Jumat, 27 Maret 2009

Akar dari Krisis Global

KOMPAS.com — Senin, 16 Maret 2009 | 08:49 WIB
By Simon Saragih

Memiliki mobil atau rumah tidak selamanya harus dengan uang tunai, tetapi bisa dengan mencicil. Bahkan tidak sedikit orang yang memiliki televisi karena mencicil. Jangan kecil hati, kebiasaan mencicil sudah berlangsung sejak lama di dunia dengan mengandalkan pembayaran dari gaji tetap.
Hanya orang mapan dan superkaya yang bisa membeli segala kebutuhan dengan uang tunai. Namun sayangnya, seperti ditunjukkan dari hasil penelitian Gemini Capital dan Merrill Lynch setiap tahun, kekayaan di dunia ini tidak terbagi rata di antara tujuh miliar penduduk dunia. Bahkan, ketidakmerataan itu begitu timpang.
Hampir semua, tentu sebagian macet, kegiatan mencicil seperti itu berjalan lancar. Tidak terdengar kebangkrutan massal perusahaan keuangan secara global sejak 1930-an. Ada sejumlah kasus kehancuran sistem keuangan di beberapa negara dalam beberapa dekade terakhir, namun tidak sampai memberi efek domino kebangkrutan massal seperti sekarang.

Bukti lain, Presiden Bank Dunia Robert Zoellick dan Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn mengatakan, tak pernah ada pertumbuhan ekonomi dunia yang negatif sejak Depresi Besar 1929. Artinya, kegiatan pinjam-meminjam relatif lancar saja.

Paul Krugman dan Joseph E Stiglitz, dua ekonom AS peraih Nobel Ekonomi, mengatakan, ada regulasi yang membuat bank-bank dan lembaga keuangan memberi kredit dengan rambu-rambu yang aman. Jika sebagian kredit yang dikucurkan macet, ada perusahaan asuransi yang menjamin kemacetan itu, atau bank itu sendiri punya cadangan untuk mengompensasi kredit macet.

Jika bank-bank itu bangkrut sekalian, ada perusahaan yang menjamin deposito nasabah, seperti Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) di AS dan juga di Indonesia.
Dengan sistem seperti itu, konsumen, nasabah, dan perbankan sama-sama merasa aman dengan kegiatan saling meminjamkan, termasuk kegiatan meminjamkan ke perusahaan. Dari proses pinjam-meminjam ini terjadilah permintaan, yang menjadi inti pendorong aktivitas perekonomian. Bahkan perbankan bersedia memberi kartu kredit kepada miliaran penduduk dunia, yang semakin mendorong permintaan dan kemampuan berbelanja.
Sekarang kegiatan seperti itu terganggu untuk sementara kecuali untuk konsumen dan perusahaan yang benar-benar dianggap aman. Konsumen tidak dipercaya, atau tidak memiliki daya beli sebagian karena sudah di-PHK. Banyak bank tidak punya dana, bahkan sudah bangkrut dan ini terjadi pada bank-bank kaliber dunia bernama besar seperti UBS, Citigroup, ABN-AMRO yang sudah almarhum dan lainnya. Jika ada bank yang punya dana, ada keraguan mengucurkannya.
Hal ini mengganggu transaksi ekonomi, yang intinya mengganggu proses permintaan dan penawaran. Anjloknya permintaan membuyarkan penjualan mobil buatan GM, Fords, Toyota, Honda dan lainnya. Hampir semua kategori produk kini mengalami penurunan penjualan, apalagi barang-barang luks. Sebagian kartu kredit pun kini sudah sekadar kartu yang tak berdaya beli lagi.

Hancurnya kepercayaan

Mengapa? Orang terkaya nomor dua di dunia dan jago investasi, Warren Buffet mengatakan kepercayaan adalah bagian dari sistem. Dan sistem tidak akan bekerja dan tanpa adanya kepercayaan. Buffet menambahkan, ketiadaan kepercayaan itu contagious, menular dan menyebar ke seluruh sektor dengan daya rusak yang besar.
Bukan hanya konsumen yang tak dipercaya, bukan hanya bank yang diragukan keamanannya. Penurunan penjualan membuat sejumlah perusahaan yang menjual saham, dan obligasi di bursa, mengalami penurunan harga-harga saham dan obligasi.
Investor di bursa tidak lagi terlalu percaya membeli saham dari perusahaan kaliber dunia sekalipun karena persepsi akan terjadi kebangkrutan. Berjatuhanlah indeks-indeks saham.. Tetap ada kegiatan di bursa hingga sekarang, namun pelakunya bukan lagi investor konservatif tetapi investor spekulatif yang ternyata bisa tetap meraih untung dari krisis.

Mengapa keadaan sekacau itu? Kegiatan shadowy banking, “bank-bank gelap”, merajalela dalam 25 tahun terakhir. Michael Hiltzik, kolumnis di harian AS, The Los Angeles Times pada 12 Maret, menuliskan terjadi cerita horor dalam sistem keuangan.
Walau dikatakan bank-bank gelap, tetapi perusahaannya tidak gelap. Lehman Brothers adalah perusahaan resmi di AS berusia di atas 150 tahun namun berperan liar layaknya bank-bank gelap. Lehman Brothers, yang pernah menjadi konsultan Indonesia di masa krisis tahun 1998 lalu, antara lain memanfaatkan aliran dana murah dari Asia, dan dari sejumlah negara kaya di dunia (SWF) yang masuk ke AS.

“Bank-bank” gelap yang tidak diatur negara ini mengalirkan dana ke konsumen, perusahaan di luar kemampuan daya bayar di kemudian hari. Pemerintahan AS di bawah George W Bush tidak berminat mengatur aktivitas perusahaan seperti ini walau sudah diperingatkan akan ada potensi bahaya. Bukan hanya Lehman Brothers yang terlibat kegiatan seperti ini tetapi sejumlah bank dan perusahaan besar dan resmi lainnya di AS, Inggris, Jerman, Swiss dan banyak lagi bank lainnya. Bank-bank global tidak melakukan kegiatan liar ini secara langsung namun melakukannya lewat anak perusahaan yang bukan bernama bank.

Bahkan AIG, perusahaan asuransi terbesar dunia asal AS pun sudah mirip spekulan, bahkan bukan lagi sekadar bank gelap, sebagaimana dikatakan Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke. Kegiatan bank-bank gelap ini, menurut Paul Krugman lebih besar dari kegiatan bank-bank konvensional dengan omset perputaran uang sekitar 10 triliun dollar AS. Ini adalah jumlah yang dahsyat.
Mereka menggantikan peran utama bank konvensional, dan menjadi saluran utama untuk proses pinjaman meminjam di AS.

Semakin banyak kredit bisa dikucurkan, semakin banyak pula bonus didapat para karyawan. Tidak perduli apakah kredit itu bisa dikembalikan kemudian hari. Bonus tidak didasarkan pada kinerja keuangan perusahaan tetapi kemampuan menyalurkan kredit. Bank-bank gelap ini pun berperan menjual dan menjamin obligasi yang diterbitkan berbagai perusahaan resmi untuk keperluan modal. Di sisi lain banyak investor yang tergiur membeli obligasi yang ditawarkan dan dijamin bank-bank gelap ini. Siapa yang tidak percaya dengan jaminan Lehman Brothers, yang juga didukung dengan peringkat AAA yang diberikan Standard & Poor’s, lembaga pemeringkat terkenal itu

Lebih jauh lagi, bermunculan produk-produk keuangan, yang dinamakan produk-produk derivatif. Produk ini dikatakan sebagai hasil inovasi keuangan, dan ditawarkan sebagai sarana berinvestasi bagi para warga kaya di dunia.
Media di AS menjulukinya bukan inovasi tetapi corporate greed, kerakusan korporasi.
Lewat produk-produk derivatif ini, bank-bank gelap menjual surat berharga. Di Indonesia hal juga beredar, yakni surat berharga terbitan Lehman Brothers yang dijual lewat Citibank Indonesia. Hasilnya, miliaran dana warga kaya Indonesia lenyap lewat Citibank itu.

Salah satu contoh kecerobohan bank-bank gelap itu, sekitar 1,2 juta warga di AS misalnya bisa dapat rumah seharga rata-rata 120.000 dollar AS dari kredit, yang tidak didukung pendapatan untuk mencicil kemudian hari.
Ini dimungkinkan karena ada aliran dana berlimpah masuk, ditambah ketertarikan para investor, termasuk perusahaan dana pensiunan resmi milik negara, dari Singapura, Norwegia, Timur Tengah, Rusia, yang tegiur dengan iming-iming untung besar dari sektor perumahan AS, dan permainan spekulatif di bursa.

Sebagaimana dikatakan mantan Gubernur Bank Sentral AS, Alan Greenspan, dekade 2000-an, Asia yang kaya devisa menjadi sumber pendanaan ekonomi AS.
Masalah terjadi bukan hanya karena kucuran kredit berlebihan tanpa rambu-rambu pengaman dari lembaga keuangan itu.
Bank-bank gelap itu juga turut serta berspekulasi di bursa uang dan modal dan menurut Benk Bernanke berperan sepeti “Hedge Fund”, konotasi untuk penjudi kerah putih.

Aliran dana-dana itu juga dimainkan di bursa. Salah satu yang terkenal adalah dengan mengerek harga komoditas menjadi tinggi seperti harga kedelai, minyak, dan lainnya di bursa komoditas, sebagaimana pernah dikatakan Steve Forbes, pemilik majalah Forbes. Masih ingatkan kenaikan harga-harga komoditas mendadak di akhir 2007 hingga awal 2008?
Lalu setelah harga tinggi, si pemain menjual komoditas miliknya, dan meraih untung tinggi. Kerusakan lain terjadi, warga di dunia dipaksa membeli harga pangan tinggi.

Meraih untung tanpa keringat

Inti persoalan, para eksekutif keuangan, terutama Wall Street, telah meraup keuntungan dari aliran dana masuk ke AS, tidak dengan mengandalkan keuntungan perusahaan, tetapi dengan menelan dana itu sendiri dengan mengorbankan para nasabahnya, termasuk para pemberi pinjaman.
CEO JP Morgan Chase, Jamie Dimon, di New York, pekan ini mengakui perilaku seperti telah mengacaukan sistem keuangan.

CEO HSBC Stephen Green juga mengakui, kekacauan pada perilaku dan etika sistem perbankan telah menjadi sumber kekacauan.
Berapa banyak dana yang lenyap karena kekacauan seperti itu? Hiltzik mengatakan sekitar 1,2 triliun dollar AS lenyap di perumahan AS yang tak laku terjual.
Krugman mengatakan ada 10 triliun dollar AS dana-dana yang diputar di bank-bank gelap. Dana itu tidak ketahuan lagi juntrungannya, dan enah dimana berada. Hal yang pasti, dalam jajaran warga terkaya di AS, pada umumnya adalah jago-gajo teknologi informasi dan “hedge fund”.

Jika dunia telah kehilangan 10 triliun dollar AS dana, bayangkan apa yang terjadi untuk dunia dengan besaran produksi domestik bruto (PDB) 60 triliun dollar AS?
Lalu bagaimana memulihkan ekonomi dunia. Gubernur Bank Sentral AS, Ben Bernanke, mengatakan, ekonomi tak pulih jika sistem keuangan kacau. Sistem keuangan yang kacau tidak akan bisa menjadi lembaga intermediasi sebagaimana layaknya.
Bagaimana memulihkan sistem keuangan? Hal ini hanya bisa terjadi jika ada investor yang mau membeli bank-bank dengan segala toxic assets, aset-aset beracun.

Seperti kata Buffet, kepercayaan yang hilang telah membuat investor kaya menghindar membeli bank-bank atau lembaga keuangan rusak. Buffet sendiri, yang nomor dua terkaya dunia pun, tidak mau dan bahkan tidak mampu membeli aset-aset rusak itu.
Jika aset rusak ini tidak dibeli investor, maka stimulus ekonomi yang diluncurkan berbagai negara tidak akan mampu menyelamatkan ekonomi. Jumlah stimulus di dunia sekarang ini hanya sekitar 3,5 triliun dollar AS, itu pun jika benar ada.
Jumlah uang lenyap akibat kekacauan di bursa sebagai buntut lain kekacauan yang dihasilkan dari perilaku buruk eksekutif di Wall Street sekitar 50 triliun dollar AS. Ini adalah data dari Bank Pembangunan Asia. Ini termasuk nilai kekayaan dunia yang lenyap akibat kejatuhan indeks-indeks di bursa global, bukan saja di AS.
CEO Blackstone Group LP Stephen Schwarzman, Selasa (10/3) di New York, mengatakan, sekitar 45 persen kekayaan dunia rusak akibat krisis kredit global.

Lalu kapan krisis akan selesai. “Kita tidak tahu pasti. Saya mengharapkan kita semua mendapatkan keberuntungan,” kata Krugman di National Press Club, Washington, Desember 2008 lalu. Ini adalah pernyataan yang merefleksikan dalamnya persoalan, yang tidak bisa diprediksi kapan dan bagaimana menyelesaikannya.

Tidak ada komentar: