Selasa, 10 Maret 2009

Masalah Pengadaan Tanah dan Penyelesaiannya

By Hilman Muchsin

Fenomena pengadaan tanah untuk pembangunan jalan tol mempunyai masalah yang sangat kompleks dengan implikasi yang sangat luas. Pemerintah, Investor dan masyarakat tidak bisa melihat masalah ini dalam satu frame yang utuh.
Masing-masing melihat masalah ini dari kacamatanya sendiri, jadi kalau tidak ada ketegasan dari Pemerintah maka program percepatan jalan tol sepanjang 1.150 Km yang ditargetkan tidak akan pernah dapat terwujud.

Coba kita lihat permasalahan yang sesungguhnya :

1. Dari sisi Pemerintah dan kenyataan yang terjadi di lapangan.
Menteri PU mengatakan reformasi peraturan dan lembaga sudah siap. Tetapi implementasinya tidak bisa berjalan dengan mulus, sehingga harga dan waktu pengadaan tanah yang selama ini menjadi pokok masalah dalam pembangunan jalan tol tidak punya kepastian. Tidak adanya kepastian biaya dan waktu pembebasan tanah menyebabkan menurunnya tingkat kelayakan investasi jalan tol atau bahkan membuatnya sama sekali tidak layak.
Dari ruas tol yang telah ditenderkan, terjadi kenaikan harga tanah yang signifikan hampir di semua ruas yang akan dibangun dan tertinggi mencapai 321 persen dari estimasi awal.
“Dalam Perpres 65/2006 tersebut tidak jelas lead-nya siapa dan seringkali (dalam pembebasan tanah) dispute terjadi di tingkat bawah, masalah tanah adalah masalah yang dikendalikan oleh pemerintah, namun investor yang harus membayarnya. Pemerintah menggunakan cara musyawarah di dalam membebaskan tanah untuk kepentingan umum.

2. Dari kalangan masyarakat dan pemilik tanah
banyak kalangan menganggap negatif Perpres No 65/2006, Peraturan ini dituding akan bisa menjadi alat semena-mena untuk menghilangkan hak atas tanah dengan tiba-tiba. Meskipun memiliki dokumen dan surat-menyurat yang sah dan lengkap, oleh Perpres ini, pemerintah (presiden) bisa mencabut hak atas tanah tersebut apabila tanah itu akan digunakan untuk kepentingan umum.
Yang paling dikhawatirkan adalah Perpres ini akan disalahgunakan. Misalnya, sejauh apa pemahaman "demi kepentingan umum" yang dimaksud ? Hal ini dipertanyakan sebab seringkai dalam praktiknya terjadi "perubahan arah", misalnya ruang lingkup "kepentingan umum" berubah menjadi kepentingan "pemilik modal". Hal inilah yang justru sering mendapat penolakan dari rakyat pemilik tanah.
Dari pengalaman, pembebasan tanah untuk kepentingan umum yang bukan disebabkan oleh tidak relanya rakyat pemilik tanah atau tidak sepakatnya harga tanah, melainkan oleh ulah oknum aparat dan atau spekulan tanah, baik itu yang berkaitan dengan urusan administrasi tanah maupun oknum yang memanfaatkan situasi. Sebagai akibatnya, sengketa tanah telah berubah menjadi ajang rebutan rezeki, yang dampak nya cenderung tak terkendali.
Kalau kita lihat Pasal 10 ayat 2 Perpres No.36/2005, yang antara lain menyebutkan, bila tidak ada kesepakatan dalam suatu musyawarah, pihak yang memerlukan lahan dapat menitipkan uang untuk ganti rugi ke pengadilan dan instansi tersebut dapat menggunakan lahan. Pasal itu, oleh banyak pihak mengesankan pemberian legitimasi yuridis untuk munculnya tindakan pemaksaan oleh pemerintah melalui suatu perbuatan hukum yang disebut dengan konsinyasi.

Bagaimana jalan keluar untuk mempercepat proses pengadaan tanah jalan tol di Indonesia ???

Ada 2 cara untuk menyelesaikan permasalahan tanah yang berlarut-larut :

1. Merubah skema investasi pembangunan Jalan tol yang sudah ada.
Skema investasi infrastruktur Jalan Tol yang sedang berjalan saat ini adalah adanya unsur pembebasan tanah di dalam variable investasi. Hal tersebut ternyata menjadi kendala utama yang tidak terbantahkan lagi seiring berjalannya waktu Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang telah melampaui waktu 2 tahun, dimana pembebasan tanah untuk seluruh 22 investor jalan Tol yang sudah menandatangani Perjanjian (PPJT) belum ada yang rampung dikerjakan oleh Pemerintah. Padahal beberapa investor dananya sudah siap baik dari equity maupun dari dana bergulir BLU, namun demikian progres secara keseluruhan baru sekitar -/+ 10%.
Jadi Pemerintah yang sangat legitimed seperti saat inipun ternyata tidak mampu menggerakkan aparat birokrasinya untuk menyelesaikan permasalahan pembebasan tanah sesuai yang diperjanjikan kepada para investor jalan tol.
Tanggung jawab dari pihak yang membutuhkan tanah dan pihak yang melaksanakan pembebasan tanah hampir tidak ada, karena mereka umumnya masih berasumsi bahwa dana pembebasan berasal dari Investor. Menurut saya inilah pangkal dari kebuntuan selama ini.
Mekanisme pembebasan tanah bisa saja merujuk pada mekanisme yang di lakukan oleh panitia 9 nya orde baru dulu tetapi pelaksanaannya dengan cara yang wajar yang win-win solution, sehingga tanggung jawab Pemerintah menjadi sangat jelas dan clear.

2. Menyempurnakan mekanisme pembebasan tanah yang ada sekarang ini.
Juklak dan juknis Perpres 65/2006 harus jelas lead-nya siapa, apakah Pemda, pemerintah pusat (depapartemen teknis) atau BPN ??? agar tidak ada dispute yang terjadi di tingkat bawah, masalah tanah adalah masalah yang dikendalikan oleh pemerintah sepenuhnya.
Departemen Dalam Negeri dan Badan Petanahan Nasional seharus nya menjadi garda terdepan dalam mensukseskan pembebasan tanah. Dan seharusnya masalah pembebasan tanah tidak dilakukan melalui musyawarah, artinya kalau Pemerintah sudah menentukan lokasi untuk kepentingan umum, maka pencabutan hak atas tanah oleh pemerintah segera dilakukan untuk satu koridor jalan, bukannya satu persatu.
Pencabutan hak atas tanah memang merupakan masalah yang sensitif, namun dapat menjadi sensitif yang positif karena akan membela kepentingan orang yang lebih banyak.
Oleh karena itu tanah dinilai secara wajar oleh apraisal independen yang sudah di sumpah, untuk ditetapkan besaran ganti ruginya. Hal ini untuk menghindarkan “penyanderaan” oleh individu / oknum terhadap proyek pembangunan bagi kepentingan umum.
Pelaksanaan pembebasan tanah, harus dilakukan secara transparan dengan mengumumkan terlebih dahulu tanah yang ditetapkan untuk dibangun jalan tol, kemudian di Freeze oleh Pemerintah sehingga tidak ada peluang bagi spekulan tanah.
Oleh karena itu Apraisal independent harus dilibatkan sejak awal jalan tol akan ditenderkan, bukannya pada waktu pembayaran tanah mau dilakukan. Karenanya mekanisme pembebasan tanah segera disempurnakan agar kepastian waktu dan biaya pembebasan dapat terukur.

Tidak ada komentar: