Sabtu, 28 Maret 2009

Apakah ilmu ekonomi lahir karena para pemikirnya benar-benar terlibat menjawab masalah sosial yang muncul pada zamannya ?

Ronald Coase dengan sinis mengomentari para ekonom saat ini dengan ungkapan :

“… economics, over the years, has become more and more abstract and divorced from events in the real world. Economists, by and large, do not study the workings of the actual system. They theorize about it ….. If economists wished study the horse, they wouldn’t go and look at the horses. They’d sit in their studies and say to themselves, ”What would I do if I were a horse ?"


Ilmu ekonomi ortodoks (sebutan Ormerod terhadap ilmu ekonomi dominan) merupakan ”keasyikan” eksperimentasi intelektual dan pengolahan kecanggihan akademis semata. Seakan ilmu ekonomi mutlak dan eksak, terbukti diadaptasikannya berbagai rumus matematis untuk ilmu ekonomi. Tanpa menghiraukan, apakah model-model yang disusun mempunyai kaitan dengan kenyataan empiris masyarakat atau tidak. Ilmu ekonomi kini lebih merupakan ”belukar aljabar”, daripada pengertian tentang keadaan sebenarnya.

Krisis ekonomi global saat ini merupakan pukulan telak bagi para ekonom ortodoks yang selalu menyelesaikan masalah ekonomi melalui asumsi ekonomi matematis yang ternyata tak memberikan banyak perbaikan..

Bagaimana dengan krisis di Indonesia tahun 1997? Blessing in disguise, hal ini menggugah kesadaran bahwa krisis di Indonesia tahun 1997 bukan melulu disebabkan faktor ekonomis semata. Krisis ini multidimensional, sehingga penyelesaian teknis ekonomi tak banyak memberi perbaikan. Setidaknya, kepongahan ”otoritas tunggal” ekonom ortodoks telah terlucuti.

Ketika krisis ekonomi menimpa Indonesia 1997, banyak orang berpendapat bahwa Indonesia telah menjadi korban arus besar “globalisasi” yang telah menghancur-leburkan sendi-sendi kehidupan termasuk ketahanan moral bangsa bahkan para pakar ekonomi ortodoks pesimis ekonomi nasional akan pulih kurang dari 5 tahun.

Namun terbukti, meski mengalami bleeding berupa pelarian modal $ 10 milyar per tahun dan ambruknya industri besar, hanya dalam 2 tahun ekonomi nasional telah tumbuh 4,8%. Akhirnya diakui bahwa usaha mikro, kecil dan menengah (sering disebut ekonomi rakyat), memberi kontribusi signifikan pada pertumbuhan ekonomi itu. Fenomena ini mengejutkan, sebab di luar nalar dari ilmu ekonomi ortodoks.

Jadi ekonomi rakyat yang telah menyelamatkan Indonesia dari krisis adalah ekonomi yang ”berdikari” dan ulet. Mereka yang berjuang dari apa yang ada, atau modal sendiri. Hal ini sangat ironis dibandingkan dengan ”mental pengemis” dari pemerintah yang dijustifikasi melalui para ekonom. Akibat mental pengemis ini, kini negara kita masuk dalam jebakan utang (debt trap). Ironisnya, justru kita diselamatkan ekonomi rakyat yang ”berdikari”.

J.H. Boeke tahun 1930-an, Setelah bergumul dan mendalami masyarakat di Asia dalam melakukan pengolahan teoritis dan menginisiasikan teori ”dualisme ekonomi”. Ia menjelaskan bahwa di Asia selain ada sistem ekonomi yang diimpor (kapitalisme modern), terdapat pula sistem ekonomi tradisional. Dimana keduanya bagaikan minyak dan air yang sulit bercampur. Menurutnya diperlukan teori ekonomi tersendiri dalam mengembangkan masyarakat dualistis, sebab teori yang dikembangkan kapitalisme modern tak dapat diterapkan.

Menurut Prof. Dr. Mubyarto, di Indonesia perlawanan terhadap teori ekonomi Neoklasik sudah dimulai sejak tahun 1979 dalam bentuk konsep Ekonomi Pancasila, tetapi karena pemerintah Orde Baru yang didukung para teknokrat (ekonomi) dan militer begitu kuat, maka konsep Ekonomi Pancasila yang dituduh berbau komunis lalu dengan mudah dijadikan musuh pemerintah, dan masyarakat seperti biasa mengikuti “arahan” pemerintah agar konsep Ekonomi Pancasila ditolak.

Namun reformasi 1997-98 menyadarkan bangsa Indonesia bahwa paradigma ekonomi selama Orde Baru memang keliru karena tidak bersifat kerakyatan, dan jelas-jelas berpihak pada kepentingan konglomerat yang bersekongkol dengan pemerintah. Maka munculah gerakan ekonomi kerakyatan yang sebenarnya tidak lain dari sub-sistem Ekonomi Pancasila, tetapi karena kata Pancasila telah banyak disalahgunakan Orde Baru, orang cenderung alergi dan menghindarinya. Jika Ekonomi Pancasila mencakup 5 sila (bermoral, manusiawi, nasionalis, demokratis, dan berkeadilan social), maka ekonomi kerakyatan menekankan pada sila ke-4 saja yang memang telah paling banyak dilanggar selama periode Orde Baru.

Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.

Tidak ada komentar: