Rabu, 11 Maret 2009

Membangun Konsep Pembangunan

By GIGIH BANGUN KELANA, Pemerhati Masalah Sosial Politik

'Membangun''. Satu kata singkat tersebut bisa menggambarkan secara lengkap apa sebenarnya kewajiban pemerintah berkuasa atas Tanah Air dan rakyatnya. Menyadari kata tersebut, beberapa presiden Indonesia terdahulu menggunakan kata pembangunan dalam berbagai akronim menarik sebagai slogan.

Mantan Presiden Soeharto dapat dikatakan yang paling paham menggunakan kata pembangunan tersebut dalam jualan politiknya. Orde Baru (Orba) menekankan aspek modernisasi ekonomi yang ditandai pertumbuhan ekonomi. Untuk mengakomodasinya, muncul wacana stabilitas yang menekankan aspek-aspek keseimbangan dan keteraturan sosial (social order).

Keterkaitan antara dua wacana tersebut kemudian terwujud dalam ''trilogi pembangunan," yaitu pertumbuhan (growth), stabilitas (stability), dan kesetaraan (equity). Pengaruh wacana tersebut sangat besar sehingga selalu tampil dalam segala aspek kehidupan kemasyarakatan pada masa Orba, baik segi ekonomi, politik, sosial, maupun kebudayaan. Hal tersebut dengan apik dibahas Ariel Heryanto dalam artikelnya ''The Development of Development" Mantan Presiden Soekarno juga tak kalah hebat.

Dia memiliki berbagai akronim pula untuk menggambarkan semangatnya yang menggebu-gebu sekaligus menyilaukan rakyatnya yang haus akan pembangunan. Tak kurang slogan ''Jembatan Emas" menjadi jualan termasyhurnya akan pembangunan. Terakhir, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (SBY-JK) pun mafhum benar betapa ajaibnya kata pembangunan ini sehingga meresapkan kata pembangunan dalam slogan kampanyenya ''Bersama Kita Bisa'' dan nama kabinetnya ''Indonesia Bersatu'' yang berasosiasi dengan usaha membangun.

Pun demikian ajaibnya kata pembangunan tersebut, tak ayal kita terus bertanya apakah pembangunan itu memang terjadi di Indonesia. Berbagai bukti kegagalan akhirnya mengurangi respek rakyat terhadap sosok pemimpinnya. Pemerintah selalu digambarkan sebagai pemimpin yang memihak kepentingan para pemilik modal dan kalangan-kalangan dekatnya. Rakyat banyak hanyalah menjadi kelompok pheri-pheri di tengah pergumulan kepentingan.

Rapuh

Saat ini kita selalu berbangga diri melihat neraca ekspor-impor yang terus menanjak. Pemerintah melalui para menterinya mengampanyekan kondisi tersebut sebagai suatu keberhasilan. Namun, bisa jadi sadar atau tidak, pemerintah seakan membohongi masyarakat dengan angka dan sesuatu yang mungkin tak dapat dicerna dengan baik.

Indonesia saat ini bisa dikatakan memiliki fondasi ekonomi yang tak jauh berbeda dengan saat 20, 30, bahkan 60 tahun lalu. Kalau kita perhatikan secara menyeluruh, sebenarnya belum waktunya untuk terlalu berbangga diri. Indonesia hanya menjadi negara pheri-pheri dalam perdagangan internasional. Hasil ekspor Indonesia mayoritas merupakan barang bahan mentah dan bahan baku, sekalipun jumlahnya banyak.

Dari hasil ekspor 2006 saja, dari top 10 ekspor nonmigas Indonesia, hanya tiga yang termasuk barang jadi dan non-SDA, yaitu barang elektronik, mesin, dan pakaian jadi. Kondisi yang terjadi berbanding terbalik dengan impor Indonesia. Kita mengimpor berbagai barang dengan kualitas tinggi. Bahkan, kita masih mengimpor banyak spare parts penting untuk industri otomotif yang sudah lebih dari 30 tahun ada di Indonesia. Contoh paling mudah adalah Indonesia termasuk pengekspor logam terbesar dunia.

Tak kurang tembaga, timah, bijih besi, aluminium, dan berbagai logam lainnya diekspor ke negara seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), China, India, dan negara industri maju lainnya. Barang-barang itu kembali masuk ke pelabuhan Indonesia berbentuk barang jadi dengan nilai yang berkali-kali lipat dibanding yang merupakan nilai tambah (added value).

Akhirnya, sekalipun mengalami surplus perdagangan, pada kenyataannya Indonesia mengalami kerugian dari hilangnya kesempatan (opportunity cost) yang bisa dimanfaatkan dengan maksimalisasi SDA. Skema pengentasan kemiskinan tak juga lepas dari paradigma kuno, memberikan ikan alih-alih memberikan kail. Program seperti bantuan langsung tunai (BLT), beras untuk rakyat miskin (raskin), serta operasi pasar masih saja dilakukan.

Padahal, pola tersebut akan membuat rakyat makin tergantung pada pemerintah. Dengan itu pemerintah mempertahankan ketidakmampuan masyarakat dalam lingkaran setan ketergantungan.

Road Map dan Role Model

Pembangunan kita sebenarnya sudah tak pernah jelas lagi. Padahal, kita sebenarnya punya road map,tapi semuanya berjalan bak tak berarah. Contoh paling nyata adalah kita mencanangkan untuk menguatkan indsustri hilir. Namun nyatanya, investasi di bidang itu tak jua berkembang. Lagi-lagi, sektor migas dan perkebunan menjadi primadona. Dengan road map kita dapat mengukur secara objektif target dan pencapaian.

Kita bisa tahu apakah program pengentasan kemiskinan berjalan sesuai rencana atau tidak dan tak lagi berdebat di tataran toritis dan metodologis. Kita juga setidaknya bisa tahu seperti apa Indonesia 10 atau 20 tahun ke depan. Namun,kondisi pemerintahan yang selalu berganti membuat pelaksanaan road map ini rentan kepentingan politis. Kondisi berbeda kita temui pada masa Soeharto yang menjaga dengan kebijakan otoriternya.

Mungkin kita bisa mengonsepkan kembali suatu rencana jangka panjang macam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang harus dipatuhi siapa pun presiden yang terpilih. Pemerintah juga jangan takut untuk membangun. Jelas tidak semua kalangan yang bisa dipuaskan. Namun, tentu sudah selayaknya pemerintah lebih memuaskan rakyat kecil dibanding para kapitalis besar yang tentu bisa menyenangkan dirinya tanpa bantuan pemerintah. Kisah Kaisar Nero dari Yunani bisa memberikan ilham bagi pemerintah.

Saat itu Kaisar Nero selalu mendapat kritikan dari para kalangan orang kaya Yunani akibat kebijakan populisnya yang mementingkan rakyat. Namun, semua berbuah manis, akhirnya Kaisar Nero sampai saat ini dikenang sebagai kaisar yang peduli pada rakyatnya serta berhasil dalam membangun.

Mungkin kita semua ingat slogan Habibie sewaktu menjadi Menteri Riset dan Teknologi (Menristek) yaitu ''Bermula di Akhir dan Berakhir di Awal," untuk menggambarkan idenya guna menjadikan Indonesia negara maju berteknologi dengan menjadikan Jepang sebagai role model. Terlepas salah benarnya pola Habibie,konsep tersebut menekankan bahwa kita butuh role model. Kita akan lebih bisa menilai pembangunan yang telah terlaksana secara lebih obyektif.

Pemerintah akan lebih mudah menyuarakan keberhasilannya. Sekaligus,kaum oposan akan lebih mudah meneriakkan kekurangan pemerintah berkuasa sehingga terjadi penilaian yang obyektif dan sehat. Menarik, jika kita mengingat ungkapan dari Mao Ze Dong dalam merencanakan pembangunan perekonomian China. ''Tak peduli kucing itu hitam atau putih,yang penting dia bisa menangkap tikus." Pembangunan Indonesia butuh pola yang tepat untuk mampu mengejar ketertinggalan yang telah menyengsarakan rakyat. (*)

(//mbs)

Tidak ada komentar: