Selasa, 24 Maret 2009

Bagaimana Menilai Financial Strength suatu Perusahaan ?

By Hilman Muchsin

Ketika suatu corporate customer mengajukan permohonan atau menerima penawaran fasilitas kredit dari bank, bank wajib memiliki keyakinan yang mantap perihal kemampuan corporate customer tersebut, khususnya dalam melunasi kembali pinjamannya itu kepada bank. Dari sudut pandang bank, kemampuan calon corporate customer itu merupakan aspek yang menentukan seberapa besar creditwothiness-nya.
Hal inilah yang menjadi landasan penting bagi bank dalam mengambil keputusan pemberian kredit kepadanya.
Dalam credit analysis, bank pada mulanya memusatkan perhatiannya pada analisis atas gambaran past financial performance perusahaan yang merupakan calon debitur itu. Artinya, kesimpulan yang ditarik dari analisis tersebut sesungguhnya semata hanya didasarkan pada anggapan bahwa past performance yang bagus merupakan petunjuk bahwa kinerja perusahaan di masa depan juga akan sama baiknya pula. Suatu anggapan yang dengan berjalannya waktu kemudian dianggap belum tentu benar sehingga telah ditinggalkan. Kini aspek past financial performance hanyalah merupakan salah satu aspek saja yang dapat dipergunakan sebagai salah satu indicator dalam memperkirakan kemampuan perusahaan melunasi kembali pinjaman tersebut di masa depan.
Berkenaan dengan itu, bank dan investor kemudian mengembangkan pemikiran untuk menilai kelayakan (soundness) serta prospek kemampuan perusahaan di masa depan.
Terdapat beberapa aspek yang dapat dipertimbangkan bank dalam menilai kemantapan kinerja serta kelayakan suatu corporate company. Aspek-aspek ini yang sekaligus merupakan “Financial Strength” yang dimiliki oleh suatu perusahaan, yang mencakup beberapa unsur sebagai berikut :

1. Kemampuan perusahaan memperoleh net earning dan demikian juga kemampuannya membayar dividends secara teratur dan dalam jangka waktu tertentu sebagaimana diharapkan. Dengan demikian, dilihat dari sudut pandang perusahaan atau bagi investor yang memiliki exposure yang tinggi atas sekuritas yang berbasis equity akan lebih cenderung memilih corporate portfolio yang memiliki kemampuan pembayaran dividen yang tinggi tersebut.
Namun, dilihat dari sudut pandang kreditur, yang perlu diperhatikan adalah apa yang merupakan financial strength perusahaan. Salah satu ukuran yang dinilai startegis adalah ukuran yang menggambarkan berapa kali perusahaan mampu menghasilkan EBIT (Earning Before Interest and Taxes) dibandingkan dengan interest charge yang harus dilunasinya pada bank atau kreditur. Dari penelitian diketahui bahwa perusahaan-perusahaan yang beroperasi dengan sukses di Amerika Serikat, rata-rata memiliki besaran “EBIT to interest charge” sebesar 10,9 kali. Sementara itu, bagi perusahaan-perusahaan yang merupakan the most successful companies di Inggris memiliki EBIT to interest charge sebesar 5,5 kali.

2. Gambaran debt to equity ratio dalam neraca perusahaan yang tidak lain menggambarkan struktur modal perusahaan.
Dilihat dari sudut perusahaan, akan lebih menguntungkan baginya memiliki debt to equty ratio yang tinggi, yaitu bila biaya bunga bank masih lebih rendah dari earning capacity perusahaan atau bila debt cost masih lebih rendah dari equty funds. Dengan struktur permodalan seperti itu, perusahaan akan memiliki kemampuan memperoleh profitability yang tinggi. Perusahaan juga dapat memberi peluang yang lebih besar dalam mendorong naik harga saham perusahaan. Demikian pula perusahaan akan mampu meningkatkan nilai kekayaan pemegang saham, sekaligus memperoleh peluang yang besar pula dalam mendorong pertumbuhan perusahaan. Namun sebaliknya, dilihat dari sudut bank, bila perusahaan memiliki struktur modal dengan leverage yang terlalu tinggi, makin tinggi pun tingkat financial risk yang dihadapinya. Financial risk yang harus diantisipasi disini adalah terdapatnya cast inflow yang bersumber dari earning capacity perusahaan yang masih merupakan arus pendapatan yang mengandung tingkat uncertainty yang tinggi. Padahal, sebaliknya, cash outflow yang harus dibayar oleh perusahaan berupa pelunasan bunga dan angsuran pokok pinjaman merupakan arus pengeluaran yang pasti harus dipenuhi oleh perusahaan. Dari penelitian ternyata perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam business sectors dengan very predictable income streams (seperti : property leasing dan lain-lain) umumnya memiliki financial leverage yang tinggi. Sebaliknya, perusahaan-perusahaan yang bergerak dalam higly volatile sectors (seperti : mine exploration dan lain-lain) memiliki financial leverage yang rendah. Itu artinya pembiayaan operasional lebih banyak menggunakan equity ketimbang sumber pendanaan pinjaman dari bank. Dari penelitian ternyata perusahaan-perusahaan yang berhasil di Amerika Serikat dan inggris umumnya memiliki financial leverage yang lebih konservatif (dengan besaran debt to total asset sebesar 60 %) dibandingkan dengan di Uni Eropa yang rata-rata debt to total asset-nya mencapai di atas 70 %.

3. Beberapa kriteria lainnya, seperti : kriteria yang menggambarkan seberapa jauh kemampuan perusahaan menghasilkan (generate) net cash flow. Hal itu ditunjukan oleh ratio antara selisih current asset dan current liabilities terhadap penjualan (sales).Harus dicatat bahwa seberapa kuatnyapun kemampuan perusahaan menghasilkan net earning dan seberapa sehatnya pun struktur modal perusahaan, secara keseluruhan kekuatan itu selayaknya bertumpu pada kemampuan perusahaan menghasilkan net cash flow. Dorongan yang kuat dalam mengejar perolehan net earning dengan penerapan financial leverage yang tinggi itu pada gilirannya akan dibatasi oleh terjadinya peningkatan atas risk profile perusahaan pula. Hal itulah yang dikenal sebagai risk return trade-off. Perusahaan yang dikelola dengan sangat baik sekalipun akan tetap berhadapan dengan berbagai risiko yang tak diperkirakan dapat terjadi sebelumnya sehingga unexpexted deterioration dalam financial position-nya itu dapat terjadi sebagai akibat dari default yang dilakukan para customers-nya sendiri. Atau sebagai akibat dari memburuknya situasi perekonomian yang secara menyeluruh menimpa dunia usaha. Sebagai langkah yang berhati-hati itulah, maka diperlukan kemampuan yang tinggi dalam mengendalikan net cash flow perusahaan.

Tidak ada komentar: