Jumat, 06 Maret 2009

Hakekat Jalan Tol & Pengadaan Tanah untuk pembangunan Jalan Tol

By Hilman Muchsin

A. Hakekat Jalan Tol

Prasarana jalan dapat dikatagorikan sebagai barang publik (public goods), yang pengadaannya dilakukan oleh pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ketika APBN tidak mampu lagi membiayai prasarana jalan, badan usaha diberi ke-sempatan untuk berpartisipasi dalam penyediaan jalan melalui ske-ma pengusahaan jalan, yang kemudian dikenal dengan istilah Jalan Tol.
Melalui mekanisme pengadaan Jalan Tol yang dilalukan oleh Departemen PU, Pemerintah menyadari bahwa Jalan Tol seharus-nya bukan lagi sebagai barang publik (public goods) tetapi sudah menjadi barang privat (private goods) . Oleh karena itu investasi yang dilakukannnya harus didasarkan pada prinsip keuntungan yang menjadi jiwa dari ekonomi pasar.
Keuntungan apa saja yang didapat ?
1. Masyarakat mempunyai pilihan sebagai pengguna jalan
2. Pemerintah terbebas dari beban financial atas pengadaan jalan
3. Badan usaha (dengan segala risikonya) dapat mengoperasikan Jalan Tol dengan hak pengusahaan selama masa konsesi.
Apabila ketiga keuntungan tersebut dapat dipahami dan dime-ngerti dengan baik, maka penyelenggaraan Jalan Tol dapat me-ningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tetapi apabila salah satu da-ri ketiga keuntungan tersebut diatas tidak tercapai, maka pe-nyelenggaraan Jalan Tol akan menjadi tidak layak dan tidak suistainable.
Agar maksud dari penyelenggaraan Jalan Tol yang dilakukan oleh pemerintah tercapai, maka sedikitnya ada 4 (empat) unsur yang tercakup didalamnya, yaitu :
a. Unsur Kesepakatan kemitraan antara pemerintah dan badan usaha, diamana pemerintah melepaskan hak pembangunan dan pengelolaan jalan kepada swasta dengan pembatasan hak pengelolaan. Sedangkan badan usaha berkewajiban memba-ngun, menyediakan dana dan berhak memperoleh pembaya-ran atas investasi yang dilakukan dalam kurun waktu konsesi yang disepakati.
b. Unsur Keadilan yaitu hanya pihak yang mempergunakan ja-lan harus membayar (user charge), berbeda dengan pola pem-bangunan yang dibiayai dari hasil pajak, dimana bukan pema-kaipun harus menanggung beban pembangunan jalan.
Prinsip keadilan juga tercermin dari pembatasan konsesi pe-ngelolaan jalan. Artinya kewajiban bayar bagi pemakai hanya selama masa konsesi sudah cukup untuk menutupi biaya investasi termasuk keuntungan bagi investor.
c. Unsur Pemerataan dan Keseimbangan. Dengan pemba-ngunan Jalan Tol pertumbuhan properti dan industri menjadi sangat pesat. Hal ini berdampak positif terhadap penyerapan tenaga kerja dan tumbuhnya industri kecil-menengah, yang akhirnya pada pemerataan pendapatan.
Unsur keseimbangan tergambar pada penyebaran pembangu-nan, tidak terbatas pada kota-kota besar saja tetapi sampai ke daerah-daerah di luar kota juga terkena imbasnya.
d. Unsur Pertumbuhan Ekonomi. Dengan tanpa harus menye-butkan angka statistik, tetapi dengan kasat mata dapat dilihat bahwa dengan terjadinya pertumbuhan yang pesat pada sektor industri, perdagangan dan properti serta lancarnya pergerakan barang dan jasa dari suatu daerah ke daerah lain telah terjadi pertumbuhan ekonomi.
Dalam start-up process pengusahaan Jalan Tol, masyarakat/ pengguna jalan dan pemerintah tidak mempunyai risiko diawalnya. Sebaliknya Badan Usaha/Investor yang membangun dan menyele-nggarakan Jalan Tol mempunyai risiko yang paling besar. Agar terjadi keadilan bagi semua pihak, maka pemerintah harus secara maksimal menjelaskan dan mensosialisasikan mengenai hakekat Jalan Tol kepada Stakeholder dengan tegas dan bijak . Regulasi yang dibuat pemerintah harus dapat mengeliminir risiko-risiko yang dapat membebani badan usaha/Investor sehingga tercipta aturan main yang seragam (level of playing field).

Pembiayaan jalan tol

Pada saat ini pemerintah juga telah menunjuk pemenang tender Jalan Tol untuk sebagian ruas Jalan Tol Trans Jawa yaitu Ruas Jalan Tol yang menghubungkan daerah-daerah sepanjang pulau Jawa dari Merak sampai Banyuwangi.
Banyaknya ruas Jalan Tol yang telah dan akan dilakukan tender Investasi, membuat banyaknya pengusaha Jalan Tol mencari dana dari perbankan Indonesia untuk mendanai pembangunan Jalan Tol. Dunia perbankan Indonesia telah memberikan tanggapan yang sangat positif terhadap proyek pembangunan Jalan Tol, dan ten-tunya dengan tetap mempertimbangkan kelayakan proyek dan kre-dibilitas dari pengusaha Jalan Tol.

PENDANAAN INSTITUSI KEUANGAN DALAM NEGERI VS INSTITUSI KEUANGAN MULTINASIONAL
Pendanaan pembangunan Jalan Tol masih didominasi oleh bank dalam negeri, terutama bank pemerintah. Hal ini dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
1. Pendanaan pembangunan Jalan Tol merupakan pendana-an jangka panjang dengan pola pendanaan 10-12 tahun, sehingga setiap institusi keuangan yang akan mendanai proyek tersebut perlu menganalisa kondisi makro Indo-nesia dan kebijakan pemerintah dalam 10-12 tahun men-datang. Dengan pola jangka panjang tersebut, institusi keuangan yang lebih memahami risiko jangka panjang dan berani mengambil risiko tersebut adalah institusi keuangan dalam negeri.
2. Seluruh pendapatan Jalan Tol dalam mata uang rupiah, sehingga guna menghindari adanya risiko mata uang (currency risk) pendanaan jangka panjang dilakukan dalam mata uang rupiah. Institusi keuangan dalam negeri tentu-nya lebih memiliki potensi dalam pemberian pinjaman dalam mata uang rupiah dibanding institusi keuangan multinasional.
Berdasarkan pertimbangan tersebut, institusi keuangan dalam negeri memiliki potensi yang besar dalam melakukan penda-naan proyek Jalan Tol.

B. Pengadaan Tanah untuk Jalan Tol

Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah.
1. Fenomena yang terjadi dalam pengadaan tanah
a. Sebagian masyarakat dan khususnya pemilik lahan tidak/ belum melihat pembangunan Jalan Tol sebagai upaya peme-rintah untuk mewujudkan jaringan jalan bagi kepentingan publik. Masyarakat lebih menganggap Jalan Tol sebagai pro-yek investasi swasta yang semata-mata berorientasi pada keuntungan, persepsi ini terjadi bukan saja dikalangan ma-syarakat awam tetapi juga dikalangan wakil rakyat bahkan pemerintah sendiri. Jalan Tol disamakan dengan real estate, mall dan sebagainya. Persepsi seperti ini tentu dapat menim-bulkan skeptisme dalam keterlibatan swasta dalam pemba-ngunan Jalan Tol.
b. Pemilik lahan cenderung menganggap adanya pembangunan Jalan Tol sebagai kesempatan untuk menjual tanahnya de-ngan harga setinggi-tingginya. Posisi tawar (bargaining posi-tion) yang sangat tinggi dari pemilik
c. lahan juga menyebabkan seringkali pemilik hanya menjual lahannya apabila seluruh lahan miliknya juga dibeli (tidak semuanya dibutuhkan pemerintah).
d. Adanya keuntungan yang sangat besar yang dapat diperoleh pemilik lahan, telah menyebabkan tumbuhnya spekulan/ calo tanah.
e. Dalam pembebasan lahan untuk Jalan Tol terlalu banyak pihak yang terlibat, sehingga tidak jelas lagi siapa yang benar-benar bertanggung jawab.
f. Akhirnya pembebasan lahan menjadi sesuatu kegiatan yang tidak mempunyai kepestian besaran harga dan waktu.
2. Aspek hukum ekonomi pengadaan tanah bagi pembangunan
Menurut Sunaryati Hartono, bahwa hukum ekonomi terdiri atas hukum ekonomi pembangunan dan hukum ekonomi sosial. Hukum ekonomi pembangunan menyangkut pemikiran hukum dan kaidah hukum dalam sistem ekonomi Indonesia, sedangkan hukum ekonomi sosial menyangkut pemikiran bagaimana me-ningkatkan kesejahteraan mayarakat sebagai perorangan dalam upaya memelihara harkat dan derajat manusia. Hukum tanah dalam sistem hukum ekonomi Indonesia mempunyai fungsi se-lain dalam ekonomi pembangunan tetapi juga berkaitan dengan hukum ekonomi sosial, tanah memiliki aspek ekonomi dan sosial.
3. Pemilikan hak atas tanah dan fungsi sosial
Pemilikan hak tersebut dibatasi oleh ketentuan pasal 6 UUPA, yaitu semua hak atas tanah mempunyai mempunyai fungsi so-sial. Dalam penjelasan pasal itu dikatakan, bahwa penggunaan tanah harus sesuai dengan keadaan dan sifatnya hingga ber-manfaat bagi pemilik maupun masyarakat. kepentingan pero-rangan dan masyarakat harus seimbang sehingga hak atas tanah apapun tidak dapat digunakan semata-mata untuk kepentingan pribadi. Pasal 6 UUPA memberikan pembatasan atas kepemi-likan hak, dimana Hak Milik, HGB, HGU,dan Hak Pakai memi-liki fungsi sosial. Suatu konsekuensi ini yaitu seseorang akan kehilangan hak miliknya apabila hak milik atas tanah tersebut dibutuhkan bagi pembangunan terutama pembangunan bagi ke-pentingan umum, harus dilepaskan dan meskipun dalam penga-daan tanah selalu ada ganti rugi namun dalam praktek ganti rugi itu sering tidak sepadan dengan nilai kehidupan ekonomi keluar-ga sebelum dilakukannya pelepasan hak tersebut.
4. Masalah pelepasan hak atas tanah bagi pembangunan
Pembangunan untuk kepentingan umum khususnya dalam pembangunan infrastruktur sering dibutuhkan lahan tanah yang strategis, dan lahan tersebut pada umumnya dimiliki perora-ngan, badan hukum atau masyarakat. Sebagaimana diatur dalam Perpres No. 65 tahun 2006 ada beberapa cara pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum yang dalam Per-pres tersebut dipersempit pada pembangunan infrastruktur.
Cara pengadaan tanah yang diatur dalam pasal 2 tersebut adalah:
a. Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk ke-pentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah.
b. Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilakukan dengan cara jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati secara sukarela oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
5. Pengadaan tanah bagi kepentingan umum
Masalah yang paling rumit dalam pengadaan tanah bagi pem-bangunan, yaitu apabila tidak dapat dicapai kesepakatan antara pemilik tanah dengan pihak yang membangun. Dalam keten-tuan Perpres No. 36 tahun 2005 yang diubah dengan Perpres No. 65 tahun 2006 dalam pembangunan infrastruktur ini di-mungkinkan pencabutan hak atas tanah yang akan dipergunakan dalam pembangunan.

Pasal 18 Perpres No. 36 tahun 2005 menyebutkan :
• Ayat (1)
Apabila upaya penyelesaian yang ditempuh Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri tetap tidak dite-rima oleh pemegang hak atas tanah dan lokasi pemba-ngunan yang bersangkutan tidak dapat dipindahkan, maka Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan mengajukan usul penyelesaian dengan cara pencabutan hak atas tanah berdasarkan Undang-undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atasnya.

• Ayat (2)
Usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh Bupati/Walikota atau Gubernur atau Menteri Dalam Negeri sesuai kewenangan kepada Kepala Badan Pertanahan NasionaI dengan tembusan kepada menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

• Ayat (3)
Setelah menerima usul penyelesaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Kepala Badan Pertanahan Nasional berkonsultasi dengan menteri dari instansi yang memerlukan tanah dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

• Ayat (4)
Permintaan untuk melakukan pencabutan hak atas tanah tersebut disampaikan kepada Presiden oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional yang ditandatangani oleh menteri dari instansi yang memerlukan tanah, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.

Tambahan pasal 18 A pada Perpres No. 65 tahun 2006 :
Apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden, karena di-anggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peratu-ran Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya.

Tidak ada komentar: