Minggu, 08 Maret 2009

Menjelang PEMILU 2009, potret bangsa ini ...........

Paradigma politik di Indonesia pasca reformasi dan pasca pemilu 2004, yang disebut sebagai pemilu pertama di dunia yang menggunakan sistem pemilihan langsung, ternyata dalam perkembangan nya di Indonesia sudah mengarah kembali pada sikap dasar dari manusia, yaitu haus akan kekuasaan dan pengakuan.
Elit-elit politik di Indonesia saat ini berlomba-lomba menyusun kekuatan untuk pemilu 2009, mereka tak peduli bahwa saat ini mereka masih terikat kontrak politik sebagai aparat eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Banyak pejabat - pejabat yang sudah mempersiapkan amunisi terlalu dini untuk bertarung di Pemilu 2009, dan tanpa malu-malu kucing lagi, mereka menggunakan fasilitas kekuasaannya saat ini. Tokoh-tokoh ini melakukan sesuatu yang hasilnya mungkin lebih buruk dengan yang dilakukan orde baru,
Alih-alih mencari solusi atas berbagai persoalan yang melanda bangsa ini, perilaku para wakil rakyat pun setali tiga uang. Mereka yang notabene “wujud” dari suara rakyat seakan acuh tak acuh menghadapi berbagai problematika yang menimpa rakyat. Mereka sibuk “memenuhi” pundi-pundi keluarga masing-masing. Sementara aspirasi-aspirasi rakyat yang disampaikan kepada mereka seolah menguap begitu saja, tanpa ada kejelasan kapan aspirasi tersebut dipenuhi.
Dampak korupsi, nampaknya sudah terlalu besar bagi bangsa ini. Korupsi telah mengakibatkan banyak investor asing enggan menanam modal di Indonesia. Korupsi juga menyebabkan banyak industri kecil sulit berkembang, yang pada gilirannya akan melemahkan upaya pengembangan ekonomi berbasis UKM.
Kemiskinan adalah persoalan akut bangsa ini, sekaligus bahan kampanye mereka yang berminat menjadi presiden. Simaklah penelitian The Fraser Institute dari Kanada mengenai economic freedom and the world poverty yang dipublikasikan awal bulan ini. Persentase penduduk Indonesia berpenghasilan kurang dari USD 1 per hari (dikenal dengan sebutan extreme poverty) adalah 7.51% pada 2004, secara bertahap turun dari 32.7% pada 1980. Sebaliknya, persentase mereka yang berpenghasilan kurang dari USD 2 per hari (moderate poverty) justru meningkat dari 43.96% pada 1995 menjadi 52.4% pada 2004. Data diperoleh dari UNDP dan World Bank.
Ternyata kompetisi politik kelihatannya tak cukup efektif memaksa incumbent berlaku cepat tanggap dan tepat waktu mengatasi ancaman kelaparan. Peragaan makan nasi aking oleh satu aktor politik, “hanya perlu” dibalas dengan strategi pencitraan yang lebih canggih.
Dalam era desentralisasi, kita dapat melihat bagaimana persoalan yang muncul ke permukaan seringkali gagal diidentifikasi siapa yang bersalah. Akibatnya, setiap terjadi bencana, seperti kelaparan (individual) maupun bencana alam (kolektif), publik sulit “menghukum” pihak yang lalai. Atas dasar ini, prediksi bahwa bencana akan memberikan insentif untuk bertindak responsif dan berpihak kepada rakyat seringkali tidak terjadi.

Desentralisasi juga gagal mengatasi permasalahan “knowledge problem”. Pejabat di daerah lebih sering menegasikan kasus kelaparan atau gizi buruk dan mengaku baru tahu dari pemberitaan media. Prinsip “yang dekat lebih tahu” tidak terwujud. Akibatnya, sekalipun bisa jadi tersedia aneka program untuk warga miskin, tapi gagal menjangkau kebutuhan mereka.

Satu dekade reformasi menjadi titik kritis yang tak bisa diremehkan. Ketidakpuasan masyarakat terhadap dampak dari semua perubahan ini akan terus tumbuh. Frustasi atas langkah elite yang lamban dan membelakangi harapan pemilihnya. Kencangnya desakan untuk kembali ke naskah konstitusi sebelum amandemen adalah sedikit contoh yang mencerminkan dinamika tersebut.
Manuver-manuver politik memang sudah sangat umum dilakukan menjelang pemilihan umum, namun hendaknya manuver politik ini bisa dilakukan secara ber-etika, tanpa harus menyakiti hati rakyat yang sangat kecewa melihat idola mereka di Pemilu 2004 sudah mencari kekasih baru menjelang pemilu 2009 tanpa menghasilkan sesuatu yang faktual sepanjang 5 tahun ini. Sangat ironis, hal ini dilakukan oleh mayoritas tokoh-tokoh penggerak roda reformasi yang sejatinya mengutamakan kepentingan rakyat ketimbang golongan maupun partai.
Kelebihan Orde Baru adalah disiplin dalam hal menjamin kebutuhan pokok rakyat. Pada masa kini “politik beras” yang dibalut korupsi semacam itu menjadi tak relevan lagi. Yang diperlukan sekarang adalah menjauhkan kepentingan-kepentingan politik dari setiap keputusan ekonomi. Inilah sesungguhnya tantangan pemerintahan saat ini. Berbagai kemelut ekonomi seperti masalah perberasan akan mendapatkan penyelesaian apabila kebijakan ekonomi tak lagi didistorsi para pencari rente.

Tidak ada komentar: