Rabu, 04 Maret 2009

KEPASTIAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG INVESTASI, SUATU HARAPAN . . . .

By Hilman Muchsin

Arah perkembangan ekonomi ke depan sangat dipengaruhi oleh kinerja investasi. Oleh Karenanya, komitmen pemerintah untuk terus mengupayakan perbaikan iklim investasi merupakan faktor paling penting bagi kesinambungan pertumbuhan ekonomi ke depan. Langkah-langkah kongkrit untuk terus mendukung dan mendorong iklim inves-tasi semakin diperlukan guna menjaga persepsi positif pelaku usaha. Keberhasilan dalam Infrastructure Summit 2006, misalnya apabila dapat tercapai, diperkirakan dapat memberikan sumbangan penting dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, keberhasilan pemerintah mengimplementasikan paket insentif 1 Oktober 2005 akan sangat menentukan arah kegiatan investasi seperti fiskal, perdagangan dan per-hubungan mendapat prioritas. Sebaliknya, apabila langkah-langkah ter-sebut dan hambatan-hambatan yang muncul kurang tertangani secara serius, maka akan memberikan Risiko Kebawah (downside risk) yang berakibat pada penurunan kinerja perekonomian secara keseluruhan.
Dari sisi sektor riil, pengalaman tahun 2005 juga mengindikasikan bahwa kebijakan makro ekonomi perlu didukung oleh berbagai kebi-jakan sektoral guna semakin memperkuat daya tahan perekonomian nasional. Beberapa kebijakan tersebut antara lain berkaitan dengan upaya meningkatkan pertumbuhan investasi swasta, yang pada awal tahun 2005 sempat diharapkan akan tumbuh tinggi. Untuk mampu mendu-kung upaya menyeimbangkan sktruktur ekonomi serta meningkatkan daya tahan dan kapasitas perekonomian secara keseluruhan.
Pada sisi lain, terobosan kebijakan sektor riil tersebut perlu diterapkan untuk meningkatkan efisiensi perekonomian, termasuk dalam hal alokasi dan distribusi barang dan jasa guna meningkatkan daya saing perekonomian nasional.Termasuk dalam hal efisiensi perekonomian ini adalah koordinasi pemerintah pusat dan daerah untuk menghindari pe-nyusunan peraturan tumpang tindih antara pusat dan daerah.


A.PERANAN DAN DUKUNGAN PEMERINTAH DALAM KEBIJAKAN INVESTASI PENGUSAHAAN JALAN TOL

A.1 PERANAN PEMERINTAH DALAM PENGUSAHA -AN JALAN TOL

1. Penetapan Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT )
Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005, peme-rintah telah menetapkan Badan Regulator atau Badan Penga-tur Jalan Tol (BPJT) yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Pekerjaan Umum. Dengan demikian kewenangan regulator yang semula diberikan kepada PT Jasa Marga (Persero) diambil alih oleh BPJT.
Untuk menjalankan wewenangnya, Menteri Pekerjaan Umum mengeluarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 295/ PRT/M/2005 tentang Badan Pengatur Jalan Tol yang mem-punyai tugas dan fungsi antara lain :
• Merekomendasi Tarif Awal dan Penyesuaian Tarif Tol ke-pada Menteri Pekerjaan Umum.
• Mengambil alih Hak Pengusahaan Jalan Tol yang telah se-lesai masa konsesinya dan merekomendasikan pengope-rasian selanjutnya kepada Menteri.
• Melakukan Pengambialihan Sementara Pengusahaan Jalan Tol yang gagal dalam pelaksanaan konsesi, untuk kemudian dilelangkan kembali pengusahaannya.
• Melakukan persiapan pengusahaan Jalan Tol meliputi : ana-lisa kelayakan finansial, studi kelayakan dan penyiapan AMDAL.
• Melakukan pengadaan investasi Jalan Tol melalui pelela-ngan secara transparan dan terbuka.
• Membantu proses pembebasan tanah dalam hal kepastian tersedianya dana dari badan usaha dan membuat mekanisme penggunaannya.
• Memonitor pelaksanaan perencanaan dan pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan pemeliharaan Jalan Tol yang dilakukan badan usaha, dan Melakukan penga-wasan terhadap badan usaha atas pelaksanaan seluruh kewajiban perjanjian pengusahaan Jalan Tol dan melapor-kannya secara periodik ke Menteri.

2. Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT)
Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) merupakan Kontrak Baku yang bersifat negotiable (dapat dinegosiasikan) sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selain itu Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) merupakan Kontrak Bisnis yang berdimensi publik, yang artinya bahwa perjanjian tersebut harus disesuai-kan dengan kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan ke-mudian oleh Pemerintah dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau dokumen-dokumen pemerintah lainnya seperti surat-surat yang dikeluarkan oleh pemerintah.
Ada dua hal yang harus diperhatikan oleh Badan Penga-tur Jalan Tol (BPJT) dalam melakukan negosiasi dan finalisasi Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) dengan investor pe-menang pelelangan investasi Jalan Tol, yaitu Pertama, Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan-kebijakan dalam suatu peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang substansi-nya adalah memberikan dukungan atas risiko investasi kepada investor. Kedua, adalah bahwa antara Pemerintah dan Inves-tor diikat dalam suatu Perjanjian, yaitu Perjanjian Pengusaha-an Jalan Tol (PPJT).
Bagi investor yang menjadi pegangan secara hukum adalah perjanjian itu sendiri yang mengikat bagi para pihak dan dapat dieksekusi, sedangkan kebijakan-kebijakan pemerintah dalam suatu peraturan perundang-undangan merupakan suatu ketentuan yang bersifat umum, yang hanya dapat dieksekusi apabila telah diperjanjikan secara tegas dalam Perjanjian. Hal ini kita harus kembali pada prinsip-prinsip hukum yang berlaku, yaitu lex specialis derogat lex generalis.
Dengan demikian adalah bagaimana BPJT dan investor dapat memasukkan substansi dukungan pemerintah kepada investor yang telah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan kedalam Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yang mengikat. Untuk itu dibutuhkan oleh masing-masing pi-hak kesiapan sumber daya manusia khususnya yang menguasainya legal drafting , sehingga dalam negosiasi finalisasi Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) antara BPJT dan Investor tidak mengalami hambatan.
Dalam praktek bisa saja terjadi bahwa substansi duku-ngan pemerintah kepada investor belum dapat dilaksanakan karena digantungkan kesiapan instansi atau Departemen Pe-merintah terkait seperti Departemen Keuangan atau dengan alasan menunggu realisasi APBN. Dalam kondisi ini, Depar-temen Pekerjaan Umum sebagai Departemen yang menyiap-kan Draft Perjanjian (PPJT) secara birokratis bergantung ke-pada Departemen terkait lainnya yaitu Departemen Keua-ngan. Birokrasi ini dalam praktek jelas memperpanjang mata rantai dan bahkan bisa menghambat proses negosiasi dan finalisasi kontrak (PPJT).
Dalam teknis hukum , keadaan tersebut dapat dikata-kan sebagai suatu keadaan yang bersifat conditional (suatu hal yang digantungkan kepada peristiwa lain atau keadaan lain), dimana dukungan Pemerintah kepada investor digantungkan pada Keputusan Menteri Keuangan yang belum dapat dikelu-arkan dengan alasan menyangkut APBN. Namun secara tek-nis legal drafting, hal tersebut bukan kendala untuk negosiasi dan finalisasi Kontrak (PPJT). Substansi dukungan Pemerin-tah kepada investor yang bersifat conditional tersebut secara teknis legal drafting dapat diikat dengan dokumen lain yang disepakati para pihak seperti Berita Acara Kesepakatan atau suatu Surat dari Menteri (Side Letter), kemudian dokumen-dokumen tersebut diikat dalam Pasal Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol (PPJT) yaitu dalam klausula Entire Agreement (Pasal Keseluruhan Perjanjian) dimana inti Pasal termasuk Berita Acara Kesepakatan dan Surat Menteri (Side Letter) masih tetap berlaku dan merupakan bagian yang tidak terpi-sahkan dari perjanjian ini sepanjang tidak bertentangan de-ngan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

3. Pengadaan Tanah
Penyelenggaraan Infrastruktur Jalan Tol berdasarkan Undang-Undang No. 38 tahun 2004 Tentang Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2005 Tentang Jalan Tol menyebut- kan bahwa Pemerintah melaksanakan pembebasan tanah dengan menggunakan dana yang berasal dari Pemerin-tah dan/atau Badan Usaha.
Adanya Peraturan Presiden No. 36 tahun 2005 juncto Pe-raturan Presiden No. 65 tahun 2006 merupakan dasar dan acuan utama dalam Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum (termasuk Jalan Tol).
Upaya pemerintah dalam menanggulangi permasalahan pengadaan tanah untuk Jalan Tol, terutama pengadaan tanah yang dana pengadaannya berasal dari badan usaha (investor), Menteri Pekerjaan Umum atas nama Pemerintah membuat Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 tahun 2006 yang mengatur :
• Tata cara penggunaan dana pengadaan tanah yang ver-sumber dari badan usaha.
• Ruang lingkup/cakupan yang termasuk dalam biaya pe-ngadaan tanah.
• Tugas Tim Pengadaan Tanah dan Tugas BPJT dalam me-laksanakan pengadaan Tanah.
• Komponen biaya yang dikategorikan sebagai pengadaan tanah :
- Biaya Ganti Rugi Tanah (UGK)
- Biaya Panitia Pengadaan Tanah (BP2T)
- Biaya Operasional Tim Pengadaan Tanah (BOTPT)
- Biaya Pendukung
• Jadwal pelaksanaan pengadaan tanah dan penarikan dana
• Tugas-Tugas TPT
• Tugas BPJT dalam melaksanakan pengandaan tanah.
• Cara penarikan dana pengadaan tanah


4. Iklim Investasi Infrastruktur
a. Komitmen pemerintah telah diwujudkan dalam bentuk Perpres No. 67 tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur.
b. Memberikan landasan bagi tarif tol awal dan penyesuaiannya melalui :
• Penetapan tarif yang mencerminkan biaya inves-tasi & operasi serta keuntungan yang wajar dan apabila hal ini tidak dapat terpenuhi maka pe-nentuan tarif akan didasarkan pada tingkat kemampuan konsumen melalui kompensasi oleh Pemerintah kepada Badan Usaha.
• Pengaturan besaran kompensasi pemerintah ber-dasarkan perolehan hasil kompetisi peserta le-lang.
c. Mengatur pengelolaan risiko dan dukungan pemerintah kepada badan usaha dalam penyediaan infras-truktur, misalnya : kerjasama investasi, subsidi, garansi atau penghapusan pajak.
d. Keputusan Menteri Keuangan No. 518/KMK.01/ 2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko Atas Penyediaan Infrastruktur.

B. DUKUNGAN PEMERINTAH BERDASARKAN KONSEP KERJASAMA (PERJANJIAN)

Pemerintah sebagai pengurus suatu negara, berkewajiban un-
tuk menyediakan infrastruktur-infrastruktur agar Pemerintahan suatu Negara dapat berjalan dengan baik. Pada saat kewajiban tersebut dilimpahkan kepada swasta (investor), maka kewajiban tersebut ti-dak dapat dilepaskan secara mutlak, artinya pemerintah harus tetap paling tidak memberikan dukungan-dukungan agar proyek investasi yang dilimpahkan kepada pihak swasta (investor) dapat berjalan dengan baik dan menguntungkan kedua belah pihak dan tidak me-rugikan kedua belah pihak. Hal ini logis dikatakan, yaitu bahwa da-am pengelolaaan infrastruktur yang telah dilimpahkan Pemerintah kepada pihak swasta (investor) ada kepentingan-kepentingan public yang merupakan kewajiban Pemerintah untuk melindunginya, dan juga yang penting adalah bahwa dalam pengelolaan infrastruktur oleh pihak swasta (investor) ada pembatasan-pembatasan yang dila-kukan oleh Pemerintah kepada swasta (investor) tersebut, yaitu ter-hadap faktor-faktor yang sangat mempengaruhi tingkat pengembali-an investasi seperti masalah tarif dan pengadaan tanah.
Untuk itu Pemerintah perlu memberikan dukungan atas Risiko Investasi bagi Swasta berdasarkan Konsep Kerjasama (Perjanjian) yaitu atas risiko-risiko yang bersifat non-korporasi seperti ma-salah risiko kenaikan harga tanah yang sangat tinggi, dan adanya perubahan-perubahan hukum diluar kemampuan swasta (investor) seperti kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang luar biasa atau inflasi dan moneter yang luar biasa, yang secara langsung mempengaruhi tingkat pengembalian investasi. Tentu saja ini harus dili-hat dari asas-asas keadilan dan kepastian hukum serta asas manfaat, sebagai tiga pilar dalam penegakkan dan pelaksanaan hukum.

C. PERANAN KOMITE KEBIJAKAN PERCEPATAN PENYEDIAAN INFRA STRUKTUR ( KKPPI )

Pada tanggal 23 Mei 2005 Pemerintah telah membentuk Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur (KKPPI) ber-dasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur. Komite tersebut diketua oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan membawahi antara lain Menteri Negara Peren-canaan Pembangunan/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Menteri Keuangan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Perhubungan, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara serta Sekretaris Kabinet.
Komite tersebut dibentuk dalam rangka mewujudkan komitmen pemerintah untuk mempercepat penyediaan infrastruktur, menciptakan iklim investasi yang mendorong keikutsertaan badan usaha swasta dengan prinsip usaha yang sehat dengan tetap melin-dungi dan mengamankan kepentingan Konsumen, Masyarakat, dan Badan Usaha itu sendiri.
Dari segi substansi, pengelolaan risiko atas penyediaan infrastruktur ini dapat dikelompokan menjadi 3 (tiga) aspek, yaitu:
(ii) aspek hukum, meliputi latar belekang, maksud dan tujuan dan landasan hukum dari pengelolaan risiko atas penyediaan infras-truktur.
(iii) aspek kelembagaan, meliputi organisasi, hubungan kerja antar unit terkait, ketersediaan sumber daya manusia dan infrastruktur.
(iv) dan aspek kebijakan, meliputi kriteria, prosedur pemberian dukungan pemerintah.
Dalam PMK (peratutan Menteri Keuangan) Nomor 38/ PMK.01/2006, ditegaskan bahwa jenis risiko yang perlu diatur skema pembagian risikonya antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur adalah
(i) Political Risk (Risiko Politik), adalah risiko yang ditimbulkan oleh kebijakan/tindakan/keputusan sepihak dari Pemerintah atau Negara yang secara langsungdan signifikan pada kerugian financial badan usaha, yang meliputi risiko pengambilalihan kepemi-likan aset, risiko perubahan peraturan perundang-undangan, dan risiko pembatasan konversi mata uang dan larangan repatriasi dana
(ii) Project Performance Risk (Risiko Kinerja Proyek), risiko yang berkaitan dengan pelaksanaan proyek yang antara lain meliputi risiko lokasi dan risiko operasional.
(iii) Demand Risk (Risiko Permintaan), risiko yang ditimbulkan akibat lebih rendahnya permintaan atas barang/jasa yang dihasilkan oleh proyek kerjasama dibandingkan dengan yang sudah diper-janjikan.
Pemerintah dan badan usaha memiliki tingkat kemampuan yang berbeda-beda dalam mengendalikan risiko sebagaimana dise-butkan diatas. Tiap-tiap jenis infrastruktur atau proyek pada umum-nya memiliki jenis dan tingkat risiko yang tidak sama. Sehingga ben-tuk dukungan pemerintah yang dibutuhkan cenderung tidak sama. Pemerintah harus mempertimbangkan faktor keunikan dan karak-teristik yang tidak selalu sama dari setiap proyek. Beberapa peran yang diharapkan dari Komite tersebut adalah antara lain, mencip-takan suatu bentuk kerjasama dengan badan usaha swasta berda-sarkan prinsip-prinsip kemitraan (adil, terbuka, transparan, bersaing, bertanggung-gugat, saling menguntungkan, saling membutuhkan dan saling mendukung), menciptakan proses pengadaan infrastruk-tur berdasarkan prinsip-prinsip pengadaan (transparansi, kompetisi, efisien dan kesetaraan), menciptakan landasan penentuan tariff awal dan penyesuainnya yang mencerminkan biaya investasi dan operasi, keuntungan yang wajar, tingkat kemampuan konsumen (Willingness To Pay) dengan pemberian kompensasi (Public Service Obligation) serta besaran kompensasi yang diberikan berdasarkan hasil kompetisi.
Bentuk-bentuk dukungan Pemerintah (dengan mempertim-bangkan kemampuan keuangan Negara) adalah antara lain : Kerjasama Investasi, Subsidi, Garansi, atau Penghapusan Pajak). Kemu-dian yang tidak kalah penting adalah bahwa pengelolaan risiko investasi dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengenda-likan risiko.
Terakhir hal-hal pokok yang harus diperhatikan Komite untuk meningkatkan penyediaan infrasturktur adalah mempersiapkan Draft Concession Agreement (Rancangan Perjanjian Konsesi) yang bankable, mempersiapkan dokumen tender yang bankable, melaksa-nakan tender yang transparan fair, accountable dan menerapkan prin-sip kesetaraan, mempersiapkan kelayakan finansial dan kelayakan ekonomi, AMDAL, dan aspek-aspek teknis lainnya, mempersiapkan “ impartial party ” (badan yang tidak memihak) apabila infrastruktur tersebut mengandung monopoli alamiah agar dapat terjaga “fairness” antara investor, konsumen dan pemerintah, kemudian terakhir mempersiapkan sistem penunjang pelaksanaan investasi in-frastruktur tersebut (pengurusan izin-izin, prosedur pembebasan tanah, pajak, bea cukai, dan lain-lain).

Tidak ada komentar: