Kamis, 26 Maret 2009

Menunggu CITIBANK menjemput ajal - Citi that Sleeps Forever…..

Written by Yodhia Antariksa Posted March 9, 2009 at 2:00 am

Bau kemenyan kematian tampaknya kian merebak disetiap sudut kantor pusat Citibank di New York. Kinerja bisnisnya kian berdarah-darah; membuat segenap raganya terpelanting di tepi jurang kematian yang memilukan. Ibarat seorang pasien, Citibank kini tengah berada di ruang ICU – menatap dirinya menggigil ketakutan dalam bayang-bayang sakaratul maut.

Tak heran jika minggu ini harga sahamnya roboh menjadi hanya US$ 1 dollar (!), terjun bebas dari harga US$ 50 sekitar dua tahun silam (itu artinya para pemegang saham Citibank telah kehilangan uangnya hingga 98%). Gedung pencakar langit Citibank yang merebak di seantero kota dunia, termasuk kota Jakarta, selalu berdiri dengan gagah dan sarat dengan aura kemegahan. Namun dibalik kemegahan itu, sesungguhnya tubuh mereka telah tercabik-cabik penuh luka (untuk tahun 2008 lalu saja, mereka menderita kerugian hingga 200 trilyun rupiah; jumlah yang cukup untuk membuat jalan tol memanjang dari Sabang hingga Merauke).

Ada dua pelajaran penting yang layak kita kenang dari kisah Citibank yang amat tragis nan memilukan ini. Yang pertama adalah ini : arsitektur keuangan global ternyata telah berubah menjadi sirkuit kasino global, tempat dimana para spekulan berjudi mempertaruhkan modal hingga ribuan trilyun rupiah. Produk-produk keuangan derivatif nan eksotik diciptakan hanya demi memuaskan hasrat spekulatif para “bandit-bandit keuangan global” yang haus akan keuntungan tanpa batas.

Tanpa regulasi antar negara yang terpadu dan ketat, sirkuit perjudian keuangan global itu pada akhirnya berubah menjadi “ajang pembantaian” bagi masyarakat kecil di segenap penjuru langit. Akibat ulah spekulan itu, harga minyak pernah melonjak tak terkira. Dan kini, ketika sirkuit kasino itu ambruk lantaran krisis kredit perumahan, imbasnya telah membuat kenestapaan bagi jutaan penduduk di muka bumi. Mulai dari buruh pabrik tekstil di kota Tangerang hingga petani pisang di kota Santiago, sejak dari pekerja di kota Shanghai hingga penjual kakilima di kota Lisabon.

“Global capitalism has destroyed my life…”, demikian jerit pilu seorang penjahit baju dipinggiran kota Mumbai dengan penuh kepedihan.

Pelajaran penting yang kedua adalah ini : kebodohan ternyata bukan hanya milik kaum tak berpengetahuan. Para kaum bankir berdasi yang gagah nan necis di pusat kota New York itu ternyata juga benar-benar bodoh. They are really damn stupid people. Mungkin kita jadi sadar, manajemen Citibank sebagai perusahaan kelas dunia itu ternyata juga penuh dengan kekonyolan.

Banyak penduduk di kota negara berkembang yang acap dihinggapi rasa minder ketika berhadapan dengan perusahaan multinasional, apalagi perusahan sekaliber Citibank. Kita selalu menganggap mereka memiliki manajemen kelas dunia yang pasti hebat dalam segala hal. Namun tragedi Citibank ini memberi bukti bahwa anggapan itu tak sepenuhnya benar. Kadang, mereka justru lebih konyol dan lebih bodoh dibanding kita.

Dulu ketika menjejakkan kaki di tengah keramaian kota Manhattan, saya menatap gedung kantor pusat Citibank dengan penuh rasa masygul. Di antara pendaran lampu-lampu malam yang menghiasi Times Square, saya melihat logo neon besar dengan sebuah kalimat indah berbunyi : Citibank - Citi that Never Sleeps.

Kini saya cuma bergumam, mungkin tagline itu sekarang mesti diganti menjadi : Citibank - Citi that Sleeps Forever…..

Tidak ada komentar: