebut tak pelak menampar dan mencoreng institusi parlemen kita. Akibatnya, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap lembaga tersebut turun drastis. Rakyat kini semakin apatis dan skeptis dengan institusi yang dulunya terhormat tersebut. Parpol pun tak ayal menerima getahnya. Dikhawatirkan, gara-gara kasus tersebut tingkat golput (golongan putih) pada Pemilu 2009 mendatang makin meningkat.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Jika kita urai, di samping faktor mentalitas mereka yang bobrok, pengawasan yang lemah dari institusi parlemen, serta kebiasaan buruk parpol menjadikan anggota dewannya sebagai sapi perah dan mesin ATM untuk membiayai operasional partai juga ikut andil. Namun yang tak kalah penting lagi adalah karena lemahnya aktivitas riset dan penelitian yang dilakukan para anggota parlemen tersebut selama ini.
Lho kok, apa korelasi antara perilaku menyimpang dan aktivitas riset? Tesis penulis adalah bahwa berbagai perilaku menyimpang itu terjadi akibat minimnya aktivitas riset yang dilakukan anggota parlemen kita. Jika seandainya mereka rajin melakukan riset dan penelitian, mereka akan mendapatkan data-data primer dan informasi serta masukan yang konstruktif dari masyarakat, di mana itu bisa dipakai sebagai bahan untuk meningkatkan kinerjanya.
Politisi busuk melakukan berbagai perbuatan amoral lantaran mereka menganggap bahwa tidak ada feed back (umpan balik) dari masyarakat mengenai kinerjanya karena minimnya mereka turun ke bawah (turba) untuk melakukan riset (survei, observasi, polling, depth interview). Mereka menganggap bahwa masyarakat sudah menaruh kepercayaan 100% sehingga mereka bisa bebas berbuat apa saja untuk menyalahgunakan kepercayaan itu.
Selain itu, dengan melakukan aktivitas riset, konsentrasi pikiran anggota dewan akan tersedot pada objek yang sedang diteliti tersebut sehingga tidak ada celah lagi di pikiran mereka untuk melakukan perbuatan naif dan perilaku menyimpang dari akal sehat, semacam kongkalikong dan korupsi. Sebab setan itu biasanya suka memengaruhi pikiran orang yang sedang kosong dari aktivitas yang bermanfaat.
Dengan rajin melakukan aktivitas riset, para anggota parlemen itu akan mendapatkan banyak manfaat. Pertama, kinerja mereka akan makin terukur, terstruktur, dan terarah, sehingga tidak asal-asalan dan semau gue. Kedua, berbagai pernyataan dan tulisan yang dilontarkan ke publik akan makin berbobot dan komprehensif lantaran berbasis riset dan penelitian sehingga tidak asal ngomong atau bunyi (asbun) dan common sense belaka. Ketiga, membangkitkan etos dan tradisi riset di tengah masyarakat sehingga ketika mereka perlu data sudah tersedia minimal data sekunder, yaitu data yang berbasis publikasi media massa, seperti koran, majalah, buletin, televisi, radio, dan lembaga riset swasta, maupun pemerintah semisal BPS.
Kalau selama ini ada keengganan menggunakan jasa riset dari lembaga-lembaga riset yang telah ada lantaran faktor biaya yang besar dan mahal, sebenarnya itu bisa disiasati dengan membentuk tim kecil (ad hoc) dari staf mereka yang melakukan tugas layaknya lembaga riset ternama, kalau memang mereka tidak bisa turun sendiri ke lapangan. Hasil riset itu nantinya menjadi bank data yang akan menyokong tugas-tugas legislasi mereka, yang memang sangat memerlukan ketersediaan data yang valid, reliable, dan representatif.
Di banyak negara maju, Eropa dan Amerika, aktivitas riset yang dilakukan anggota parlemen, baik dilakukan sendiri atau tim ad hoc-nya (staf ahli), menjadi fenomena yang biasa. Itulah sebabnya kinerja mereka sangat kredibel dan akuntabel di mata rakyat lantaran didukung ketersediaan data yang reliable.
Idealnya, di samping masing-masing anggota parlemen kita memiliki tim riset sendiri, setiap partai politik juga mesti membuat departemen riset yang tugasnya mengumpulkan data-data sekunder maupun primer, yaitu data yang didapat dengan melakukan riset langsung di lapangan. Memang, saat ini mayoritas parpol telah memiliki departemen riset atau penelitian dan pengembangan (litbang), tetapi kerjanya tidak pernah jelas dan terukur sehingga hasilnya pun jauh dari harapan.
Tidak cukup itu saja, Sekretariat DPR/DPRD plus LSM-LSM di bidang politik juga sebetulnya wajib membuat departemen/divisi riset, yang bertugas menyuplai data dan informasi yang dibutuhkan para politisi. Dengan demikian, suatu saat nanti akan terbentuk suatu komunitas “politisi berbasis riset”.
Sejatinya, aktivitas riset itu tidak hanya jadi dominasi politisi yang telah berhasil melenggang ke gedung DPR/DPRD. Mereka yang saat ini mencalonkan diri sebagai anggota legislatif untuk Pemilu 2009 juga bisa melakukannya. Dengan riset, memungkinkan para caleg bisa memahami perilaku masyarakat atau calon pemilih, pesaing, dan tren-tren terbaru dalam bidang politik. Alhasil, mereka akan mampu mendekati dan memengaruhi para pemilih sehingga kelak mau memilihnya.
Pendeknya, jikalau tradisi riset berhasil menembus ranah politik sehingga tidak hanya menjadi dominasi masyarakat kampus, peluang terciptanya politisi yang intelek, rasional, dan kapabel sebagai antitesis dari politisi busuk dan amoral akan semakin menjadi kenyataan.

Tidak ada komentar: