Jumat, 27 Maret 2009

Indonesia : Siapa yang Berdaulat, Pasar atau Rakyat ???

Banyak orang mengatasnamakan rakyat. Ada yang melakukannya secara benar demi kepentingan rakyat semata, tetapi ada pula yang melakukannya demi kepentingan pribadi atau kelompok. Yang terakhir ini tentulah merupakan tindakan yang tidak terpuji. Namun yang lebih berbahaya dan itu adalah bahwa banyak di antara mereka, baik yang menuding ataupun yang dituding dalam mengatasnamakan rakyat, adalah bahwa mereka kurang sepenuhnya memahami arti dan makna rakyat serta dimensi yang melingkupinya.

Selama ini kebijaksanaan pembangunan Indonesia lebih dipengaruhi secara tidak wajar dan telah terkecoh oleh teori-teori ekonomi Neoklasik versi Amerika yang agresif khususnya dalam ketundukannya pada aturan-aturan tentang kebebasan pasar, yang keliru menganggap bahwa ilmu ekonomi adalah obyektif dan bebas nilai, yang menunjuk secara keliru pada pengalaman pembangunan Amerika, dan yang semuanya jelas tidak tepat sebagai obat bagi masalah-masalah yang dihadapi masyarakat Indonesia dewasa ini.

Pakar-pakar ekonomi Indonesia yang memperoleh pendidikan ilmu ekonomi “Mazhab Amerika”, pulang ke negerinya dengan penguasaan peralatan teori ekonomi yang abstrak, dan serta merta merumuskan dan menerapkan kebijakan ekonomi yang menghasilkan pertumbuhan, yang menurut mereka juga akan membawa kesejahteraan dan kebahagiaan bagi rakyat dan bangsa Indonesia.

Para “teknokrat” ini bergaul akrab dengan pakar-pakar dari IMF dan Bank Dunia, dan mereka segera tersandera ajaran dogmatis tentang pasar, dengan alasan untuk menemukan “lembaga dan harga-harga yang tepat”, dan selanjutnya menggerakkan mereka lebih lanjut pada penelitian-penelitian dan arah kebijaksanaan yang memuja-muja persaingan atomistik, intervensi pemerintah yang minimal, dan menganggung-agungkan keajaiban pasar sebagai sistem ekonomi yang baru saja dimenangkan. Doktrin ini sungguh sangat kuat daya pengaruhnya terutama sejak jatuhnya rezim Stalin di Eropa Tengah dan Timur dan bekas Uni Soviet. Nampaknya sudah berlaku pernyataan “kini kita semua sudah menjadi kapitalis”. Sudahkah kita sampai pada “akhir sejarah ekonomi? ”. Belum tentu.

Praktek-praktek perilaku yang diajarkan paham ekonomi yang demikian, dan upaya mempertahankannya berdasarkan pemahaman yang tidak lengkap dari perekonomian, hukum, dan sejarah bangsa Amerika, mengakibatkan terjadinya praktek-praktek yang keliru secara intelektual yang harus dibayar mahal oleh Negara-negara berkembanh termasuk Indonesia. Komitmen pada model-model ekonomi abstrak dan kepalsuan pengetahuan tentang proses pembangunan, mengancam secara serius keutuhan bangsa dan keserasian politik bangsa Indonesia yang lokasinya terpencar luas di pulau-pulau yang menjadi rawan karena sejarah, demografi, dominasi dan campur tangan asing, dan ancaman globalisasi yang garang.

Globalisasi merupakan kekuatan serakah dari sistem kapitalisme-liberalisme yang harus dilawan dengan kekuatan ekonomi-politik nasional yang didasarkan pada ekonomi rakyat. Semasa krismon kekuatan ekonomi rakyat telah terbukti mampu bertahan. Ekonomi rakyat benar-benar tahan banting. Survey Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (Sakerti) 3 (Juni – Desember 2000) membuktikan hal itu dengan menunjukkan 70% rumah tangga meningkat standar hidupnya. Krismon memang lebih menerpa orang-orang kota dan menguntungkan orang-orang desa. Bagi kebanyakan orang desa tidak ada krisis ekonomi. Kesan krisis ekonomi memang dibesar-besarkan oleh mereka yang tidak lagi mampu “berburu rente” (rent seekers) yang bermimpi masih dapat kembalinya sistem ekonomi “persaingan monopolistik” yang lebih menguntungkan sekelompok kecil orang/pengusaha kaya tetapi merugikan sebagian besar golongan kecil ekonomi rakyat

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksana¬kan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka seharusnya kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.

kerakyatan dalam sistem ekonomi mengetengahkan pentingnya pengutamaan kepentingan rakyat dan hajat hidup orang banyak, yang bersumber pada kedaulatan rakyat atau demokrasi. Oleh karena itu, dalam sistem ekonomi berlaku demokrasi ekonomi yang tidak menghendaki “otokrasi ekonomi”, sebagaimana pula demokrasi politik menolak “otokrasi politik”.

Dari pengertian mengenai demokrasi ekonomi seperti dikemukakan di atas, maka kita membedakan antara private interests dengan public interest. Dari sini perlu kita mengingatkan agar tidak mudah menggunakan istilah “privatisasi” dalam menjuali BUMN. BUMN sarat dengan makna kerakyatan dan bersifat publik. BUMN ada untuk menjaga hajat hidup orang banyak. Yang kita tuju bukanlah “privatisasi” tetapi adalah “go-public’, di mana pemilikan BUMN meliputi masyarakat luas yang lebih menjamin arti “usaha bersama” berdasar atas “asas kekeluargaan”. Go-public haruslah diatur (managed) untuk menjamin partisipasi nyata rakyat luas dalam kepemilikan aset nasional.
Kesalahan utama kita dewasa ini terletak pada sikap Indonesia yang kelewat mengagumi pasar-bebas. Kita telah menobatkan pasar-bebas sebagal “berdaulat” mengganti dan menggeser kedaulatan rakyat.
Kita telah menjadikan pasar sebagal “berhala” baru.
Kita boleh heran akan kekaguman ini, mengapa dikatakan Kabinet harus ramah terhadap pasar, mengapa kriteria menjadi menteri ekonomi harus orang yang bersahabat kepada pasar. Bahkan sekelompok ekonom tertentu mengharapkan Presiden pun harus ramah terhadap pasar. Mengapa kita harus keliru sejauh ini ? Mengapa tidak sebaliknya bahwa pasarlah yang harus bersahabat kepada rakyat, petani, nelayan,dll

Siapakah sebenarnya pasar itu?

Pasar harus dapat terkontrol, terkendali, pasar bukan tempat kita tergantung sepenuhnya, tetapi sebaliknya pasarlah, sebagai “alat” ekonomi, yang harus mengabdi kepada negara. Adalah kekeliruan besar menganggap pasar sebagai “omniscient” dan “omnipotent” sehingga mampu mendobrak ketimpangan struktural. Adalah naif mennanggap “pasar-bebas” adalah riil. Yang lebih riil sebagai kenyataan adalah embargo, proteksi terselubung, unfair competition, monopoli terselubung (copyrights, patents, intellectual property rights dan tak terkecuali embargo dan economic sanctions sebagai kepentingan politik yang mendominasi dan mendistorsi pasar.

Apabila pasar tidak dikontrol oleh negara, apabila pasar kita biarkan bebas sehingga pasar-bebas kita jadikan “berhala” dan kita nobatkan sebagai kaisar berdaufat, maka berarti kita membiarkan pasar menggusur kedaulatan rakyat. Padahal menegaskan bahwa rakyatlah yang berdaulat, bukan pasar.

Memprihatinkan sekali bahwa kita menyongsong sistem ekonomi pasar-bebas lebih berapi-api daripada orang-orang Utara. Kita praktekkan liberalisme dan kapitalisme di sini lebih hebat daripada di negara-negara Utara. Kita bahkan menjadi juru bicara sistem ekonomi pasar-bebas untuk kepentingan mereka.

Tidak ada yang dapat mengabaikan peranan pasar.

Kita pun memelihara ekonomi pasar.

Yang kita tolak adalah pasar-bebas.

Pasar-bebas adalah imaginer, yang hanya ada dalam buku teks, berdasar asumsi berlaku sepenuhnya persaingan bebas. Dalam realitas, tidak ada persaingan bebas sepenuhnya, kepentingan non-ekonomi, khususnya kepentingan politik (lokal atau global), telah mendistorsi dan menghalangi terjadinya persaingan bebas (embargo, economic sanctions, disguised protections, strict patents and copy rights, dll). Tanpa persaingan bebas, sebagaimana dalam kenyataannya, tidak akan ada pasar-bebas yang sebenarnya. Maka Adam Smith boleh terperanjat bahwa the invisible hand has turned into a dirty hand.
Pasar-bebas akan menggagalkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Pasar-bebas dapat mengganjal cita-cita Proklamasi Kemerdekaan untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, pasar-bebas memarginalisasi yang lemah dan miskin.

Pasar-bebas bahkan diskriminatif terhadap yang rendah produktivitasnya (tidak efisien), akibatnya tidak mudah memperoleh alokasi kredit yang berdasar profitability itu. Pasar-bebas jelas melintangi hak demokrasi ekonomi rakyat, yang miskin tanpa daya beli akan hanya menjadi penonton belaka, berada di luar pagar-pagar transaksi ekonomi. Pasar-bebas melahirkan privatisasi yang melepaskan cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak ke tangan individu-individu. Pasar-bebas mencari keuntungan ekonomi bagi orang-seorang, bukan manfaat ekonomi bagi masyarakat.

Pasar-bebas menggeser dan bahkan menggusur rakyat dari tanah dan usaha-usaha ekonominya. Pasar-bebas, yang terbukti tidak omniscient dan omnipotent mampu mengatasi bahkan memperkukuh ketimpangan struktural, lantas mendorong terbentuknya polarisasi sosial-ekonomi, memperenggang integrasi sosial dan persatuan nasional. Pasar-bebas memelihara sistem ekonomi subordinasi yang eksploitatif, non-partisipatif dan non-emansipatif, atas kerugian yang lemah. Kemudian pasar-bebas mengacau pikiran kita, melumpuhkan misi-misi mulia dan mendorong lidah kita bicara palsu : anti subsidi dan anti proteksi secara membabi-buta, demi efisiensi. Pasar-bebas mereduksi manusia sebagai sumber daya insani menjadi sumber daya manusia atau faktor produksi ekonomi belaka. Dengan pasar-bebas maka people empowerment kelewat sering berubah menjadi people disempowerment.

Dalam pemikiran ekonomi yang menganut pasar-bebas, efisiensi tak lain merupakan suatu “keterpaksaan ekonomi” untuk bertahan hidup dan meraih keuntungan ekonomi (lebih berdasar zero-sum daripada non-zero-sum), yang harus dicapai melalui bersaing. Sedang di dalam pemikiran ekonomi yang mengakui kerjasama mutualitas sebagai kekuatan ekonorni, maka efisiensi merupakan “kewajiban hidup berekonomi”. Ekonomi persaingan berjangkauan kepentingan parsial (nilai-tambah ekonomi), sedang ekonomi kerjasama berjangkauan kepentingan multi-parsial yang lebih lengkap dan menyeluruh (mencakup nilai-tambah ekonomi dan nilai-tambah sosial-kultural sekaligus).

Di antara perubahan-perubahan global dalam titian perjalanan peradaban bangsa bangsa adalah masalah kemandirian bangsa, atau kemandirian kelompok masyarakat, bahkan kemandirian diri, selalu terlekat pada nilai-nilai peradaban yang “abadi”, yaitu harga diri dan jati diri (sunatullah).

Kemandirian (self-reliance) adalah suatu konsep yang sering dihubungkan program-program pembangunan, dirancang secara sistematis agar individu maupun masyarakat menjadi subyek dari pembangunan. Walaupun kemandirian, sebagai filosofi pembangunan, juga dianut oleh negara-negara yang telah maju secara ekonomi, tetapi konsep ini lebih banyak dihubungkan dengan pembangunan yang dilaksanakan oleh negara-negara sedang berkembang.

Konsep ini tidak hanya mencakup pengertian kecukupan diri (self-sufficiency) di bidang ekonomi, tetapi juga meliputi faktor manusia secara pribadi, yang di dalamnya mengandung unsur penemuan diri (self-discovery) berdasarkan kepercayaan diri (sef-confidence). Kemandirian adalah satu sikap yang mengutamakan kemampuan diri sendiri dalam mengatasi pelbagai masalah demi mencapai satu tujuan, tanpa menutup diri terhadap pelbagai kemungkinan kerjasama yang saling menguntungkan.

Dalam pengertian sosial atau pergaulan antar manusia (kelompok, komunitas), kemandirian juga bermakna sebagai organisasi diri (sef-organization) atau manajemen diri (self-management). Unsur-unsur tersebut saling berinteraksi dan melengkapi sehingga muncul suatu keseimbangan. Pada aras ini, pencarian pola yang tepat, agar interaksi antar unsur selalu mencapai keseimbangan, menjadi sangat penting. Setiap keseimbangan yang dicapai akan menjadi landasan bagi perkembangan berikutnya. Proses kemandirian adalah proses yang berjalan tanpa ujung.
Kemandirian memang bukan eksklusivisme, isolasionisme atau parochialisme sempit. Kerjasama antar ummat manusia menjadi nilai baru yang menjadi tuntunan pemikiran baru untuk menandingi dan mengimbangi kerakusan dominasi, penaklukan dan eksploitasi antarbangsa dan manusia.

Sikap mandiri harus dijadikan tolok ukur keberhasilan, yakni apakah rakyat atau masyarakat menjadi lebih mandiri (baca: bebas) atau malah semakin bergantung.
Kini kita menghadapi persoalan konkret. Usaha-usaha besar, karena mendapat berbagai privilese tumbuh dengan cepat, namun kemudian ambruk. Usaha-usaha ekonomi rakyat, memang terbukti mampu menyelamatkan ekonomi Indonesia dari krisis, namun tetap berjalan tertatih-tatih karena keterbatasan akses. Begitulah, dengan segala kekuatan dan kelemahannya, setidaknya kedua modal itulah yang kini kita miliki.
Menyadari adanya dua modal tersebut, perlu ada transformasi agar kedua sektor usaha tersebut bisa berkembang (dual track), yaitu melalui pemberian akses dan peluang yang sama pada kedua sektor usaha tersebut. Dengan cara demikian, sektor usaha besar yang hidup dari kronisme, rente ekonomi dan fasilitas, mau tak mau harus berkompetisi secara sehat, sebab bila tidak akan jatuh.

Dan perlu disadari, akibat adanya ”dualisme ekonomi” sektor kecil ini tak memiliki kemampuan untuk memanfaatkan berbagai institusi modern. Bahkan seringkali, sektor modern justru makin meminggirkan mereka. Salah satu institusi modern yang sangat sulit diakses oleh UMKM, adalah perbankan. Meski memobilisasi tabungan dari masyarakat luas, namun pelayanan pembiayaan bank lebih dimanfaatkan sektor besar. Akibatnya, acapkali institusi modern ini justru meningkatkan adanya kesenjangan. Oleh sebab itu, perlu dikembangkan berbagai institusi modern yang dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga dapat kompatibel dengan nilai-nilai dan budaya setempat agar dapat dimanfaatkan oleh masyarakat secara luas.

Demikianlah, dengan berbagai keterbukaan dan peluang, di mana masyarakat mempunyai kebebasan untuk memilih, maka masyarakat dapat mengembangkan berbagai potensi produktif mereka. Dengan demikian, pembangunan akan berkembang secara dinamik berdasar kekuatan masyarakat sendiri. Bila masyarakat telah tumbuh dan berdaya, maka pembangunan akan berurat berakar (rooted) pada rakyat, sehingga makin kuat dan kokoh menyangga bangsa ini.

Bahan Bacaan :

1.Prof. Dr. Mubyarto: Guru Besar FE-UGM,EKONOMI KERAKYATAN DALAM ERA GLOBALISASI
2.Setyo Budiantoro : MANUSIA, KEBEBASAN, DAN PEMBANGUNAN
3.Drs. Bambang Ismawan, MS : KEMANDIRIAN, SUATU REFLEKSI
4.Prof. Dr. Sri-Edi Swasono -- Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia
[i] Disampaikan pada Seminar “Kemandirian Ekonomi Nasional”, diselenggarakan oleh Fraksi Utusan Golongan MPR RI Jakarta, 22 November 2002

1 komentar:

masyarakatjalantolindonesia mengatakan...

Di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik dimulai tahun 1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah Orde Baru yang di­dukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu kuat, maka konsep Ekonomi Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu dengan mudah dijadikan musuh pemerintah, dan ma­syarakat seperti biasa mengikuti “arahan” pemerintah agar konsep Ekonomi Pancasila ditolak. Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa para­digma ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak bersifat kerakyatan, dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang bersekongkol dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung alergi dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan sosial), maka ekonomi kerak­yatan me­nekankan pada sila ke-4 saja yang memang telah paling banyak dilanggar selama periode Orde Baru.

UGM telah memutuskan membuka Pusat Studi Ekonomi Pancasila (PUSTEP) untuk meng­hidupkan kembali tekadnya mengembangkan sistem Ekonomi Panca­sila yang berawal pada tahun 1981 ketika Fakultas Ekonomi UGM mencuatkan dan menggerakkan pemikiran-pemikiran mendasar tentang moral dan sistem ekonomi Indonesia. Pendirian Pusat Studi Ekonomi Pancasila dimaksudkan untuk benar-benar mengkaji dasar-dasar moral, ilmu, dan sistem ekonomi yang sesuai dengan ideologi Pancasila, karena UGM sudah lama dikenal sebagai pengembang gagasan Pancasila dan sudah memiliki Pusat Studi Pancasila.