Selasa, 10 Maret 2009

Kredit pada korporasi

By Hilman Muchsin

1.RISIKO KREDIT PADA KORPORASI

Ketika suatu perusahaan mengajukan permohonan atau menerima penawaran fasilitas kredit dari Bank, Bank wajib memi-liki keyakinan yang mantap mengenai kemampuan perusahaan tersebut, khususnya dalam hal kemampuan untuk melunasi kem-bali pinjamannya itu kepada Bank. Dari sudut pandang Bank, kemampuan calon Debitur itu merupakan aspek yang paling me-nentukan seberapa besar creditwothiness-nya. Kredibilitas, pengalaman dalam pengelolaan organisasi perusahaan dan kemampuan keuangan dalam mendanai proyek dalam kaitan untuk porsi pen-danaan sendiri (self financing), merupakan hal yang paling utama bagi Bank dalam mempertimbangkan kelayakan dari calon Debi-tur untuk bisa mendapatkan fasilitas kredit tersebut. Hal inilah yang menjadi landasan penting bagi Bank dalam mengambil keputusan pemberian kredit kepadanya.
Bank pertama kali memusatkan perhatiannya pada analisis atas gambaran past financial performance dari perusahaan yang merupakan calon debitur itu. Artinya, kesimpulan yang ditarik dari analisis tersebut sesungguhnya semata-mata hanya didasarkan pada anggapan bahwa past performance yang baik meru-pakan petunjuk bahwa kinerja perusahaan di masa depan juga akan sama baiknya pula. Kini aspek past financial performance hanyalah merupakan salah satu aspek saja yang dapat dipergunakan sebagai salah satu indikator dalam memperkirakan kemampuan dari organisasi perusahaan untuk dapat melunasi kembali pinja-man tersebut di masa depan. Berkenaan dengan hal tersebut, bank dan investor kemudian mengembangkan pemikiran untuk menilai kelayakan (soundness) serta prospek kemampuan perusahaan di masa depan.

2.ANALISIS KREDIT KOPORASI

Analisis kredit adalah penelitian yang dilakukan oleh account officer terhadap kelayakan perusahaan, kelayakan usaha nasabah, kebutuhan kredit, kemepuan menghasilkan laba, sumber pelunasan kredit, serta jaminan yang tersedia untuk mengcover permohonan kredit.
Tujuan dari analisis kredit adalah untuk memperoleh keyakinan, Apakah usaha nasabah layak ?, apakah nasabah mempunyai kemampuan memenuhi kewajibannya kepada Bank baik bunga maupun pokok sesuai dengan kesepakatan ?. Hal ini terjadi kare-na bank menghadapi risiko, yaitu tidak kembalinya uang yang dipinjamkan. Jadi hal yang harus diperhatikan Bank adalah kema-uan dan kemampuan untuk memenuhi kewajibannya.Dalam menganalisis kredit harus mencajup penilaian kualitatif maupun kuantitatif.
Ada perbedaan yang mendasar dalam menerapkan corporate credit analysis antara bank-bank komersial dan bank pembangunan. Corporate credit analysis yang dilakukan oleh suatu bank pembangunan pada dasarnya lebih mengarah pada pembahasan suatu proposal project financing dari sudut pandang kemaslahatan pembangunan ekonomi. Latar belakangnya sederhana, yaitu karena suatu bank pembangunan lebih terfokus pada upaya mengembangkan investasi dengan membangun dan mengembangkan proyek-proyek industri yang berjangka panjang. Dengan demikian, ukuran keberhasilan pada corporate credit analysis yang dite-rapkan oleh suatu Bank Pembangunan itu lebih bersifat makro. Sementara itu, coporate credit analysis yang dilakukan oleh suatu Bank komersial yang lebih terfokus pada ukuran keberhasilan yang bersifat mikro. Perhatian utama bank-bank komersial ini lebih banyak ditunjukan pada pemberian kredit modal kerja untuk menjaga dan mengembang-kan kegiatan produktif unit-unit industri kegiatan bisnis yang sedang berjalan.
Coporate credit analysis yang diterapkan oleh suatu Bank Komersial hingga saat ini masih didominasi oleh penggunaan financial ratio analysis dan penggunaan model yang didasarkan pada asumsi-asumsi tertentu. Biasanya bank melakukan kajian atas past financial performance perusahan dalam jangka waktu tiga-lima tahun terakhir, disamping itu juga, gambaran dari financial projection-nya sepanjang periode yang sedikitnya sama dengan rencana jangka waktu pelunasan kembali pinjamannya pada bank.
Terdapat beberapa unsur financial statement perusahaan yang dikaji dalam coporate credit analysis tersebut, yaitu :

1. Struktur neraca perusahaan;
2. Income statement atau perkiraan laba-rugi perusahaan :
3. Cash flow perusahaan :
4. Perhitungan atas kewajiban perpajakan yang harus dipenuhi oleh perusahaan.

Adapun financial ratio analysis yang diolah dari financial statement tersebut dapat dikembangkan lebih jauh untuk menyusun suatu grading models. Hal itu dilakukan misalnya dengan membuat perbandingan antar rasio tertentu dari sejumlah kelompok indus-tri secara rata-rata dengan performance ratio dari perusahaan yang berbeda dalam penilaian. Cara pengembangan ini dikenal sebagai univariate analysis atau dapat juga angka-angka rasio tersebut disu-sun ke dalam bentuk scoring system yang merupakan bagian dari multivariate analysis.
Diketahui bahwa penggunaan corporate credit analysis oleh perbankan pada umumnya dirasakan telah menjadi kurang efektif. Hal itu terutama di sebabkan oleh kerap terjadinya “manipulasi” atas angka-angka seperti dicakup dalam balance sheet dan income statement. Meskipun penyempurnaan atas accounting system dengan berbagai rambu-rambu pengaman terus dikembangkan, tetap saja masih terbuka celah yang memungkinkan dilakukannya mark-up atas earning perusahaan.
Oleh karena itu, company evaluations sering kali lebih banyak didasarkan atas ukuran performance yang tangible seperti jumlah pembayaran dividen ditambah penambahan nilai net asset per lem-bar saham dan lain-lain. Hal itu tentu berbeda dengan ukuran-ukuran berupa earning yang dihasilkan oleh perusahaan tersebut.
Namun demikian, penilaian atas financial performance perusa-haan melalui financial ratio analysis tetap merupakan langkah yang penting karena dapat mencegah terjadinya “bubble” valuations. Hal inilah yang pada gilirannya dapat mengakibatkan terjadinya over-landing yang menyebabkan default.


3.FINANCIAL RATIO

Unsur-unsur rasio yang dapat dianggap sebagai key financial ratios seutuhnya tergantung pada kaitan penggunaaan ratio analysis itu sendiri. Sebagai contoh standard & Poor dalam menyusun corporate rating criteria melakukan kajian atas delapan key financial ratios yang meliputi : EBIT interest coverage , EBITDA interest coverage , funds from operations to total debt , free operating cash flow to total debt , pretax return on capital , operating, income to sales , long term debt to capitalization dan total debt to to capitalization.
Dalam upaya mengungkap kinerja perusahaan yang digunakan dalam corporate credit analysis terdapat empat kelompok key financial ratios yang meliputi sebagai berikut.

3.1 Kinerja Operasional Perusahaan

Kinerja operasional (operating performance) dari organisasi perusahaan diwakili oleh gambaran berikut ini:
a. Return on equity, yaitu Net income (earning after taxes) dibagi net worth (owners funds). Angka return on equty ini mengukur besarnya absolute return yang dapat dinikmati oleh share holders. Makin tinggi angka return on equity ini maka makin besar pula peluang naiknya harga saham perusahaan di pasar modal dan makin mudah pula bagi perusahaan memperoleh akses dalam menarik sumber-sumber pendanaan yang baru.
b. Investment turn over, yaitu Total sales dibagi fixed asset. Angka investment turn over ini menggambarkan seberapa besar tingkat utilisasi investasi, yang apabila juga diikuti dengan tinggi angka margin, return on investment yang tinggi merupakan indikasi bahwa payback period atas investasi yang ditanamkan dalam perusahaan atau invest-ment project tersebut, menjadi relatif lebih cepat.

3.2 Kemampuan Bayar Utang Perusahaan (Debt Service Capability)

Debt service capability perusahaan menggambarkan seberapa jauh perusahaan mampu menghasilkan net cash flow yang jumlahnya mampu dipergunakan untuk melunasi kewajiban pembayaran bunga pinjaman pada bank. Hal itu dapat di-gambarkan melalui penghitungan berupa pembagian antara (operating profit plus depreciation) dibagi (kewajiban pembaya-ran bunga dan pelunasan angsuran pokok pinjaman) dalam suatu cash flow projection yang meliputi jangka waktu tertentu.
Melalui perhitungan tersebut, Bank akan memperoleh gambaran yang jelas seberapa besar kemampuan perusaha-an mampu memenuhi kewajiban-kewajibannya pada Bank. Bila gambaran itu dijabarkan dalam suatu cash-flow projection, juga akan dapat diketahui pada periode waktu kapan saja perusahaan berada dalam kondisi yang kritis di mana debt service ratio-nya saat itu hanya sekitar satu kali saja. Bila sedikit saja terjadi kemelesetan (apakah karena net earning yang menurun atau karena tingkat suku bunga bank yang meningkat), perusahaan berada dalam kondisi yang cenderung default.

3.3 Gambaran Struktur Modal Perusahaan

Struktur Modal perusahaan digambarkan oleh angka yang dihasilkan dari pembagian antara angka long term debt dibagi dengan angka besaran modal perusahaan. Tingginya angka leverage ini merupakan ajang dari tarik-menarik kepentingan antara pemegang saham perusahaan (pemilik) dan bank (kreditur). Semakin besar pinjaman, maka risikonya juga makin tinggi. Namun bagi pemegang saham, bila return yang dihasilkan masih lebih tinggi dari tingkat suku bunga atau bila debt cost masih lebih rendah dari return atas equity fund, financial leverage yang lebih tinggi merupakan strategi pembiayaan yang lebih baik.
Dengan strategi seperti ini, maka peluang untuk memperoleh tingkat profitability yang lebih tinggi menjadi terbuka, sehingga harga sahampun akan cenderung meningkat dan growth perusahaan menjadi lebih besar pula.
Namun sebaliknya bagi kreditur atau bank, dari sudut pan-dang bank, financial leverage yang tinggi mengandung default risk yang tinggi pula yang dapat dilakukan oleh debitur. Mengapa? Semua unsur debt dalam neraca perusahaan merupakan cermin dari terdapatnya suatu klaim pihak ketiga terhadap perusahaan. Klaim tersebut merupakan unsur yang pasti bahwa perusahaan harus memikul beban cash outflow pelunasan bunga dan pembayaran angsuran pokok pinjaman. Padahal sumber pendanaan untuk memenuhi klaim tersebut berasal dari net earning yang masih mengandung unsur ketidak-pastian.

3.4 Gambaran Likuiditas Perusahaan

Likuiditas perusahaan merupakan aspek yang sangat strategis dan mengandung unsur risiko yang wajib diper-hitungkan, terlepas dari kenyataan apakah perusahaan memiliki profit performance yang bagus, karena bila pada suatu periode tertentu perusahaan tidak dapat memenuhi pembayaran atas kewajiban-kewajibannya yang sifatnya segera, sesungguhnya perusahaan sedang berada dalam financial crisis. Likuiditas perusahaan antara lain, diwakili oleh angka current ratio yang dihasilkan dari pembagian antara angka current assets dan current liabilities.

Disamping angka current ratio, terdapat pula angka quick ratio, angka working capital to sales ratio yang dilakukan oleh organisasi perusahaan. Angka working capital to sales ratio ini merupakan indikator yang mampu mengungkapkan gejala yang tidak dapat dideteksi oleh angka current ratio dan quick ratio tersebut. Adapun angka working capital to sales ratio ini menggambarkan seberapa besar masih tersedianya the short terrn suplus liquidity untuk mendukung annual operating cash flow yang diperlukan dalam menjamin berlanjutnya kegiatan operasional bagi organisasi perusahaan.

Bukan tidak mungkin bahwa perusahaan berada dalam keadaan yang “overtrading” dimana tidak tersedia cukup sumber-sumber dana yang likuid, yang sangat diperlukan untuk menopang modal kerja perusahaan dalam rangka menjaga keberlangsungan kegiatan operasional perusahaan. Risiko overtrading itu terjadi bila nilai angka penjualan berkembang lebih cepat ketimbang kemampuan perusahaan dalam membentuk dan mempertahankan besaran modal kerja yang diperlukan. Hal itu dapat terjadi pula bila modal kerja perusahaan berada dalam kondisi statis.

Tidak ada komentar: