Sabtu, 07 Maret 2009

Bersaing Global Dengan Ekonomi Kreatif

Melengkapi tulisan saya mengenai ekonomi dan industri kreatif, bersama ini saya postingkan tulisan dari sdr M.Ridwan Kamil, beliau adalah Principal URBANE INDONESIA dan penerima Young Design Entrepreneur of the Year 2006 dari British Council Indonesia, sebagai berikut:

Di sore yang dingin di sebuah kafe di jalan Dago Bandung, seorang anak muda bercelana pendek terlihat serius menatap layar laptop miliknya. Sesekali tangan kanannya memegang cangkir kopi untuk ia teguk. Sore itu ia tidak sedang bermain. Ia sedang bekerja mengirim program-program yang ia desain ke Google di Amerika. Untuk itu ia dibayar sangat mahal setiap bulannya.
Dunia memang sedang berubah. Keterpisahan oleh jarak dan waktu tidak lagi menjadi masalah bagi orang-orang yang bekerja di industri kreatif. Industri kreatif umumnya melahirkan inovasi-inovasi yang layak dipatenkan. Karenanya orang-orang yang bekerja di dunia penelitian sains dan teknologi, arsitek, desainer produk/mebel, desainer grafis, pemusik dan seniman adalah bagian dari keluarga besar ekonomi kreatif. Pergeseran orientasi ekonomi dunia dari ekonomi Fordist ke post-Fordist yang mengedepankan aset sumber daya manusia, telah menyebabkan persaingan luar biasa dalam merebut dan merayu talenta-talenta di dunia kreatif ini. Masa depan ekonomi dunia berada di pundak orang-orang kreatif yang mampu menyulap pengetahuan dan kreativitas menjadi inovasi yang melahirkan mesin ekonomi yang luar biasa. Dan kota-kota dunia pun berlomba-lomba merayu para talenta ini. Atau diistilahkan Richard Florida sebagai fenomena ‘global competition of talents.’ Itulah sebabnya Silicon Valley keluar sebagai pemenang. Itulah sebabnya kota-kota di Inggris dan Belanda beralih dari ekonomi berbasis industri menjadi ekonomi kreatif sebagai basis masa depan. Di Inggris mereka menghasilkan pergerakan ekonomi senilai 112 milyar Poundsterling. Di Singapura, tahun 2005 diluncurkan gerakan ekonomi kreatif dengan tema Design Singapore, Media 21 dan Rennaisance City 2.0.
Bagaimana dengan kita?
Koridor Ekonomi Kreatif Bandung-Cilegon
Jika kita lihat resep sukses Silicon Valley, yang diistilahkan Florida dengan rumus tiga T (talent, technology & tolerance), dimana nyamannya kota San Jose dengan segala fasilitas kelas dunianya bersatu dengan ribuan talenta berbakat dan jenius. Hadirnya institusi pendidikan sekelas Stanford, UC berkeley atau Caltech bersatu dengan matangnya sistem venture capital yang suportif, kita di Indonesia pun sebenarnya memiliki peluang itu. Terutama di koridor urban Bandung-Cilegon.
Dari Bandung sampai Cilegon, seperti diteliti Budi Rahardjo, sebenarnya terbentang sebuah kawasan koridor urban yang memiliki institusi pendidikan berkelas mulai dari ITB, Unpar, Unpad, UI, Untar, Trisakti sampai UPH di Karawaci yang memiliki pusat-pusat riset yang karya dan hasilnya belum tersalurkan menjadi peluang-peluang ekonomi bernilai luar biasa.
Di koridor sepanjang 250 km ini, banyak tersembunyi pekerja ekonomi kreatif di Indonesia yang diam-diam bisnisnya telah mendunia. Leo Theosabarata dengan karya kursi Accupunto; Sibarani Sofyan seorang urban designer muda yang karya-karyanya bertebaran di Malaysia, Cina dan Dubai; Christiawan Lie, komikus ‘GI Joe’ yang naik daun di Amerika; dan Castle Production di Pasar Baru Jakarta yang menghasilkan animasi kelas dunia. (Kompas 27/10)
Di koridor ini pula bertaburan manufaktur, pusat riset dan perusahaan teknologi seperti industri injection moulding plastic dan light metal. Di ruas Bekasi-Cikampek terdapat belasan manufaktur keramik, kaca, metal dan bahan-bahan bangunan lainnya. Di Bandung terdapat pusat-pusat riset teknologi seperti LIPI, Pusat mikroelektronika, RISTI, MDIC, Eckman Center, Batan dan Microsoft Innovation Center at ITB. Di kota kreatif ini pula terdapat perusahaan teknologi seperti Omedata semikonduktor, LEN, INTI, CMI telkom, Harif Tunggal telekomunikasi, Daya Engineering, Quasar telekom dan PT Dirgantara.
Meyangkut Potensi
Kini adalah saatnya kita visikan kota-kota kita untuk nyaman, melek desain dan berwawasan teknologi. Gaya hidup para talenta industri kreatif yang umumnya kosmopolitan harus difasilitasi, sehingga talenta internasional pun mau datang, hidup dan berbisnis di Indonesia. Karena pada dasarnya para talenta kreatif akan memilih tempat seperti Silicon Valley atau London yang menyediakan gaya hidup kosmopolitan, toleran, kondusif terhadap ide-ide baru, menghargai kebebasan individu dan hadirnya pemerintahan yang transparan.
Desain dan arsitektur harus dipandang sebagai bagian dari nilai tambah yang membuat ekonomi kota lebih kuat. Seperti halnya kota Bilbao di Spanyol dengan Museum Guggenheimnya yang membawa devisa 14 trilyun rupiah ke kota industri di Spanyol ini. Peluang-peluang ekonomi kreatif berbasis gaya hidup atau lifestyle adalah peluang besar. Di Bandung Factory Outlet hadir dengan omset milyaran rupiah perbulan. Industri Distro (distribution store) anak muda Bandung naik daun dengan desain clothing unik dengan
pertumbuhan yang cepat.
Suasana kreatif dan alam yang unik di tatar Parahyangan ini membuat industri musik pun berkembang. Grup musik terkenal seperti Peterpan, Seurieus, Mocca, Laluna, PAS, Rif, Elfa, Krakatau hadir berbarengan dengan puluhan grup musik Indie. Galeri-galeri seni tumbuh pesat di Bandung, seperti Galeri Barli, Galeri Sumarja, Galeri Jehan, Galeri Padi, Nyoman Nuarta Art Space, Selasar Sunaryo dengan kegiatan seni internasional yang menjadi agenda rutinnya.
Tugas kita sebagai generasi yang hidup di awal milenium ini adalah menyiapkan infrastruktur ekonomi kreatif secara matang. Kita harus menjadikan Indonesia sebagai tuan rumah yang kondusif bagi orang-orang kreatif yang cenderung dengan mudahnya beripindah lokasi ke kota-kota di dunia yang lebih siap menerima eksistesi mereka. Kalau tidak sekarang, kapan lagi kita mulai bersiap mengejar ratusan trilyun rupiah sumbangan dari industri kreatif ala Inggris? Mari kita mulai bergerak hari ini untuk menjadikan ekonomi kreatif yang berbasis ‘human capital’ ini sebagai penyelamat masa depan Indonesia.

Tidak ada komentar: