Selasa, 30 Juni 2009

MENIKMATI KEBOSANAN..............



Suatu hari ada seorang tua yang sangat bijak ditanya oleh seorang tamunya.

Tamu : Sebenarnya apa itu perasaan bosan, pak tua ?

Pak Tua : Bosan adalah keadaan dimana pikiran menginginkan perubahan, mendambakan sesuatu yang baru, dan menginginkan berhentinya rutinitas hidup dan keadaan yang monoton dari waktu ke waktu.

Tamu : Kenapa kita merasa bosan ?

Pak Tua : Karena kita tidak pernah merasa puas dengan apa yang kita miliki.

Tamu : Bagaimana menghilangkan kebosanan ?
Pak Tua : Hanya ada satu cara, nikmatilah kebosanan itu, maka kita pun akan terbebas darinya.

Tamu : Bagaimana mungkin bisa menikmati kebosanan ?

Pak Tua: Bertanyalah pada dirimu sendiri: mengapa kamu tidak pernah bosan makan nasi yang sama rasanya setiap hari ?

Tamu : Karena kita makan nasi dengan lauk dan sayur yang berbeda, Pak Tua.

Pak Tua : Benar sekali, anakku, tambahkan sesuatu yang baru dalam rutinitasmu maka kebosanan pun akan hilang.

Tamu: Bagaimana menambahkan hal baru dalam rutinitas ?

Pak Tua : Ubahlah caramu melakukan rutinitas itu. Kalau biasanya menulis sambil duduk, cobalah menulis sambil jongkok atau berbaring. Kalau biasanya membaca di kursi, cobalah membaca sambil berjalan-jalan atau meloncat-loncat. Kalau biasanya menelpon dengan tangan kanan, cobalah dengan tangan kiri atau dengan kaki kalau bisa. Dan seterusnya.

Lalu Tamu itu pun pergi.
Beberapa hari kemudian Tamu itu mengunjungi Pak Tua lagi.

Tamu :
Pak tua, saya sudah melakukan apa yang Anda sarankan, kenapa saya masih merasa bosan juga ?

Pak Tua :
Coba lakukan sesuatu yang bersifat kekanak-kanakan.

Tamu : Contohnya ?

Pak Tua : Mainkan permainan yang paling kamu senangi di waktu kecil dulu.

Lalu Tamu itu pun pergi.
Beberapa minggu kemudian, Tamu itu datang lagi ke rumah Pak Tua.

Tamu : Pak tua, saya melakukan apa yang Anda sarankan. Di setiap waktu senggang saya bermain sepuas-puasnya semua permainan anak-anak yang saya senangi dulu. Dan keajaiban pun terjadi. Sampai sekarang saya tidak pernah merasa bosan lagi, meskipun di saat saya melakukan hal-hal yang dulu pernah saya anggap membosankan. Kenapa bisa demikian, Pak Tua ?

Sambil tersenyum Pak Tua berkata: Karena segala sesuatu sebenarnya berasal dari pikiranmu sendiri, anakku. Kebosanan itu pun berasal dari pikiranmu yang berpikir tentang kebosanan. Saya menyuruhmu bermain seperti anak kecil agar pikiranmu menjadi ceria. Sekarang kamu tidak merasa bosan lagi karena pikiranmu tentang keceriaan berhasil mengalahkan pikiranmu tentang kebosanan. Segala sesuatu berasal dari pikiran. Berpikir bosan menyebabkan kau bosan. Berpikir ceria menjadikan kamu ceria.

Senin, 29 Juni 2009

Sepeda Motor Bakal Bisa Melaju di Jalan Tol


Nantinya, jalan tol tak lagi hanya buat pengendara roda empat ke atas. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 44 Tahun 2009 tentang Jalan Tol, para pengendara motor juga boleh melaju di jalan bebas hambatan.

Beleid yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 8 Juni itu menyebutkan, kendaraan roda dua alias motor dapat melewati ruas jalan tol. Dalam PP 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol yang berlaku sebelumnya, ketentuan ini sama sekali tidak disebutkan.

Pemerintah beralasan, pembuatan aturan ini untuk memberikan keadilan bagi masyarakat. Apalagi, di sejumlah daerah, motor adalah alat transportasi yang jumlahnya cukup besar.

Namun, sepeda motor tak bisa melaju di sembarang jalan tol. Motor hanya bisa melintasi tol yang menyediakan jalur khusus yang secara fisik terpisah dari jalur mobil.

Itu sebabnya, kendati sudah berlaku sejak 8 Juni lalu, penerapan aturan ini tetap butuh waktu. "Selama ini, jalan tol hanya untuk roda empat. Jadi, perlu waktu menyiapkan jalur khusus sepeda motor," ujar Direktur Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan Suroyo Ali Moesa.

Direktur Utama PT Jasa Marga Tbk, salah satu perusahaan operator jalan tol, Frans Sunito menyambut baik aturan ini. Kendati begitu, ia meminta aturan detail. "Di PP itu harus diatur dengan jelas supaya tidak salah persepsi," ujar Frans.

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Nurdin Manurung menandaskan bahwa PP 44 Tahun 2009 tidak serta-merta mewajibkan operator jalan tol membuatkan jalur khusus motor. Kata dia, PP itu dibuat untuk mengantisipasi kondisi darurat.

Misalnya, sepeda motor tak bisa lewat lantaran tidak ada jalur alternatif lain. Alhasil, untuk daerah yang memiliki jalan alternatif, jalur khusus motor di tol sebenarnya tidak terlalu diperlukan.

Alasan lainnya, pengendara motor juga jarang terkena macet seperti layaknya pengendara mobil. Belum lagi, pengendara motor yang melewati tol akan dikenai tarif oleh pengelola. "Apakah akan lebih murah bagi motor untuk lewat tol daripada jalan alternatif?" ujar Nurdin.

Pendapatan Jasa Marga Triwulan I Mencapai Rp 832,9 Miliar


Press Release Nomor : 009/2009 Tanggal 11 Mei 2009

Jakarta, 11 Mei 2009 - PT Jasa Marga (Persero) Tbk dengan kode saham JSMR, dalam triwulan I tahun 2009 membukukan pendapatan sebesar Rp 832,9 miliar atau meningkat 4,2% dibandingkan pendapatan triwulan I 2008 sebesar Rp 799,4 miliar.

Peningkatan pendapatan yang berhasil dibukukan Jasa Marga ini juga berdampak positif terhadap peningkatan Laba Operasi Perseroan. Menurut Reynaldi Hermansjah, Direktur Keuangan PT Jasa Marga (Persero) Tbk., laba operasi triwulan I meningkat 1,6% dari Rp 361,9 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 367,7 miliar di tahun 2009. Peningkatan pendapatan juga berpengaruh terhadap peningkatan EBITDA Perseroan yaitu Rp 467,6 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 478,9 miliar di tahun 2009.

“Sebagai perusahaan publik, Jasa Marga merasa gembira dengan kinerja triwulan I 2009 ini, yang tidak terlepas dari dukungan para pengguna jalan tol Jasa Marga. Kami akan terus meningkatkan kinerja dan pelayanan kami di masa-masa mendatang, untuk seluruh konsumen maupun investor di pasar modal,” kata Reynaldi.

Seiring membaiknya laba operasi triwulan I 2009, pencapaian laba bersih juga mengalami peningkatan sebesar 4% dari Rp 189 miliar di tahun 2008 menjadi Rp 196 miliar di tahun 2009.

Jasa Marga saat ini mengelola 13 ruas tol yakni jalan tol Belmera di Sumatera Utara (34 km), Jagorawi (46 km), Jakarta – Tangerang (28 km), Ulujami – Pondok Aren (5,5 km), Jakarta Inner Ring Road (25 km), Sedyatmo atau tol bandara (14,3 km), Jakarta – Cikampek (72 km), Jakarta Outer Ring Road (45 km), Cikampek – Padalarang (58,5 km), Padalarang – Cileunyi (63,9 km), Palikanci (28,8 km), Semarang (35,2 km), dan Surabaya – Gempol (39,5 km).

Proyek Jalan Tol

Sebagai upaya untuk terus meningkatkan kinerja, Jasa Marga akan mengerjakan beberapa proyek jalan tol yang terdiri dari Bogor Ring Road (11 km), Semarang – Solo (76 km), Gempol – Pasuruan (32 km), JORR II Serpong – Kunciran (11,2 km), serta JORR II Kunciran – Cengkareng (15,2 km).

Selain itu juga proyek JORR W2 Ulujami – Kebon Jeruk (7,7 km), Surabaya – Mojokerto (36,3 km), relokasi jalan tol Porong – Gempol (10 km), dan JORR W1 Kebon Jeruk – Penjaringan (9,7 km).

Menurut Reynaldi Hermansjah, Jasa Marga akan meningkatkan kepemilikan saham di PT Marga Kunciran Cengkareng (MKC), pemegang konsesi jalan tol Jakarta Outer Ring Road II ruas Cengkareng – Kunciran, yakni dari 20% menjadi 75%. Di perusahaan ini Jasa Marga akan melakukan penambahan modal total sebesar Rp 629 miliar.
Kemudian di PT Marga Trans Nusantara (MTN) pemegang konsesi jalan tol JORR II ruas Serpong – Kunciran, perseroan akan menambah saham dari 30% menjadi 60%. Di ruas ini Jasa Marga akan menambah setoran modal sebesar Rp 406,3 miliar. Penambahan ketiga adalah di PT Marga Nujyasumo Agung (MNA), pemegang konsesi ruas tol Surabaya – Mojokerto (Sumo) dari 1,7% menjadi 55%. Jasa Marga akan menambah modal total sebesar Rp 527,3 miliar.


Jumat, 15 Mei 2009 - 09:28:45 \W\I\B

Untuk informasi lebih lengkap mohon hubungi :
Ir. Okke Merlina
Sekretaris Perusahaan
Telp. 8413526, 841 3630

Rabu, 24 Juni 2009

Wall Street Usai Pertemuan The Fed


Dear all,

Tadi malam Dow di tutup -23.05(-0.28%) 8,299.86, Nasdaq +27.42 (+1.55%) 1,792.34, S&P500 +5.84 (+0.65%) 900.94
Citigroup +0.03(+1.00%) 3.04, Bank Of America +0.12(+0.98%) 12.35

Wall Street Biasa-biasa Usai Pertemuan The Fed

Hasil dari pertemuan 2 hari Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak banyak membawa kejutan. Saham-saham di Wall Street pun bergerak biasa-biasa saja, bahkan indeks Dow Jones hanya melemah tipis.

Investor merasa tidak mendapatkan banyak dorongan karena pernyataan The Fed dalam pertemuan kali ini tidak banyak berubah dibandingkan pernyataan dari pertemuan The Fed terakhir kali pada 29 April lalu. The Fed mengulangi pernyataan soal outlook perekonomian dan mempertahankan kebijakan suku bunga rendahnya di kisaran 0-0,25%.

Semula saham-saham bergerak positif sebelum keluarnya hasil pertemuan setelah data order barang-barang tahan lama yang mengalami lonjakan. Namun setelah pernyataan dari The Fed, saham-saham justru bergerak berbalik arah.

"Pergerakan melemah ini mengikuti pernyataan kebijakan FOMC yang terakhir," ujar analis dari Briefing.com seperti dikutip dari AFP, Kamis (25/6/2009).

Pada perdagangan Rabu (24/6/2009), indeks Dow Jones ditutup melemah 23,05 poin (0,28%) ke level 8.299,86. Indeks Standard & Poor's 500 naik 5,84 poin 0,65%) ke level 900,94 dan Nasdaq naik 27,42 poin (1,55%) ke level 1.792,34.

Pasar obligasi mengalami tekanan jual karena investor kecewa The Fed tidak mengumumkan apakah akan mempercepat atau menambah rencananya membeli surat berharga pemerintah. Harga surat berharga berjangka 10 tahun turun dengan yield melonjak ke 3,70% dari 3,63%.

"Saya kira orang-orang yang semula berharap pada program pembelian obligasi akan berubah," ujar Stephen Massocca, managing director Wedbush Morgan seperti dikutip dari Reuters.

Perdagangan berjalan sangat rendah, di New York Stock Exchange mencapai 1,10 miliar lembar saham di bawah rata-rata tahun lalu yang sebanyak 1,49 miliar. Sementara di Nasdaq, transaksi mencapai 2,18 miliar, di bawah rata-rata tahun lalu yang sebanyak 2,28 miliar.

Harga Minyak Turun Lagi

Sementara harga minyak mentah dunia kembali turun seiring menguatnya dolar AS dan data cadangan minyak yang cukup beragam.

Kontrak utama minyak light pengiriman Agustus turun 57 sen menjadi US$ 68,67 per barel. Sementara minyak Bernt pengiriman Agustus turun 47 sen menjadi US$ 68,33 per barel.

Fed Tahan Kebijakan Bunga di Kisaran 0%


Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) seperti diperkirakan memutuskan untuk mempertahankan suku bunga rendahnya dikisaran 0% hingga 0,25% The Fed juga menepis kekhawatiran soal inflasi.

Demikian hasil pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) yang berlangsung pada 23-24 Juni 2009 di Washington. Keputusan tersebut diambil secara bulat.

Pernyataan dari hasil pertemuan FOMC kali ini nyaris tidak banyak berubah dari pernyataan dalam pertemuan terakhir FOMC pada 29 April lalu. FOMC tetap menyatakan bahwa perekonomian AS masih melemah namun sudah menunjukkan tanda-tanda perbaikan.

"Informasi yang diterima sejak pertemuan FOMC pada April lalu menyatakan bahwa tingkat kontraksi ekonomi masih melambat," demikian pernyataan FOMC seperti dilansir dari AFP.

"Meski aktivitas ekonomi sepertinya masih lemah dalam beberapa waktu, namun komite terus mengantisipasi langkah kebijakan untuk menstabilkan pasar finansial dan institusi, stimulus fiskal dan moneter dan kekuatan pasar akan memberikan kontribusi bagi dimulainya lagi pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan secara gradual dalam kontek stabilitas harga," urai FOMC.

FOMC juga menilai kondisi pasar finansial secara umum sudah membaik dalam beberapa bulan terakhir. Namun kondisi perekonomian saat ini dinilai masih memerlukan kebijakan suku bunga rendah untuk waktu yang lebih lama.

Perekonomian AS merosot 5,7% pada kuartal I-2009 setelah mencatat pertumbuhan 6,1% pada kuartal I-2008. The Fed sebelumnya memperkirakan perekonomian akan mengalami kontraksi antara 1,3 hingga 2% di tahun 2009.

Namun the Fed tidak memberikan indikasi apakah akan meneruskan atau menghentikan upaya menambah likuiditas di pasar finansial. Langkah tersebut sudah dicanangkan pada tahun ini yakni membeli lebih dari US$ 1 triliun obligasi pemerintah dan surat berharga lain dalam rangka menekan suku bunga.

"Komite akan terus mengevaluasi waktu dan keseluruhan nilai dari pembelian surat berharga sejalan dengan perkembangan proyeksi ekonomi dan kondisi di pasar finansial. Federal reserve akan memonitor jumlah dan komposisi neraca keseimbangan dan akan membuat penyesuaian pada program kredit dan likuiditas seperti yang dijanjikan," demikian pernyataan dari FOMC

JPMorgan Bank Terkuat di Dunia


JPMorgan menduduki peringkat pertama dalam jajaran 1.000 bank terkuat di dunia. Sementara HSBC yang pada tahun lalu menduduki peringkat pertama tergelincir ke peringkat ke-5.

Demikian pemeringkatan 1.000 bank terkuat di dunia yang disusun oleh majalah 'The Banker', seperti dikutip dari Reuters, Rabu (24/6/2009). Lima bank terkuat versi The Banker adalah:

1. JPMorgan
2. Bank of America
3. Citigroup
4. Royal Bank of Scotland (RBS).
5. HSBC.

Mitsubishi UFJ menjadi wakil Asia dengan peringkat tertinggi dalam jajaran tersebut, dengan menduduki peringkat ke-7. Mitsubishi UFJ berada satu peringkat di atas bank China, ICBC.

The Banker memperkirakan ICBC sebagai bank paling menguntungkan pada tahun lalu dengan pendapatan hingga US$ 21,3 miliar. Lima bank paling menguntungkan semuanya berasal dari China dan Spanyol, yakni:

1. ICBC, dengan pendapatan US$ 21,3 miliar
2. China Construction Bank, dengan pendapatan US$ 17,5 miliar
3. Santander, dengan pendapatan US$ 15,8 miliar
4. Bank of China, dengan pendapatan US$ 12,6 miliar
5. BBVA, dengan pendapatan US$ 9,6 miliar.

Disusul oleh HSBC dengan pendapatan US$ 9,3 miliar dan Barclays dengan pendapatan US$ 8,9 miliar.

Sedangkan RBS tercatat sebagai bank yang menderita kerugian terbesar pada tahun lalu. RBS mencatat kerugian hingga US$ 59,3 miliar, disusul Citigroup rugi US$ 53 miliar dan Wells Fargo rugi US$ 47,8 miliar.

The Banker mencatat laba perbankan global selama tahun 2009 merosot hingga 85% menjadi hanya US$ 115 miliar, dibandingkan sebelumnya sebesar US$ 781 miliar. Return on equity juga merosot dari 20% menjadi 2,69%

Nikkei Naik 0.9%; Saham Teknologi Kuat


Indeks Nikkei mengalami kenaikan sebesar 0.9% pada level 9671.49 yang dipimpin oleh kenaikan saham teknologi, dibantu oleh kenaikan Nasdaq semalam.

Nikkei mungkin akan bertahan pada area level 9550-9750, ujar analis pasar. "Pasar mungkin akan bertahan di zona positif hari ini", seiring dengan absennya petunjuk aksi jual, ujar Shinichiro Matsushita, analis dari Daiwa Securities.

Dikatakannya, investor mungkin bertahan karena tidak ada berita apapun dari FOMC untuk pasar equity; termasuk volume, mungkin akan tetap kecil sampai adanya laporan data ekonomi indikator US minggu depan.
Topix naik sebesar 0.8% pada level 909.37.

HSI Potensi Konsolidasi


Indeks Hangseng dalam waktu dekat ini mungkin akan mengalami pergerakan terbatas, ujar Patrick Yiu dari CASH Asset Management; "saham mungkin akan terjadi konsolidasi karena kehilangan momentum petunjuk".

Sedangkan Hasil dari pertemuan 2 hari Bank Sentral AS (Federal Reserve/The Fed) tidak banyak membawa kejutan. Saham-saham di Wall Street pun bergerak biasa-biasa saja semalam, bahkan indeks Dow Jones hanya melemah tipis.

Indeks diperkirakan akan bertahan pada kisaran 17300-18400 dalam satu minggu ini.. HKEx mungkin akan terjadi penurunan atas aksi profit taking setelah volume transaksi pasar turun terendah dalam 20 sesi terakhir.

HSI ditutup naik sebesar 2.0% pada level 17892.15 kemarin.


PETA KONGLOMERASI DI BURSA EFEK INDONESIA, Saham Grup Bakrie Penggerak Indeks


Saham-saham grup besar menjadi motor pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI). Kelompok saham BUMN menguasai kapitalisasi pasar 31%. Tapi dari sisi transaksi, grup Bakrie mendominasi dan paling likuid sehingga menjadi penentu arah gerak IHSG.

Grup Bakrie dengan tujuh emiten di BEI yang kapitalisasinya sebesar Rp 58,56 triliun hampir selalu menduduki top volume dan top frekuensi. Transaksi saham kelompok Bakrie rata-rata mencapai sekitar 40% dari total transaksi BEI dalam beberapa bulan terakhir.

Berdasarkan peta saham konglomerasi yang tercatat di BEI per 23 Juni 2009, grup BUMN yang terdiri atas 14 saham menguasai 31% kapitalisasi pasar senilai Rp 468,5 triliun. Di jajaran BUMN, PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (berkode saham TLKM) memiliki kapitalisasi pasar terbesar senilai Rp 148,2 triliun, disusul Bank BRI (BBRI) senilai Rp 69,6 triliun, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) Rp 69,5 triliun, dan PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) Rp 64,8 triliun.

Peringkat kedua diduduki grup Astra dengan kapitalisasi pasar senilai Rp 155 triliun atau 10,28% dari total kapitalisasi pasar BEI sebesar Rp 1.508,2 triliun. Kelompok Astra meliputi lima emiten, yakni PT Astra International Tbk (ASII) yang memiliki kapitalisasi tertinggi yakni Rp 92,1 triliun. Emiten lainnya adalah PT United Tractors Tbk (UNTR), PT Astra Agro Lestari (AALI), PT Astra Graphia Tbk (ASGR), serta PT Astra Autoparts Tbk (AUTO).

Grup Bakrie berada di urutan ketiga dengan kapitalisasi pasar Rp 58,56 triliun. Grup ini memiliki tujuh saham emiten yang tercatat di BEI dengan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) sebagai icon , sekaligus memiliki kapitalisasi tertinggi sebesar Rp 32,2 triliun. Saham Bakrie lainnya adalah PT Bakrie Brothers Tbk, PT Bakrie Telecom Tbk, PT Energi Mega persada Tbk, PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, dan PT Dharma Henwa Tbk.

Grup besar lain dengan kapitalisasi pasar besar adalah grup Lippo senilai Rp 15,8 triliun. Ada lima saham grup ini yang tercatat di BEI, yakni PT Lippo Karawaci Tbk dengan kapitalisasi tertinggi senilai Rp 11,7 triliun, PT Matahari Putra Prima Tbk, PT Lippo Cikarang Tbk, PT Lippo Securities Tbk, dan PT Multipolar Tbk.

Grup konglomerasi lain yang tercatat di BEI adalah Ciputra dan Sinar Mas. Kelompok Sinar Mas yang meliputi empat emiten membukukan kapitalisasi senilai 28,34 triliun, sementara kelompok Ciputra yang meliputi tiga emiten mencatat kapitalisasi pasar senilai Rp 6,97 triliun.

Grup Bakrie
Meski dari sisi kapitalisasi hanya di urutan ketiga, saham kelompok Bakrie selama ini mendominasi transaksi. Saham grup ini hampir selalu menduduki top volume dan top frekuensi. Dalam beberapa bulan terakhir, saham grup Bakrie mendominasi transaksi dengan rata-rata sekitar 40%. Selama Juni, rata-rata turun menjadi 21,5%.

Sedangkan nilai transaksi saham grup Astra rata-rata hanya memiliki pangsa 3-4% dari total transaksi harian di BEI, saham-saham grup Lippo sekitar 2%, saham kelompok Ciputra di bawah 1%.

Itulah sebabnya, grup Bakrie selalu menjadi motor penggerak indeks. Seperti yang terjadi pada transaksi Selasa (23/6), ketika indeks harga saham gabungan (IHSG) jatuh 60,6 poin (3,07%), saham kelompok Bakrie memberi andil dalam penurunan indeks sebesar 0,436%.

Haryajid Ramelan, Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia menyatakan, banyaknya emiten milik grup perusahaan besar yang mencatatkan sahamnya di BEI bisa menjadi motor penggerak indeks. Sebagai contoh adalah saham grup Bakrie dan Astra.

Kepala Riset PT Paramitra Alfa Sekuritas Pardomuan Sihombing mengakui, saham grup Bakrie sangat fenomenal dan disukai investor jangka pendek. Grup ini tergolong sangat agresif dalam ekspansi bisnis dengan mengandalkan utang. ”Konsekuensinya, jika ekonomi tumbuh bagus, sahamnya akan melesat. Tapi begitu ekonomi terpuruk, saham ini paling terpukul,” ungkapnya.

Hal senada diungkapkan analis pasar modal Felix Sindhunata. Saham-saham grup Bakrie selama ini paling likuid. Saham grup ini, kata dia, cocok bagi karakter investor jangka pendek.

Meski demikian, kata Pardomuan dan Felix, fundamental saham grup usaha besar tersebut umumnya relatif bagus. Hanya saja, ada grup yang cenderung konservatif, dan ada grup yang egresif dan ekspansif.

Menurut Pardomuan, kuatnya fundamental emiten grup besar terutama didukung diversifikasi bisnis yang prospektif dan berkinerja bagus. Grup Bakrie fokus pada bisnis perkebunan, pertambangan, properti, dan telekomunikasi. Grup Lippo dengan fokus pada bisnis ritel dan properti. Sedangkan kelompok Astra solid dengan bisnis otomotif, perkebunan, dan teknologi informasi.

Dari sisi manajemen pun, kata Felix dan Pardomuan, rata-rata korporasi grup besar dijalankan para profesional dengan manajemen modern. Namun, krisis kali ini akan menantang kreativitas manajemen untuk menghasilkan kinerja keuangan yang lebih baik.

Haryajid dan Pardomuan juga menyoroti salah satu sisi negatif dari banyaknya emiten grup besar yang tercatat di BEI. Salah satunya, bila satu emiten dalam grup bermasalah dan harga sahamnya turun, emiten lain dalam satu grup akan ikut terseret. Selain itu, kata Haryajid, investor saham juga cenderung tidak bisa memisahkan antara manajamen, kinerja perusahaan, dan pemilik grup. ”Kondisi seperti ini kerap menimpa saham grup Bakrie, ketika saham BUMI bermasalah dengan repo saham,” ungkap Haryajid.

Melihat kenyataan itu, Haryajid merekomendasikan kepada investor agar tidak membenamkan dananya pada saham-saham dalam satu grup besar.

Sedangkan Direktur Utama PT Panin Sekuritas Tbk Made Rugeh Ramia menilai, dominasi emiten grup tertentu dalam transaksi saham, seperti saham Grup Bakrie, merupakan keadaan yang tidak sehat. Dia mencontohkan, ketika saham BUMI disuspensi, transaksi harian saham di BEI langsung melorot hampir Rp 1 triliun.

IHSG Rontok

Sementara itu, IHSG kemarin rontok terseret bursa regional. IHSG jatuh paling dalam sebesar 60,6 poin (3,07%), terburuk di kawasan regional. Seluruh indeks regional terpuruk sebagai dampak penurunan harga saham-saham di bursa Wall Street.

Investor asing terus melepas saham di BEI dengan net selling sebesar Rp 270,5 triliun. Tren tekanan jual asing terjadi sejak pekan lalu meski selama Juni ini asing masih membukukan pembelian bersih ( net buying ) sebesar Rp 281,9 miliar.

Felix Sindhunata dan Pardomuan mengimbau investor mencermati aksi asing melego saham. Mereka menilai, asing memang cenderung melepas saham di hampir seluruh emerging markets . Hal ini dipicu oleh kondisi ekonomi global yang belum membaik, koreksi pertumbuhan global oleh Bank Dunia, dan kemerosotan harga minyak yang saat ini menyentuh US$ 66 per barel.

“Saya khawatir ada sesuatu yang ditutupi, yang berbahaya, sehingga investor asing keluar,” kata Felix.

Meski demikian, koreksi IHSG belakangan masih wajar jika melihat lonjakan IHSG sejak Maret yang terlalu cepat, dari 1.300 ke level 2.100. Dalam jangka tidak terlalu lama, Felix yakin asing akan kembali ke emerging markets.

Pardomuan menambahkan, investor saat ini mencermati sidang Komite Pasar Terbuka (FOMC) The Fed pada 23-24 Juni. Pasar berharap The Fed tetap mempertahankan suku bunga di level 0,25%. (c123)

Untuk info lebih lanjut anda bisak lik di http://current.pacific2000.co.id


Selamat berinvestasi sukses untuk anda.
Regards,
Wiyanti (0813-10768884)

Kopi Gudangnya Anti-Oksidan



Jika selama ini kopi hanya dikenal sebagai teman begadang karena kandungan kafeinnya, mungkin kini saatnya Anda tahu khasiat lain dibalik si hitam ini. Sebuah penelitian ilimiah yang di lakukan para pakar di Amerika Serikat menyebutkan bahwa kopi kemungkinan besar memberikan efek positif bagi kesehatan lebih besar dari pada mengkonsumsi buah-buahan dan sayuran

Para ilmuwan menghitung jumlah kandungan anti-oksidan (zat anti unsur radikal bebas) pada lebih dari 100 jenis makanan termasuk sayur-sayuran, buah-buahan, kacang, aneka bumbu, minyak dan minuman. Hasil penemuan tersebut kemudian dikombinasi dengan data yang ada di Departemen Pertanian AS dan sumbangan dari setiap jenis bagi pola makan rata-rata di Amerika.

Kopi terbukti merupakan sumber anti-oksidan terbesar dari setiap kali dan tingkat konsumsi yang kemudian diikuti teh hitam, pisang, kacang-kacangan kering, dan jagung.

"Orang Amerika memperoleh sumber anti-oksidan dari konsumsi kopi dibandingkan dari jenis makanan atau minuman lainnya dan sejauh ini tak ada jenis makanan atau minuman yang menyamai kopi," kata kepala tim peneliti Professor Joe Vison dari Scranton University di Pensylvania.

Baik kopi berkafein atau bebas kafein keduanya memberikan sumbangan anti-oksidan sama tingkatnya.
Badan pengamat pasar Mintel mencatat perilaku minum kopi di Inggris yang menyebutkan tingkat konsumsi kopi lebih rendah dibanding di Amerika Serikat, tercatat hanya 47 persen orang Inggris yang secara teratur meminum kopi instan atau kopi bubuk.

Anti-oksidan membantu tubuh membuang zat-zat radikal berbahaya bagi tubuh, molekul perusak yang merusak sel-sel serta DNA (cetak biru dari sel terkecil mahluk hidup). Zat anti unsur radikal bebas ini berkaitan dengan sejumlah keuntungan dan manfaat bagi kesehatan termasuk melindungi seseorang dari terkena penyakit kanker atau jantung.

Hasil penelitian tersebut memperlihatkan kopi dapat mengurangi risiko terkena kanker hati dan usus, diabetes type II serta terkena penyakit Parkinson. Namun Vinson menyarankan agar konsumsi kopi tetap pada tingkat sedang yaitu satu atau dua cangkir setiap harinya

NB :
sebenarnya efek menyegarkan yang ada pada kopi berasal dari kafein yang mampu meningkatkan tekanan dan mempercepat aliran darah. Selain itu kafein mampu merangsang system saraf. Efeknya menghilangkan kantuk dan mengurangi rasa lelah, selain itu kafein akan membuat anda mengeluarkan air seni lebih banyak. Manfaat lain dari kafein yang... Read More tidak diketahui oleh orang banyak adalah membantu mengatasi asma dan batu ginjal.

Namun, konsumsi kopi juga sebaiknya tidak berlebihan dan disesuaikan dengan takaran kafein yang dianjurkan. Takaran kafein yang dianjurkan anatara 50 mg sampai dengan 200 mg, sebagai gambaran 2 gelas kopi mengandung kafein sampai dengan 160 mg, sampai keesokan harinya kafein ini masih tersisa 80 mg dalam tubuh.

Jum'at, 28 Oktober 2005 16:00
KapanLagi.com

Senin, 22 Juni 2009

"SMART Tunnel"



The "Stormwater Management and Road Tunnel" or "SMART Tunnel", is a storm drainage and road structure in Kuala Lumpur, Malaysia, a major national project in the country. It is the longest stormwater tunnel in South East Asia and second longest in Asia.

The main objective of this tunnel is to solve the problem of flash floods in Kuala Lumpur and also to reduce traffic jams along Jalan Sungai Besi and Lok Yew flyover at Pudu during rush hour. There are two components of this tunnel, the stormwater tunnel and motorway tunnel. It is the longest multi-purpose tunnel in the world.

It begins at Kampung Berembang lake near Klang River at Ampang and ends at Taman Desa lake near Kerayong River at Salak South. The project is led by the government, including Malaysian Highway Authority (LLM) and the Department of Irrigation and Drainage Malaysia (Jabatan Pengairan dan Saliran = JPS) and also a company joint venture pact between Gamuda Berhad and Malaysian Mining Corporation Berhad (MMC).

History
Construction of the tunnel began in 25 November 2003. Two Herrenknecht's Tunnel Boring Machines (TBM) from Germany were used, including "Tuah" on north side and "Gemilang" on south side.

On 11 December 2003, the 13.2 m diameter Mixshield TBM, Tuah, completed a 737 m section after 24 weeks of excavation. By the end of January 2004, Tuah would start a second drive covering a distance of 4.5 km to Kampung Berembang lake. A second TBM, Gemilang, has bored 350 m since getting underway in August 2004. Operated by Wayss & Freytag of Germany, this second Herrenknecht's TBM would drive 5.3 km in the south of the city to Taman Desa lake.

On 22 April 2006, the Gemilang's TBM completed digging on the south side at the Taman Desa outfall, while the Tuah's TBM completed digging in the Kampung Berembang area in 2 April 2007.

The motorway sections on the SMART system was officially opened at 3:00PM, 14 May 2007, after multiple delays.[1] [2]
Meanwhile, the stormwater sections on the SMART system began operations at the end of June 2007.

How SMART Tunnel works
[edit] First mode (Normal conditions)
The first mode, under normal conditions where there is no storm, no flood water will be diverted into the system.

Second mode (Most storms)
When the second mode is activated, flood water is diverted into the bypass tunnel in the lower channel of the motorway tunnel. The motorway section is still open to traffic at this stage.

Third mode (Major storms)
When this mode is in operation, the motorway will be closed to all traffic. After making sure all vehicles have exited the motorway, automated water-tight gates will be opened to allow flood waters to pass through. The motorway will be reopened to traffic within 48 hours of closure.

Tunnel safety
Ventilation or escape shafts at 1 km intervals provide ventilation within the motorway. To protect the ventilation system during floods, the system consist of a series of shafts; each containing an exhaust and fresh air injector. This design enables fans situated outside the SMART Tunnel to create a longitudinal flow in the tunnel between the shafts that permits the air in the tunnel to be continuously renewed and to enable extraction of exhaust fumes. The feature also allows smoke control in the event of a fire. The SMART Tunnel is also equipped with fire-fighting, telecommunication and surveillance equipments at 1 km intervals.
Technical specifications


SMART Tunnel during a test on 29 January 2007

The north bound entrance of SMART Tunnel on the Kuala Lumpur-Seremban Expressway.
Stormwater tunnel
• Construction cost: RM1,887 million (US$514.6 million)
• Stormwater tunnel length: 9.7 km (6.0 mi)
• Diameter: 13.2 m (43.3 ft) (outer diameter)
• Tunnelling method: Tunnel Boring Machine (TBM)
• TBM type: Slurry shield

Motorway tunnel
• Motorway tunnel length: 4 km (2.5 mi)
• Structure type: Double Deck
• Ingress and egress: 1.5 km (0.93 mi) at Jalan Sultan Ismail and Jalan Imbi
• Length: 1.4 km (0.87 mi) at Jalan Tun Razak
• Links: 1.6 km (1 mi) at Kuala Lumpur-Seremban Expressway Links: City Centre near Kg. Pandan Roundabout KL-Seremban Expressway near Sungai Besi Airport

Features
• Longest tunnel in Malaysia.
• 9.7km (6.03 miles) stormwater by-pass tunnel.
• 4km (2.49 miles) double-deck motorway within stormwater tunnel.
• The motorway tunnel is suitable for light vehicles only. Motorcycles and heavy vehicles are not allowed.
• Ingress and egress connections to the motorway tunnel linking the southern gateway to the city centre.
• Holding basin complete with diversion and tunnel intake structures.
• Storage reservoir and a twin-box culvert to release flood discharge.
• State-of-the-art operations control room equipped with the latest systems in operations management, surveillance and maintenance of the SMART system.
• Custom-made fire engine units consisting two modified Toyota Hilux, parked at two different locations for quick access to the tunnel in case of fire at both

carriageways[3].
Toll rates

Class Type of vehicles Rate (in Malaysian ringgit (RM)) Notes

1 Private car RM2.00 TnG and TAG are also available at this toll plaza.

4 Taxis RM2.00 Toll charges are paid by passengers only.

Fatalism vs fetishism




How will developing countries grow after the financial crisis?


FORTY years ago Singapore, now home to the world’s busiest port, was a forlorn outpost still garrisoned by the British. In 1961 South Korea was less industrialised than the communist north and dependent on American aid. In 1978 China’s exports amounted to less than 5% of its GDP. These countries, and many of their neighbours, have since traded their way out of poverty. Given their success, it is easy to forget that some development economists were once prey to “export fatalism”. Poor countries, they believed, had little to gain from venturing into the world market. If they tried to expand their exports, they would thwart each other, driving down the price of their commodities.

The financial crisis of the past nine months is stirring a new export fatalism in the minds of some economists. Even after the global economy recovers, developing countries may find it harder to pursue a policy of “export-led growth”, which served countries like South Korea so well. Under this strategy, sometimes called “export fetishism”, countries spur sales abroad, often by keeping their currencies cheap. Some save the proceeds in foreign-currency reserves, rather than spending them on imports. This strategy is one reason why the developing world’s current-account surplus exceeded $700 billion in 2008, as measured by the IMF. In the past, these surpluses were offset by American deficits. But America may now rethink the bargain. This imbalance, whereby foreigners sell their goods to America in exchange for its assets, was one potential cause of the country’s financial crisis

If this global bargain does come unstuck, how should developing countries respond? In a new paper*, Dani Rodrik of Harvard University offers a novel suggestion. He argues that developing countries should continue to promote exportables, but no longer promote exports. What’s the difference? An exportable is a good that could be traded across borders, but need not be. Mr Rodrik’s recommended policies would help countries make more of these exportables, without selling quite so many abroad.
Countries grow by shifting labour and investment from traditional activities, where productivity is stagnant, to new industries, which abound in economies of scale or opportunities to assimilate better techniques. These new industries usually make exportable goods, such as cotton textiles or toys. But whatever the fetishists believe, there is nothing special about the act of exporting per se, Mr Rodrik argues. For example, companies do not need to venture abroad to feel the bracing sting of international competition. If their products can be traded across borders, then foreign rivals can compete with them at home.

As countries industrialise and diversify, their exports grow, which sometimes results in a trade surplus. These three things tend to go together. But in a statistical “horse race” between the three—industrialisation, exports and exports minus imports—Mr Rodrik finds that it is the growth of tradable, industrial goods, as a share of GDP, that does most of the work.

How do you promote exportables without promoting exports? Cheap currencies will not do the trick. They serve as a subsidy to exports, but also act like a tax on imports. They encourage the production of tradable goods, but discourage their consumption—which is why producers look for buyers abroad.

Policymakers need a different set of tools, Mr Rodrik argues. They should set aside their exchange-rate policies in favour of industrial policy, subsidising promising new industries directly. These sops would expand the production of tradable goods above what the market would dictate. But the subsidy would not discourage their consumption. Indeed, policymakers should allow the country’s exchange rate to strengthen naturally, eliminating any trade surplus. The stronger currency would cost favoured industries some foreign customers. But these firms would still do better overall than under a policy of laissez-faire.

Return of the cargo cult
Mr Rodrik offers a solution to an awkward problem: how policymakers can restore the growth strategies of the pre-crisis era without reviving the trade imbalances that accompanied them. But is his solution as neat as it sounds? Start with the theory. Mr Rodrik claims there is nothing special about exporting. He is probably right. But his statistical test is unlikely to be the last word on the matter, given the difficulties of disentangling variables that move together. Mr Rodrik’s model also assumes a single tradable good. Under his policies, countries sell the same kind of stuff at home that they formerly sold to foreigners. In a more elaborate model, foreign and local tastes would differ. China, for example, made most of the world’s third-generation mobile phones long before 3G telephony was available at home. Firms in poor countries can learn a lot from serving richer customers abroad.

What about the practice? Subsidies are notoriously prone to error and abuse. Even before the crisis, Mr Rodrik was keen to rehabilitate industrial policy in the eyes of many economists, who doubt governments’ ability to pick winners but have every faith in their aptitude for favouring corporate friends. In these circles, a cheap currency is often seen as the least disreputable form of industrial policy, because it benefits exporters in general, without favouring any particular industry or firm.
This ingenious economist may also be preparing for a future that is further off than you might think. American policymakers are certainly worried about their country’s trade deficit. But they are far more concerned about unemployment. Most of their efforts to revive demand will tend to widen the trade gap, at least in the short run. The American government is also more anxious than ever to sell its paper, and whatever they say in public, the central banks of China and other big emerging economies still seem happy to buy. Export fetishism seems fated to endur

Jun 11th 2009
From The Economist print edition

The art of Chinese massage




Is China overstating its true rate of growth?

PART of the recent optimism in world markets rests on the belief that China’s fiscal-stimulus package is boosting its economy and that GDP growth could come close to the government’s target of 8% this year. Some economists, however, suspect that the figures overstate the economy’s true growth rate and that Beijing would report 8% regardless of the truth. Is China cheating?

Economists have long doubted the credibility of Chinese data and it is widely accepted that GDP growth was overstated during the previous two downturns. In 1998-99, during the Asian financial crisis, China’s GDP grew by an average of 7.7%, according to official figures. However, using alternative measures of activity, such as energy production, air travel and imports, Thomas Rawski of the University of Pittsburgh calculated that the growth rate was at best 2%. Other economists reckon that Mr Rawski was too pessimistic. Arthur Kroeber of Dragonomics, a research firm in Beijing, estimates GDP growth was around 5% in 1998-99, for example. The top chart, plotting the official growth rate against estimates by Dragonomics, clearly suggests that some massaging of the government statistics may have gone on. The biggest adjustment seems to have been made in 1989, the year of political protests in Tiananmen Square. Officially, GDP grew by over 4%; Dragonomics reckons it actually declined by 1.5%.

China’s growth in the first quarter of this year has led some to conclude that the government is up to the same old tricks. According to official figures, GDP was 6.1% higher than a year earlier. Yet electricity production in the first quarter was 4% lower than it had been a year earlier; in comparison, production grew by 16% in the year to the first quarter of 2008. In the past, GDP and electricity output have moved broadly together, although it is not a one-to-one relationship (see bottom chart). But the gap between the two lines is now wider than it has ever been. Given that power statistics are less likely to have been tampered with than politically sensitive GDP figures, is this evidence that the latter have been fiddled?

Probably not. Paul Cavey, an economist at Macquarie Securities, argues that the discrepancy is explained by the fact that energy-guzzling heavy industries, such as steel and aluminium, bore the brunt of the slowdown last year. Mr Cavey calculates that the metals industry accounted for 40% of the growth in electricity consumption in 2001-07, but only 16% of the increase in industrial production. Steel output fell by more than 10% in the year to the fourth quarter, so it is hardly surprising that energy use dropped.

Distrust of the GDP numbers has prompted Capital Economics, a research firm based in London, to create its own proxy of economic activity, which includes electricity output, domestic freight volumes, cargo traffic at ports, passenger transport and floor area under construction. It suggests that GDP growth slowed to only 4% in the year to the first quarter. However, it tracks mostly industrial activity, and thus excludes two-fifths of the economy, most notably services, which are growing faster.

Then there are government tax revenues. These have fallen by 10% over the past year, compared with a surge of 35% in early 2008, suggesting that incomes and output have tumbled. But Stephen Green, an economist at Standard Chartered, says that revenues were inflated in early 2008 by a sharp rise in taxes from the boom in land sales, which has since subsided. Another possible distortion is that local officials may be hiding tax revenue to make their finances appear worse, in order to get more money from Beijing to finance infrastructure projects.

Overall, Dragonomics’s Mr Kroeber thinks that GDP growth in the year to the first quarter of 2009 was not significantly overstated. One reason why others are more suspicious is the fact that the National Bureau of Statistics (NBS) does not publish quarterly GDP figures as developed economies do; its year-on-year changes give it more scope to smooth growth rates (for example, output probably did stall over the past two quarters). To be fair, many developing countries do this as well. One reason is that seasonal adjustment is tricky in such countries where the shift from agriculture to industry changes the pattern of seasonality over time, says Mr Kroeber.
Cutting the fudge

And for all today’s misgivings, Beijing’s growth estimates consistently proved to be too low until recently. One of the quirks of Chinese data has long been that the provinces reported higher numbers than the central government did—a phenomenon that was put down to the fact that local officials inflated growth rates in order to get promoted. Yet the NBS GDP figures have almost always been revised upwards. For example, growth in 2007 was first reported as 11.4%, but in January it was marked up to 13%.

The NBS has improved its data-gathering methods in recent years, by extending its coverage of services, for example. This month Beijing also introduced new penalties for officials who falsify statistics. But the real test is whether the government itself is prepared to publish politically embarrassing bad news. There are encouraging signs that it is becoming more open. On May 14th an essay on the NBS website by Xu Xianchun, the bureau’s deputy director, was surprisingly frank about some of the flaws in Chinese statistics. Mr Xu admitted, for example, that the retail-sales numbers include some purchases by companies and the government, which should not be counted as consumption. He estimated that consumer spending in the first quarter grew by 9%, compared with the 15% increase reported for retail sales.

Andy Rothman, an economist at CLSA, a regional broker, believes that Chinese statistics are much more trustworthy than they used to be. This is partly because there are alternative numbers to go on; CLSA, for example, produces its own purchasing-managers’ index. There are also more private-sector economists keeping tabs on China than there were a decade ago. The more eyes there are on China, and the more crucial its economic performance becomes for the rest of the world, the harder it is for officials to tamper with the speedometer.

May 21st 2009
From The Economist print edition

Indeks saham di AS dan Eropa merosot


Dari rekan saya Indah Rose,

Tadi malam ( 22 juni 2009), Dow di tutup -200.72 (-2.35%) 8,339.01, Nasdaq -61.28 (-3.35%) 8,766.19, S&P 500 -28.19 (-3.06%) 893.04
Citigroup -0.17 (-5.36%) 3.03, Bank Of America (bac) -1.28 (-9.68%) 11.94

Indeks saham di AS dan Eropa merosot
Indeks saham di Wall Street dan Eropa merosot tertekan pernyataan Bank Dunia bahwa resesi akan lebih parah daripada perkiraan sebelumnya.
Indeks Standard & Poor’s 500 kemarin ditutup anjlok 3,1% menjadi 893,04, terendah dalam dua bulan terakhir. Indeks Dow Jones Industrial Average merosot 200,72 poin (2,4%) menjadi 8.339,01. Indeks Dow Jones Stoxx 600 di Eropa turun 2,8% dan Indeks MSCI World melemah 2,7%.

Harga saham Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc dan Alcoa Inc jatuh 8,9%, sedangkan harga saham BP Plc dan Occidental Petroleum Corp turun lebih dari 3,8%. Harga ssaham Bank of America Corp merosot 9,7% seiring mundurnya dua anggota dewan direksi.
"Kekhawatiran masih terjadi. Tak seorang pun yang tahu persis kapan resesi berakhir," ujar John Wilson, chief market technician pada Morgan Keegan & Co di Memphis, Tennessee.

Harga saham dan komoditas menurun setelah bank Dunia menyebutkan pengangguran dan kemiksinan akan meningkat di negara berkembang. Lembaga keuangan dunia itu memprediksi kontraksi ekonomi global tahunini akan mencapai 2,9%, lebih tinggi dari estimasi sebelumnya melemah 1,7%.

Bank Dunia: Ekonomi Negara Berkembang Cuma Tumbuh 1,2% di 2009
Bank Dunia (World Bank) memperkirakan ekonomi negara berkembang hanya akan tumbuh 1,2 persen pada tahun ini. Jika tidak memperhitungkan China dan India, maka pertumbuhan negara berkembang hanya naik sedikit menjadi 1,6 persen.

Proyeksi ini jauh di bawah pertumbuhan ekonomi negara berkembang pada 2008 yang mencapai 5,9 persen dan pada 2007 yang menembus 8,1 persen.

Berdasarkan siaran pers Bank Dunia, salah satu indikasi menurunnya pertumbuhan ekonomi negara berkembang ini adalah prediksi aliran modal bersih ke negara-negara berkembang yang anjlok. Aliran modal bersih ke negara berkembang pada 2009 diperkirakan hanya US$ 363 miliar atau turun dari 2008 yang sebesar US$ 707 miliar dan 2007 yang mencapai US$ 1,2 triliun.

Namun pada 2010, pertumbuhan ekonomi negara berkembang diperkirakan akan kembali meningkat jadi 4,4 persen dan 5,7 persen di 2011.

Sedangkan untuk pertumbuhan GDP dunia apda 2009, Bank Dunia memprediksi masih akan negatif 2,9 persen. Namun kondisi ini akan bangkit kembali di 2010 hingga menyentuh level positif 2 persen di 2020 dan terus naik jadi 3,2 persen di 2011.

"Negara berkembang bisa menjadi kunci untuk mendorong pemulihan global. Hal ini karena investasi domestik mereka akan bangkit dengan adanya dukungan internasional termasuk aliran kredit internasional," kata World Bank Chief Economist and Senior Vice President, Development Economics, Justin Lin dalam siaran pers, Senin (22/6/2009).

Selain itu, Bank Dunia juga merilis proyeksinya terhadap ekonomi di sejumlah region dunia sebagai berikut:

Asia Timur dan Pasifik
Pertumbuhan ekonomi di region Asia Timur dan Pasifik diperkirakan akan mencapai 5 persen di 2009. Pulihnya perdagangan antar region yang diperkirakan akan terjadi pada semester kedua 2009 hingga 2010 mencerminkan hasil stimulus fiskal di China dan membaiknya permintaan ekspor di negara-negara kaya. Sedangkan pertumbuhan GDP pada 2010 diperkirakan akan membaik hingga mencapai 6,6 persen dan 7,8 persen di 2011.

Eropa dan Asia Tengah
Region ini menjadi daerah yang paling merana akibat krisis global. Defisit yang besar di sejumlah negara di region ini membuat GDP pada 2009 diperkirakan minus 4,7 persen sebelum akhirnya membaik jadi 1,6 persen di 2009.

Amerika Latin dan Karibian

GDP di region ini diperkirakan akan minus 2,2 persen pada 2009 dan membaik jadi 2 persen di 2010.

Timur Tengah dan Afrika Utara

GDP di daerah ini diperkirakan masih akan tumbuh 1,3 persen di 2009 dan terus naik jadi 3,8 persen di 2010.

Afrika Sub-Sahara
GDP di region ini akan tumbuh tipis 1 persen dan akan mengalami akselerasi menjadi 3,7 persen pada tahun depan.

Krisis Datang, IMF Raup Untung Rp 1,2 Triliun

Krisis membuat sebagian negara kembali ke IMF untuk mencari utangan. Mantan 'dokter krisis' Indonesia itu pun sukses meraup untung hingga US$ 126 juta atau sekitar Rp 1,26 triliun untuk tahun fiskal yang berakhir 30 April 2009.

Perolehan untung IMF itu jelas jauh lebih baik dari proyeksi kerugian US$ 292 juta untuk tahun fiskal yang sama. Laba itu juga meningkat dibandingkan laba di tahun fiskal sebelumnya yang sebesarUS$ 89 juta.

Lonjakan laba yang diperoleh IMF itu terutama datang dari pendapatan yang melebihi ekspektasi dari portofolio investasi IMF yang sebagian besar ditempatkan pada surat-surat berharga dengan pendapatan tetan.

"Dan juga adanya kenaikan pendapatan dari pinjaman yang merefleksikan permintaan yagn lebih besar dari negara-negara anggota IMF untuk mendanai kebutuhan mereka di saat krisis," demikian pernyataan dari IMF seperti dikutip dari AFP, Selasa (23/6/2009).

Pada tahun lalu, IMF sempat didera krisis keuangan setelah sejumlah negara andalannya melunasi utang-utangnya seperti Argentina, Brasil dan juga Indonesia. Seiring membaiknya perekonomian, negara-negara tersebut bisa melunasi utangnya sebelum jatuh tempo.

Indonesia pada tahun 2006 melunasi utang ke IMF dalam dua tahapan. Tahap pertama dilakukan pada Juni 2006 sebesar US$ 3,7 miliar dan tahap kedua dilakukan pada Oktober 2006 untuk sisa utang yang sebesar US$ 3,2 miliar. Pelunasan utang dilakukan seiring semakin membaiknya cadangan devisa Indonesia.

Namun dengan terjadinya krisis, sejumlah negara kembali ke IMF untuk mencari utangan. IMF bahkan juga mempermudah proses pinjaman kepada negara-negara yang terdesak untuk mengatasi krisis. Seiring dengan lancarnya lagi pemberian pinjaman, IMF pun membuat proyeksi yang lebih baik untuk keuangannya.

Untuk tahun fiskal 2010 yang dimulai 2010, IMF bahkan memperkirakan laba bersihnya bisa mencapai US$ 446 juta. Namun dengan berdasarkan kemungkinan pinjaman baru yang masih didiskusikan, laba IMF bisa meroket hingga US$ 1,1 miliar.

"Proyeksi-proyeksi ini tergantung pada tingkat ketidakpastian yang lebih tinggi mengingat sulitnya membuat prediksi kedepan untuk pendanaan IMF dan evolusi dari krisis finansial," demikian pernyataan IMF

Indeks Cenderung Konsolidasi

ndeks harga saham gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia (BEI) akan melanjutkan konsolidasi hari ini. Minimnya berita positif dari dalam dan luar negeri membuka peluang indeks terkonsolidasi.


Pengamat pasar modal David Cornelis mengatakan, volume perdagangan saham juga diperkirakan kecil karena investor wait and see hingga ada sentimen positif baru. Indeks kemungkinan bergerak pada batas resistance 2.000 dan level support adalah batas terendah perdagangan pekan lalu.

Dia memproyeksikan, fokus utama pelaku pasar adalah pergerakan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) dan fluktuasi harga minyak mentah dunia.

Indeks, menurut David, akan mencari posisi keseimbangan baru dengan pola konsolidasi uptrend channel . Tren kenaikan indeks masih terlihat, sehingga jika terjadi pelemahan, investor bisa buy on weakness, terutama saham-saham bluechips.

Menurut dia, hari ini, indeks akan bergerak mendatar dengan kecenderungan melemah dengan tetap berada pada batas konsolidasi. Kisaran pergerakan indeks berada pada level batas bawah 1.950 dan batas atas 2.008.


HSI Potensi Turun; 17700 Support

Indeks Hangseng mungkin akan mengalami penurunan, mengikuti Wall Street, pasar regional dengan support akan berada di level 17700, ujar Ben Kwong dari KGI Asia.

"Arah pattern berubah dengan US dollar mengalami kenaikan, harga komoditi mengalami penurunan dimana tidak berdampak baik pada pasar", ujarnya.

Tips indeks Hangseng mungkin akan mengalami koreksi lagi, mungkin turun ke 16000 di bulan Juli.

Saham yang berhubungan dengan komoditi seperti Cnooc, Chalco mungkin akan menjadi pemimpin penurunan.

HSI ditutup naik sebesar 0.8% pada level 18059.55 kemarin.

Nikkei Turun 2.8%; Kenaikan Yen Pukul Eksporter

Indeks Nikkei kembali melebarkan penurunan, terakhir turun sebesar 2.8% pada level 9662.34 setelah USD/JPY kembali anjlok, terakhir di 95.43, mendekati 95, ujar analis pasar.

"Masih ada harapan untuk pemulihan ekonomi, tapi kenaikan yen memukul sentimen", ujar manager broker Jepang.
Dikatakannya, selama USD/JPY tidak anjlok dibawah level 95, Nikkei seharusnya dapat bertahan diatas level 9500.

Eksporter turun, Nikon turun sebesar 5.5% pada level Y1.501 sedangkan Advantest turun sebesar 5% pada level Y1.633

Untuk info lebih lanjut anda bisa klik di http://current.pacific2000.co.id

Selasa, 16 Juni 2009

Sebuah Konsekuensi Sosial Pertumbuhan Ekonomi (Bagian I)


Para ekonom sejak lama memiliki konstituen untuk mendukung pertumbuhan. Karena walaupun sebuah Negara terkaya memiliki sumber daya yang terbatas, pusat permasalahan pada ekonomi adalah pilihan: Apakah kita mendanai pemotongan pajak kepada yang kaya atau melakukan investasi pada infrastruktur dan R&D, atau perang di Iraq atau bantuan kepada kaum miskin di Negara-negara berkembang atau diri kita sendiri? Dengan memfasilitasi keseluruhan sumber daya, pertumbuhan dalam teori seharusnya membuat pilihan-pilihan ini sedikit lebih mudah.

Amerika Serikat di pihak lain mendemonstrasikan ketika pertumbuhan meningkatkan supply, juga menumbuhkan aspirasi. Pilihan Negara-negara kaya yang harus diambil tidak terlihat lebih mudah dibandingkan Negara-negara miskin, sebagai contoh, harus memilih apakah menggunakan budget kesehatan yang terbatas untuk membayar biaya sepenuhnya perawatan penyakit akibat merokok, beberapa penderita penyakit akibat merokok akan hidup sebagai hasilnya, tetapi orang lain yang membutuhkan layanan kesehatan akan meninggal, karena uang yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan itu tidak tersedia. Untuk sumber daya yang bergantung dengan pertumbuhan hal ini adalah yang membedakan antara hidup dan mati.

Tetap saja pertumbuhan memiliki banyak pengkritik. Ada literatur yang dikembangkan sangat baik oleh para anti-pertumbuhan yang populis yang prihatin dengan imbas pertumbuhan pada lingkungan dan kemiskinan. Hasil karya, The Moral Consequences of Economic Growth oleh Benjamin Friedman menerima kritik seperti itu, memposisikan pertumbuhan tidak hanya memberikan keuntukan ekonomi namun juga keuntungan moral. Dia beragumantasi pertumbuhan memiliki potensi untuk meningkatkan lingkungan, mengurangi kemiskinan, mempromosikan demokrasi, dan membangun lingkungan sosial yang lebih terbuka dan lebih bertoleransi.

Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Friedman, Professor ekonomi di Harvard University, seorang yang naïf pendukung ekonomi pasar. Pesannya memberikan perbedaan halus ( walaupun untuk beberapa hal tidak sehalus yang Saya inginkan) dan Dia menyadari bahwa pertumbuhan tidak selalu membawa keuntungan yang dijanjikan. Ekonomi pasar tidak secara otomatis memberikan garansi pada pertumbuhan, keadilan sosial, atau ekonomi yang efisiensi; untuk mencapai tujuan ini mensyaratkan pemerintah memberikan peranannya.

Biarlah Bertumbuh

Dalam sejarah, para ekonom mempertanyakan paling tidak pada fase awal dari perkembangan, pertumbuhan akan didukung oleh kondisi sosial seperti keadilan yang lebih besar dan lingkungan yang lebih baik. Peraih nobel ekonomi Simon Kuznet memberikan argumentasinya berdasarkan pengalamannya sebelum perang dunia kedua bahwa adanya peningkatan ketidak adilan pada fase-fase awal perkembangan. Arthur Lewis pemenang Nobel ekonomi lainnya menelaah lebih lanjut, adanya ketidaksamaan yang lebih besar adalah penting untuk dapat memberikan saving/tabungan yang dibutuhkan oleh pertumbuhan. Generasi ekonom berikutnya memposisikan keberadaan kurva lingkungan Kuznet: fase awal pada pertumbuhan menyebabkan kerusakan lingkungan, tetapi bukan kesehatan pada lingkungan.

Kuznet dan pengikutnya mempertahankan bahwa pada akhirnya pertumbuhan akan membawa keadilan sosial (equality yang lebih besar, kemiskinan yang berkurang) dan lingkungan yang lebih baik. Namun hal ini tidak ada satu pun yang terealisasi yang berarti bahwa walaupun hal ini benar di masa lalu, namun mungkin belum tentu di masa yang akan datang. Ketidakadilan (inequality) yang terlihat menurun di Amerika Serikat setelah Great Depression, namun dalam 30 tahun terakhir hal ini ternyata meningkat sangat pesat. Berbagai macam bentuk polusi telah banyak menurun ketika negara-negara kaya memperhatikan isu-isu kualitas udara, Namun emisi rumah kaya dengan segala aspek yang berbaha yang mereka timbulkan terkait masalah pemanasan global telah berlanjut meningkat dengan pertumbuhan ekonomi, khususnya di Amerika Serikat.

Friedman menekankan khususnya akan pentingnya pengaruh externality (efek transaksi ekonomi), Dalam banyak contoh dimana perbuatan pelaku ekonomi memiliki konsekuensi-konsekuensi bagi pihak-pihak lain dimana pelaku ekonomi tersebut tidak harus membayar (negative externalities) atau dimana pihak tersebut tidak dikompensasi (positive externalities).

Hampir setiap orang mengenali “kegagalan pasar” ini yaitu ketika pasar itu sendiri tidak dapat memproduksi hasil yang efisien serta implikasinya, yang dapat dicatat yaitu kerusakan terhadap lingkungan. Emisi gas rumah kaca di Amerika Serikat mengakibatkan biaya yang besar kepda yang lain terutama pulau-pulau yang letaknya tidak terlalu tinggi dari laut yang bisa terimbas kenaikan permukaan laut di masa yang tidak terlalu lama di masa depan, namun perusahaan-perusahaan Amerika dan konsumen tidak membayar biaya-biaya ini.

Mengkoreksi kegagalan market seperti ini tidak membutuhkan subsidi kepada perusahaan-perusahaan minyak untuk meningkatkan produksi minyak karena tidak ada kegagalan pasar pada arah ini, hal ini lebih membutuhkan pencegahan. Namun externality ini memberikan implikasi argumentasi yang lebih umum yaitu ketika pertumbuhan memiliki keuntungan sosial melebihi apa yang didapat oleh setiap individu atau perusahaan, kemudian pasti ada peranan pemerintah untuk mempromosikan pertumbuhan.
Walaupun salah satu dari keuntungan sosial yang lebih luas adalah lebih terbuka dan toleran dalam sebuah komunitas, Friedman menjelaskan secara berhati-hati bahwa hubungan antara demokrasi dan pertumbuhan adalah 2 (dua) arah; pertumbuhan mempengaruhi demokrasi, demokrasi mempengaruhi pertumbuhan. Kedua aspek hubungan ini sangat kompleks dan seringkali tidak jelas. Bangsa Cina tidak secara khusus adalah Negara yang mengusung demokrasi atau secara politik terbuka namun memiliki pertmbuhan yang paling cepat dan paling berkesinambungan dibandingkan negara lain karena mereka lebih diterima oleh khalayak ramai, lebih memperhatikan kepada si miskin. Namun Cina telah melakukan lebih banyak mengurangi kemiskinan dibandingkan negara-negara lainnya. Pada periode trakhir, Amerika Serikat melihat median income real menurun di rumah tanga dan si kaya mendapatkan potongan pajak yang besar walaupun si miskin bertumbuh.

Tidak seperti ekonom yang pro pertumbuhan, Friedman menyadari bahwa isunya bukan hanya tumbuh atau tidak, namun kebijakan yang menyebabkan pertumbuhan. Hasil karyanya memberikan kritik penting kepada karya-karya (salah satunya adalah karya Paul Collier dan David Dollar dari World Bank) yang mengkorelasikan pertumbuhan dan pengentasan kemiskinan atau pertumbuhan dan integrasi ke dalam global ekonomi. Sesungguhnya keputusan dalam menerapkan kebijakan tidak terfokus pada pertumbuhan atau tidak bertumbuh atau berintegrasi atau tidak berintegarasi dan mengkerucutkan masalah pada masalah tersebut.

Pertanyaannya akan lebih spesifik, apakah ada pengurangan tarif atau tidak, ada liberalisasi pasar modal atau tidak, investasi pada penelitian dan pengembangan (R&D) atau tidak, atau memperbesar akses kepada pendidikan atau tidak. Dan jawabannya akan jauh lebih kurang jelas. Beberapa kebijakan ini beberapa akan mempromosikan pertumbuhan yang meningkatkan kemiskinan, atau dapat juga mempromosikan pertumbuhan dengan jalan mengurangi kemiskinan. Beberapa startegi pertumbuhan mungkin baik bagi lingkungan mungkin tidak.

Pendeknya debat seharusya tidak dipusatkan pada apakah seseorang mendukung pertumbuhan atau tidak. Pertanyaan seharusnya apakah ada kebijakan yang dapat mempromosikan apa yang disebut dengan pertumbuhan yang bermoral, yaitu pertumbuhan yang berkesinambungan yang meningkatkan standar kehidupan tidak hanya hari ini tapi untuk generasi mendatang dan membangun masyrakat yang lebih bertoleransi, sebuah mayarakat yang terbuka? Dan apakah ada yang dapat dilakukan untuk memastikan bahwa keuntungan dari petumbuhan dapat dibagi secara merata, membangun masyarakat degan keadilan sosial dan penuh solidaritas dibandingkan dengan pemisahan atau pembuatan gap yang sangat terlihat jelas di New Orleans ketika ada bencana alam badai Katrina?
Masalahnya adalah hampir semua bukti empiris yang tersedia yang datang dari analisa antar Negara, tidak terlalu memberikan informasi. Karya Friedman memfasilitasi kembali seruan Bank Dunia untuk melakukan penelitian lebih ke level mikro atau kasus per kasus untuk melihat adanya trade off (pertukaran) antara pertumbuhan dengan pengurangan kemiskinan dan penurunan kualitas lingkungan.

Bersambung…
Wallahua’lam bi showaab

Pembahasan Buku: “The Moral Consequences of Economic Growth,” Pengarang Benjamin M. Friedman tahun 2005 Oleh Joseph E. Stiglitz

Oleh ghifi - 16 Juni 2009 -
Public Blog Kompasiana

Sekali Lagi tentang “Ban” Uni Eropa


SELURUH Maskapai Penerbangan Republik Indonesia, sudah lebih dari satu tahun dilarang terbang ke Eropa. Mengapa dan apa yang sebenarnya terjadi. Rumor atau cerita burung yang menyertainya adalah, konon disebabkan faktor politis, ada juga yang mengatakan sebagai dampak dari persaingan usaha antara Airbus dan Boeing. Kemudian muncul pula, katanya disebabkan oleh karena klarifikasi terhadap banyaknya accident yang terjadi di Indonesia oleh Uni Eropa tidak pernah dijawab, katanya lagi karena staf nya Ditjen perhubungan udara yang tidak bisa bahasa Inggris. Ada juga yang mengatakan karena adegan pembunuhan Munir yang berlangsung di negeri Belanda, dan lain lain dan lain-lain.

Lupakan saja berbagai rumor tersebut dan selanjutnya , marilah kita bahas masalah ini dengan berpedoman kepada realita yang terjadi. Pada kesempatan saya memimpin delegasi pemerintah Indonesia ke Brussel bulan Agustus 2008 untuk mengetahui lebih jauh tentang “ban UE” ini, saya dapat menangkap penyebab utama dari dijatuhkannya sanksi “ban UE” itu. Hal yang paling utama adalah, bahwa sanksi tersebut dijatuhkan dengan mengacu kepada tindakan FAA yang men “down-grade” otoritas penerbangan Republik Indonesia ke kategori 2, yaitu sebagai “un-safe” atau “fail” atau “does not meet the requirement“. Requirement dimaksud adalah “ICAO Standard Flying Safety “. ICAO sendiri, setelah melakukan “audit” di Indonesia, kemudian mengumumkan tentang ditemukannya 121 penyimpangan dari aturan baku keselamatan terbang internasional. Berdasarkan temuan itulah FAA kemudian men “down-grade” otoritas penerbangan Indonesia. FAA hanya mengenal 2 kategori yaitu kategori 1 : “Pass” atau memenuhi syarat dan kategori 2 : “Fail” atau un-safe yang berarti tidak memenuhi syarat.

Hal yang kedua adalah, UE mempertanyakan tentang metoda apa yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Republik Indonesia dalam melakukan “kategorisasi” Maskapai Penerbangannya. Disertai saran agar kategorisasi tersebut disesuaikan dengan standar prosedur yang tercantum dalam regulasi yang tercantum di ICAO.

Kesimpulannya adalah, UE menerapkan “ban” kepada seluruh Maskapai Penerbangan Indonesia terutama mengacu kepada 121 “ICAO findings“ yang disertai dengan mempertanyakan tentang metoda kategorisasi maskapai penerbangan Indonesia yang dilihat sebagai tidak mengacu kepada standar keselamatan terbang ICAO.

Memahami tentang hal tersebut, saya beranggapan bahwa “Ban UE”, tidak perlu untuk segera ditindak lanjuti. Yang penting harus dikerjakan sesegera mungkin oleh Ototritas Penerbangan Republik Indonesia adalah menyelesaikan pekerjaan rumah nya, yaitu menindak lanjuti 121 temuan ICAO, agar Otoritas Penerbangan Indonesia dapat memperoleh kembali kredibilitas nya di dunia penerbangan internasional . Dengan itu pula, maka UE akan kehilangan alasan untuk memberlakukan “ban” terhadap maskapai penerbangan kita.

Jadi sebenarnya adalah, selama ini kita telah mengambil langkah yang kurang tepat, yaitu dengan mencoba melanjutkan lobi tentang dicabutnya “ban” oleh Uni Eropa. Dengan berusaha keras mendekat ke UE, yang terjadi adalah, kita menjadi bulan-bulanannya UE, yaitu diberikan “pekerjaan rumah” tambahan dengan ujian yang dilaksanakan setiap tiga bulan sekali. Padahal, jelas-jelas masalah nya adalah terletak di dalam diri kita sendiri yaitu berupa 121 temuan ICAO tadi. Sekali lagi, akan jauh lebih baik kita mengerjakan sendiri apa yang harus diperbaiki dari temuan ICAO tersebut, dan segera setelah selesai maka secara otomatis “ban” UE akan segera pula berakhir, dalam arti UE tidak akan memiliki alasan lagi untuk mem “ban” maskapai penerbangan kita.

Dengan demikian, maka apa yang kita kerjakan itu memiliki keuntungan yang langsung bagi dunia penerbangan kita, mengembalikan “kredibilitas” otoritas penerbangan nasional dan sekali gus berpotensi besar melepaskan maskapai penerbangan nasional dari “ban” UE. Hal ini akan jauh lebih baik, karena dampaknya langsung kepada perbaikan diri kita sendiri. Memasuki tahun baru 2009, dengan berbagai perkembangan yang mungkin terjadi, “Ban” UE, dapat saja kemudian, setiap saat dicabut dengan alasan “politis” atau alasan lainnya , kita tidak tahu, akan tetapi kebobrokan di diri kita sendiri yaitu 121 temuan ICAO, hanya kita sendiri yang bisa memperbaikinya, tidak ada langkah lain apalagi “politik” untuk menyelesaikannya selain mengerjakan dan memperbaiki temuan-temuan tersebut. Karena temuan-temuan tersebut sifatnya “teknis”, yang harus diselesaikan secara “teknis” pula.

Selanjutnya, tentang kategorisasi maskapai penerbangan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, kiranya memang seyogyanya lebih disempurnakan lagi dan mengacu kepada ketentuan-ketentuan yang standar internasional. Saat ini yang tengah disoroti dalam dunia penerbangan kita adalah aspek “safety”, jadi logika nya adalah, kategorisasi yang dilakukan harus berdasar kepada masalah keselamatan terbang. Pada kenyataannya, kategorisasi yang telah dilaksanakan selama ini adalah yang mengacu kepada “kinerja operasional“. Inilah terutama yang menjadi pertanyaan dari pihak UE. Saya pikir, hal ini tidak ada masalah sama sekali, sepanjang ada kemauan dari kita sendiri untuk memperbaikinya.

Itulah semua gambaran umum dari bagaimana kita dapat berupaya membuat industri penerbangan nasional menjadi lebih baik. Kedepan dengan telah di “sah” kannya Rancangan Undang-undang Penerbangan menjadi Undang-undang, pada beberapa hari yang lalu, maka peluang Republik Indonesia untuk tampil kembali di dunia internasional dengan wajah yang lebih bagus akan lebih terbuka lebar. Hal ini mengingat, banyak faktor yang tercantum dalam undang-undang tersebut sebagian telah mengakomodir beberapa rekomendasi penting yang telah dihasilkan oleh Tim nasional evaluasi keselamatan dan kemanan transportasi tahun 2007 yang lalu.

Mudah-mudahan memasuki tahun 2009, Republik Indonesia dapat bangkit kembali menempatkan diri di dunia penerbangan internasional sesuai dengan martabatnya. Semoga !

Jakarta 24 Desember 2008

by CHAPPY HAKIM, Marsekal TNI Purn. KASAU 2002 -2005.
Ketua Timnas EKKT, 2007
Chairman Advisory Board CATT (Civil Aviation Transformation Team)

Demokrasi Lahan Subur Tumbuhnya Ekonomi Kreatif


Sunan Gunung Djati - Ekonomi kreatif hanya mungkin tumbuh dalam sistem politik dan masyarakat yang mengakui kebebasan berekspresi. Demokrasi, kalau dipercaya sebagai jalan politik yang mengakui kebebasan berpendapat dan berekspresi sebagai hak asasi, adalah ladang subur semaian ekonomi kreatif.

Lebih lanjut, perlindungan hak kekayaan intelektual menjadi faktor penting yang dibutuhkan untuk merawat tumbuh suburnya ekonomi yang berbasis budaya (baca: ide) tersebut. Kalau pra syarat tersebut tak terpenuhi, yang ada adalah pemalsuan-pemalsuan karya dan kekayaan intelektual seseorang, bukan orisinalitas karya yang lahir. Perlindungannya bukan hanya di level nasional, tapi internasional.
Mengapa perlindungan hak kekayaan intelektual penting? Karena ekonomi kreatif lahir dari gagasan atau ide kreatif banyak orang. Jika tidak dilakukan perlindungan akan menimbulkan sengketa hukum dan sikap prustasi dari manusia-manusia kreatif karena merasa karyanya tak dihargai.

Sebagai negara yang kaya budaya, Indonesia memiliki rekam jejak yang potensial dalam membangun ekonomi kreatif. Karena berekonomi sama artinya dengan menjaga tradisi leluhur, warisan orang tua yang harus dipelihara. Sebagaimana kita temukan dalam ekonomi lokal batik, sepatu Cibaduyut dan karya ekonomi berbasis budaya lokal lainnya..

Meski dengan basis budaya pop dan modern, kelahiran berbagai sektor industri kreatif seperti animasi, komik dan lainnya di Indonesia harus diapresiasi sebagai sentuhan baru dalam ekonomi kreatif. Fakta ini tak bisa ditolak seiring dengan semakin canggihnya teknologi.

Bagi saya, karya ekonomi berbasis budaya lokal yang sifatnya turun temurun dan yang lahir dari tangan anak muda kreatif dengan basis teknologi canggih tak harus dipertentangkan. Walaupun tidak ada garis batas yang jelas, pada dasarnya kreativitas yang muncul dapat dipisah menjadi dua hal pokok, yakni kreativitas berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi (knowledge based) dan kreativitas berbasis seni (artistic based).

Menurut Departemen Perdagangan, tahun 2006, sekitar 1,5 juta usaha kecil dan menengah kreatif Indonesia menyerap 4,5 juta tenaga kerja dan menyumbang 7.8 persen terhadap PDB. Fakta ini menunjukkan betapa akan membesarnya ekonomi kreatif jika dikelola dengan baik melalu kebijakan yang tepat.

Agar memilik nilai lebih (added value), terpasarkan dengan baik, menyerap tenaga kerja dengan sangat besar, menghasilkan pendapatan bagi negara dari pajak dan retribusi serta memberi multiplayer effect bagi masyarakat sekitar lah, perlu dilakukan industrialisasi atas ekonomi kreatif. Itu lah yang disebut industri kreatif. Kalau proses industrialisasi dilakukan, suntikan modal mutlak dilakukan karena umumnya sektor ini masih merupakan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Sektor ini mampu bertahan karena dirasa menjadi bagian dari hidup, warisan orang tua yang harus dijaga. Jangan aneh jika banyak sekali sektor usaha ekonomi kreatif di daerah yang tidak disentuh kebijakan pemerintah, akhirnya mati.

Membangun Manusia Kreatif

Di atas itu semua, faktor manusia sebagai produsen ide kreatif lah yang menjadi panglima tumbuh atau tidaknya industri kreatif. Menurut hemat saya, kreativitas adalah landasan setiap industri apa pun. Apabila kita telaah, pergeseran yang terjadi secara global dari era agro, industri, informasi, dan sekarang era ekonomi kreatif terlihat adanya pergeseran dunia ke suatu parameter yang lebih mendasar secara vertikal dan bukan sekadar menciptakan sektor baru.

Perusahaan air kemas mineral umpamanya, memerlukan sumber daya kreatif karena tidak bisa melepaskan diri dari perkembangan teknologi informasi. Perusahaan ini harus merekrut tenaga kerja kreatif agar apa yang diproduksinya laku di pasaran. Jadilah industri jasa iklan tumbuh besar. Tim kreatif suatu perusahaan menjadi penentu hidup atau tidaknya perusahaan itu. Terjadilah pergeseran ke konsep human capital. Dimana, karyawan pun dinilai sebagai aset berharga, bukan sekedar bagian dari faktor produksi yang sama dengan mesin, modal dan lahan.

Membangun Kota Kreatif

Kita punya Bali yang menjadi tujuan wisata internasional. Dalam berbagai perjalan saya ke berbagai kota di Indonesia dan negara lain, industri kreatif menjadi pilihan dan tumbuh subur ketika pariwisata menjadi primadona.
Di Bandung misalnya, kita akan melihat pertumbuhan industri kreatif ini seperti home industry, percetakan, penerbitan, factory outlet, distro, dan sektor yang memanfaatkan jasa. Bandung dan Jawa Barat, umumnya Indonesia, berpotensi menjadi tempat industri kreatif besar di dunia berkat kekayaan alam, keragaman budaya, serta kemampuan manufaktur dan home industri.

Tidaklah mengherankan apabila Indonesia merupakan satu-satunya negara Asia yang pernah menjuarai beberapa kali ajang bergengsi British Council International Young Creative Entrepreneur (IYCE) Award di Inggris. Yang menarik disimak, wakil nasional untuk IYCE Design Award (arsitek Ridwan Kamil dan pemimpin komunitas kreatif Gustaff Iskandar tahun 2006 dan 2007) berasal dari Bandung. Pada tahun 2008 juga, tercatat beberapa wakil yang berasal dari daerah Bandung (Irfan Amalee).

Jadi, tidaklah salah kalau saya menyebut Bandung sebagai salah satu kota kreatif di Indonesia yang akan menjadi penggerak sektor ekonomi kreatif. Seperti yang pernah dibibicarakan Jacoeb Oetama, ketika seseorang bergelut di industri dan ekonomi kreatif, dia tidak akan merasa resah dari pemutusan hubungan kerja. Selama masih memiliki otak dan pikiran, selama itu pula dia akan bertahan di dunia kerja.
Sebab, industri kreatif mengandalkan ide dan gagasan kreatif yang akan lahir selama seseorang mampu menelurkan gagasan-gagasan kreatif dan imajinatif.

Bahkan teman saya – lebih tepatnya kader saya semasa aktif di organisasi kemahasiswaan – setelah selesai kuliah menggantungkan hidupnya dari aktivitas jula-beli gagasan kreatif. Dengan menjadi tenaga lepas di sebuah penerbitan dan kadang menulis buku Agama popular, ia sudah mampu menghidupi dirinya. Ia telah menjadi warga yang mandiri disebabkan memiliki gagasan kreatif. Meskipun secara formal dia tidak terikat oleh sebuah perusahaan atau tidak menjadi pekerja formal di salah satu industri, toh dapat menghasilkan uang dari atraksi kreativitas yang memukau. Wallahua’lam


Oleh sunangunungdjati - 16 Juni 2009 -
IU RUSLIANA, Dosen Fakultas Teologi dan Filsafat UIN SGD Bandung dan Warga Sunan Gunung Djati (Komunitas Blogger UIN SGD Bandung)

Public Blog Kompasiana

Senin, 15 Juni 2009

Masalah Indonesia Adalah Masalah Mikro, Bukan Makro


Indonesia mempunyai masalah mikro bukan makro. Karenanya Presiden ataupun para wakil rakyat dalam berbagai tingkatannya yang akan dilantik nanti harus memperhatikan masalah-masalah mikro itu. Tidak boleh terfokus pada masalah-masalah makro. Pertumbuhan ekonomi misalnya jangan dilihat dari kerangka makro saja.

Maksud saya, misalnya kalau bicara kemiskinan harus dilihat detailnya. Nama-nama orang miskin di setiap desa harus diketahui. Setiap nama itu harus pula dicatat latar belakangnya supaya bisa diberikan solusi yang tepat untuk mengurangi kemiskinannya. Dan harus pula evaluasi kondisinya dari hari ke hari. Dan seterusnya .Jadi kalau membicarakan kemiskinan tidak boleh lagi hanya mengetahui angka prosentasenya saja.

Begitupun kalau berbicara pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi tidak boleh lagi hanya angka- angka makro. Harus bisa dilihat pertumbuhan ekonomi secara terinci mulai dari desa hingga nasional. Kita tidak mau lagi angka pertumbuhan makro bagus tetapi kalau dilihat realitasnya pada masyarakat ternyata tidak mengalami pertumbuhan.

Untuk itu setiap struktur pemerintahan mulai yang paling bawah harus punya data-data yang sangat detail dan up to date. Tidak seperti saat ini dimana stastik kita hanya mengambil data-data yang sangat umum dan itupun sudah kadaluarsa dan tidak lengkap.

Pemerintah harus bisa bekerja keras dengan mengoptimalkan kerja aparatnya. Saat ini masih belum optimal, birokrasi belum melayani dengan baik. Pemerintah harus melakukan reformasi birokrasi secepatnya agar setiap warga dapat terlayani dengan baik. Pensiunkan dini aparat yang tidak produktif. Ganti dengan yang lebih produktif. Ukuran kerja harus dinilai dari produktifnya bukan dari segi lamanya dia bekerja atau kepangkatan. Bagi yang bekerja lebih produktif berikan insentif dan gaji yang lebih besar.

Pendidikan harus menjadi prioritas. Semua anak Indonesia minimal harus lulusan sekolah lanjutan tingkat atas. Biaya mahasiswa di universitas di seluruh Indonesia digratiskan.

Semua ini diperluakan dana yang besar. Karena itu diperlukan sumber-sumber keuangan baru. Saatnya semua perusahaan asing yang lebih banyak menguras sumber daya alam kita diambil alih. Birokrasi juga harus efisien dan produktif. Tidak ada toleransi bagi siapapun yang melakukan korupsi sekecil apapun korupsinya.

Hanya dengan itulah kita bisa meyelesaikan setiap masalah mikro tadi. Tetapi apakah pemerintah mampu melakukan itu? Bagi saya tidak ada yang tidak bisa asal kita semua punya komitmen dan tanggungjawab yang sungguh-sungguh pada setiap masalah secara bersama. Wallahu A’lam.

Oleh Salehudin Awal - 30 April 2009 -
Public Blog Kompasiana

Kegagalan Neo-Liberalisme dan Menguatnya Kembali Trend “Welfare State”.



Trend ekonomi Neo-liberalisme[1] memasuki era kejayaan pada era 80-an. Sistem ekonomi ini dianggap mampu menjawab krisis dunia yang dimulai dari colaps-nya sistem ekonomi domestik Meksiko ketika itu, dimana IMF menerapkan pola obral murah utang baru yang ditukar dengan pengetatan ekonomi yang kita sebut dengan Structural Adjusment Programs (SPAs)[2]. Kompetisi pasar bebas (free market competition), demikian titik kulminasi yang diharapkan dari sistem ekonomi Neo-Liberalisme ini, dimana secara faktual hari ini terbukti hanya menguntungkan negara-negara maju, yang pada sisi lain justru kian memiskinkan negara berkembang. Namun serentetan krisis demi krisis yang terjadi, membuka mata kita bahwa pola Neo-Liberalisme ini telah gagal dalam membangun ekonomi dunia. Puncaknya terjadi saat ini dimana induk Kapitalisme sendiri, yakni Amerika Serikat justru diserang gelembung krisis yang semakin parah yang tentu saja memaksa mereka untuk bepikir seribu cara untuk keluar dari krisis tersebut.

Salah satu hal yang cukup mengherankan dalam cara menyelesaikan krisis hari ini adalah, tindakan pemerintah AS, melalui presiden terpilih, Barrack Obama, untuk mengembalikan kejayaan era ekonomi “keynesian“. Salah satu yang menonjol dari pengagum ekonomi ini adalah, kecenderungan untuk mengembalikan peran negara dalam sistem ekonomi, yang pada prinsipnya selama ini telah dilepas secara bebas dalam mekanisme pasar (free market competition), atau yang lebih umum kita kenal sebagai model liberalisasi keuangan[3]. Faktanya, beberapa perusahaan sektor keuangan, menjadi target penguasaan kembali oleh pemerintah. Diantaranya adalah American International Group (AIG), yang merupakan perusahaan asuransi terbesar dunia asal Amerika, yang juga kita kenal sebagai sponsor utama klub Manchester United (MU). Bahkan beberapa pengamat ekonomi dunia menyebutnya sebagai tindakan yang tak ubahnya seperti rezim sosialis.

Pergeseran stigma Neo-liberal inipun kian nampak bergeser beberapa waktu lalu, ketika digelar pertemuan G-20 yang pada intinya membahas tentang penyelesaian kiris internasional yang sedang terjadi di induk kapitalisme, Amerika. Namun pertemuan ini lebih mengarah kepada upaya saling tuding dan menyalahkan, terutama dikalangan negara-negara maju. Isu yang bekembang dalam pertemuan inipun lebih kepada isu-isu bidang keuangan yang salah satunya adalah upaya untuk mendorong reformasi internal lembaga-lembaga keuangan internasional yang kita kenal dengan istilah “Bretton Woods Institute“, diantaranya ; IMF, World Bank, dll. Sementara pada saat yang bersamaan intelektual-intelektual negara-negara maju diluar Amerika, begitu gencar mempropagandakan kebusukan sistem liberalisasi pasar sebagai biang kerok krisis, dimana sistem ini memang begitu kuat di Amerika Serikat. Padahal, negara-negara maju Eropa juga memiliki pola dan sistem yang tak kalah busuknya. Bahkan Gordon Brown, perdana menteri Inggris, menegaskan bahwa, “konsensus washington telah berakhir“. Konsensus yang menandai era ekonomi liberalisasi berjalan di bawah kendali gedung putih pada masa kejayaan Ronald Reagan beserta Margaret Teacher sekutunya yang juga mantan PM inggris. Masa kejayaan liberalisme ini juga yang sering disebut sebagai kejayaan kapitalisme “angglo sakson“, yang memang diabangun dari Negara adidaya tersebut.[4]

Yang menjadi menarik kemudian adalah, terjadinya polarisasi ditingkatan negara-negara maju terkait pola dan sistem ekonomi dunia saat ini. Negara-negara eropa bahkan menyebut krisis hari ini sebagai kegagalan sistem ekonomi pasar bebas. Upaya untuk mendorong dan mengembalikan masa keemasan “walfare state“-pun terus dilakukan. Negara-negara eropa ini mengajukan fakta yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kebuasan sistem pasar bebas ini. Namun apakah ini merupakan peluang bagi kebangkitan era Sosialisme, seiiring semakin menguatnya tendensi sosialisme di Amerika Latin? Ataukan justru akan lahir pola baru dari kekuatan kapitalisme global yang akan memberikan topeng dan wajah baru dari Kapitalisme??? Akan tetapi yakin saja, bahwa cara apapun yang akan dilakukan oleh kapitalisme global dalam melepaskan diri dari jeratan krisis, akan selalu melahirkan krisis baru yang justru akan lebih parah.

Namun yang pasti, pertemuan G20 ini memberikan pengalaman tak sedap bagi kita, bahwa sekali lagi negara-negara berkembang telah menjadi tumbal dari krisis keuangan global hari ini. Sekali lagi negara berkembang akan dimanfaatkan menjadi ladang pertumbuhan ekonomi global baru dengan strategi utang baru pula. Negara berkembang tentu akan menjadi target pasar yang paling empuk bagi negara maju. Bukti awal yang bisa kita saksikan adalah kucuran utang baru dari negara kreditor (terutama Jepang), yang sekarang dijadikan sebagai stimulus kebijakan fiskal sebesar 73,1 Trilyun.

Kapitalisme memang sedang galau, berupaya keras menyem bunyikan kegagalan sistem yang dibangunnya. Namun demikian, upaya membangun bentuk dan wajah baru tentu akan nampak kebiadabannya juga. Kita tentu masih ingat dengan “the third way” ala Antony Giddens yang menawarkan sosial-demokrat sebagai jalan ketiga dunia. Jalan yang seakan ingin membuat wajah kapitalisme seakan lebih humanis, meski dibalik itu tersimpan kebringasan yang siap menerkam dan menghisap kesejahteraan masyarakat dunia. Maka kesimpulan awal dari tulisan ini adalah, “waspadalah, krisis kapitalisme akan melahirkan wajah dan topeng baru yang penuh dengan kepura-puraan…….!!!“.

[1] Neo-Liberalisme adalah salah satu wajah sistem ekonomi Kapitalisme yang pada prinsipnya berusaha memisahkan peran dan fungsi negara dalam perekonomian karena dianggap menghalangi persaingan pasar secara luas dan kompetitif. Program seperti pencabutan subsidi publik, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), deregulasi dll adalah kenyataan yang sekarang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang di bawah komando negara-negara maju melalui IMF, World Bank, WTO dll dengan jargon Neo-Liberalisme-nya.

[2] Structural Adjusment Programs (SAPs) merupakan jaring perangkap ekonomi yang direkayasa sedemikan rupa oleh negara-negara Imperialis dunia pertama untuk menjebak negara-negara dunia ketiga ke dalam kerangka bangunan perekonomian pasar bebas dengan menciptakan ketergantungan dengan beban utang yang diharuskan lengkap beserta syarat-syarat yang harus dilakukan oleh negara pengutang. Sumber : herdiansyah hamzah dalam, hantu neo-liberalisme ; hantu penjarah kemakmuran rakyat. Disadur dari : http://prp-samarinda,blogspot.com/.

[3]Liberalisasi keuangan mencakup enam aspek sebagai berikut: (a) deregulasi tingkat suku bunga; (b) peniadaan pengendalian kredit; (c) privatisasi bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan milik negara; (d) peniadaan hambatan bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan swasta, termasuk asing, untuk memasuki pasar keuangan domestik; (e) pengenalan alat-alat pengendalian moneter yang berbasis pasar; dan (f) liberalisasi neraca modal. Selengkapnya lihat di: http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul40.htm.

[4] Kompas, 4 April 2009. “G-20 Buka Era baru“.

Oleh herdiansyah - 30 April 2009 -
Public Blog Kompasiana