Minggu, 29 Maret 2009

Menuju Sistem Moneter Dunia Baru

Kompas, Senin, 30 Maret 2009 | 03:51 WIB

Kurs rupiah sedang mengalami dinamika penting. Pekan lalu secara mengesankan rupiah menguat dari Rp 12.000 menjadi Rp 11.500 per dollar AS. Memang, penguatan Rp 500 per dollar AS dalam tempo singkat tersebut bisa dianggap biasa dan wajar, di saat krisis ekonomi global masih terus bergejolak dan belum menemukan ekuilibrium permanennya. Rupiah kadang-kadang bisa melemah dan menguat oleh penyebab yang sepele.

Pada kasus penguatan rupiah kali ini, penyebabnya merupakan gabungan beberapa faktor. Pertama, cadangan devisa yang dikuasai Bank Indonesia meningkat dari 51 miliar dollar AS menjadi 53,9 miliar dollar AS. Hal ini disebabkan oleh mulai masuknya modal asing ke pasar modal di Jakarta, selain karena masuknya dana penjualan obligasi pemerintah di luar negeri (global medium-term notes).

Kedua, BI meneken perjanjian bilateral currency swap arrangement dengan Bank of China senilai Rp 175 triliun atau 100 miliar renminbi. Di bawah payung perjanjian ini, eksportir dan importir kedua negara tidak perlu menggunakan mata uang dollar AS dalam transaksinya. Mereka cukup mengonversikan langsung mata uang masing-masing dengan negara mitra dagang.

Dalam hal ini, importir Indonesia bisa langsung menukar rupiahnya dengan renminbi, sebaliknya importir China menukar renminbinya langsung dengan rupiah. Kini tidak perlu lagi ada mata uang ”perantara”, yakni dollar AS, dalam setiap transaksi kedua negara. Perjanjian semacam ini akhir-akhir ini mulai marak dilakukan, terutama oleh ASEAN + 3, yakni kesepuluh negara ASEAN (Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, dan Brunei) ditambah Jepang, China, dan Korea Selatan.

Banyak hal positif dapat ditarik dari skema baru ini. Bagi para importir maupun eksportir, mereka bisa berhemat karena jalur penukaran mata uang dapat diperpendek dari rupiah-dollar AS-renminbi menjadi langsung rupiah-renminbi. Berarti, akan dapat dihemat sejumlah fee penukaran.

Dari sisi ekonomi makro, kebutuhan (permintaan) terhadap dollar AS dapat ditekan. Implikasi dari turunnya permintaan dollar AS oleh pemegang rupiah akan menyebabkan kurs dollar AS cenderung melemah, atau sebaliknya rupiah bakal menguat. Ini sangat positif sebagai upaya untuk menurunkan volatilitas kurs rupiah terhadap dollar AS.

Dengan kata lain, kurs rupiah ke depannya akan cenderung lebih stabil, tidak terlalu berfluktuasi. Ini bagus bagi dunia usaha yang pada umumnya amat memerlukan kepastian (certainty), termasuk kepastian kurs. Sementara itu, variabel inflasi juga diuntungkan karena stabilitas kurs akan menurunkan tekanan inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation).

Ketiga, rupiah harus berterima kasih kepada situasi politik di Tanah Air. Sejauh ini kampanye pemilu legislatif berlangsung aman. Masyarakat tampaknya sudah penat dan ”kapok” untuk tidak mau lagi mengulang pemilu bergejolak seperti sebelumnya, terutama 1999. Timbul kesadaran baru bahwa euforia demokrasi sudah tidak zamannya lagi diekspresikan dengan letupan-letupan di jalanan. Lagi pula, mengapa harus secara fanatik membela calon anggota legislatif jika yang bersangkutan kelak pada akhirnya juga diseret Komisi Pemberantasan Korupsi? Jumlah partai peserta pemilu yang amat banyak juga memberi andil memecah penumpukan massa. Ini semua berujung pada penguatan rupiah.

Sistem moneter baru

Secara pelan tapi pasti, krisis ekonomi global telah menginspirasi negara-negara di seluruh dunia untuk mengurangi penggunaan dollar AS. Dulu, pada Juli 1944, ketika 44 negara bersepakat di Bretton Woods, New Hampshire—sejam perjalanan dari Boston—untuk menggunakan dollar AS sebagai mata uang dunia, yang didukung dengan cadangan emas yang disimpan bank sentral, pertimbangannya adalah dominasi AS dalam perekonomian dunia. Saat itu setiap peredaran 35 dollar AS harus didukung dengan 1 ons emas. Kurs tetap (fixed rate) pun dapat diberlakukan.

Kesepakatan yang juga dihadiri ekonom top Inggris, John Maynard Keynes, itu berakhir awal 1970-an. Ketika AS mulai sibuk berperang, anggaran pemerintahnya defisit besar, maka kurs dollar AS pun jadi fluktuatif. Seiring dengan kesulitan untuk menimbun emas dalam jumlah yang sebanding dengan perkembangan ekonomi dunia yang kian pesat, standar emas pun dihapus.

Kurs mata uang bisa bergerak dinamis berdasarkan kekuatan kinerja ekonomi negara masing-masing, bukan dikaitkan dengan tumpukan emas di gudang bank sentral.

Kini, setelah hampir 40 tahun, tampaknya sistem moneter sudah waktunya direvisi lagi. Perekonomian AS memang masih menjadi kekuatan terbesar di dunia, dengan produk domestik bruto yang mencapai 14,3 triliun dollar AS (2008). Namun, juga muncul kekuatan lain yang mulai mendekat, yakni kawasan Euro (juga sekitar 14 triliun dollar AS), Jepang (4,8 triliun dollar AS), dan China (4,2 triliun dollar AS). Bahkan, jika semua negara Eropa bersatu (termasuk Inggris), kekuatannya bahkan lebih besar, yakni 19,2 triliun dollar AS.

Sebagai ilustrasi, kekuatan ekonomi dunia berturut-turut (dalam dollar AS) adalah: Jerman (3,8 triliun), Perancis (3 triliun), Inggris (2,8 triliun), Italia (2,4 triliun), Rusia (1,8 triliun), Brasil (1,7 triliun), India (1,3 triliun), Meksiko (1,1 triliun), Australia (1,1 triliun), Korea Selatan (1 triliun), Turki (0,8 triliun), Arab Saudi (0,53 triliun), Indonesia (0,5 triliun), Argentina (0,34 triliun), dan Afrika Selatan (0,3 triliun). Indonesia berada di peringkat ke-13 kekuatan ekonomi dunia.

Berdasarkan konfigurasi ini, sangat logis bahwa dollar AS selanjutnya tidak lagi menjadi satu-satunya mata uang yang mendominasi transaksi perekonomian dunia. Peran euro, yen, renminbi, dan poundsterling seharusnya menjadi lebih besar, seiring dengan menyurutnya peran AS yang tergerus krisis. Krisis ekonomi global kali ini tampaknya akan menjadi tonggak bersejarah bagi menyurutnya dominasi AS. Era baru sistem moneter dunia sudah mulai terkuak, menggantikan era sebelumnya, Bretton Woods (1944), dan pasca-Bretton Woods (awal 1970-an).

Munculnya era baru ini akan berdampak positif terhadap stabilitas rupiah. Karena itu, skema perjanjian bilateral currency swap arrangement harus terus diperluas oleh BI, karena ini sudah menjadi tren dunia yang tak terelakkan. Pelajaran dari kasus ini adalah, dalam setiap krisis, ternyata selalu ada blessing in disguise yang bisa kita petik manfaatnya.

Selamat datang era baru sistem moneter dunia!

A Tony Prasetiantono Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik UGM; Chief Economist BNI

1 komentar:

Amisha mengatakan...

Saya telah berpikir bahwa semua perusahaan pinjaman online curang sampai saya bertemu dengan perusahaan pinjaman Suzan yang meminjamkan uang tanpa membayar lebih dulu.

Nama saya Amisha, saya ingin menggunakan media ini untuk memperingatkan orang-orang yang mencari pinjaman internet di Asia dan di seluruh dunia untuk berhati-hati, karena mereka menipu dan meminjamkan pinjaman palsu di internet.

Saya ingin membagikan kesaksian saya tentang bagaimana seorang teman membawa saya ke pemberi pinjaman asli, setelah itu saya scammed oleh beberapa kreditor di internet. Saya hampir kehilangan harapan sampai saya bertemu kreditur terpercaya ini bernama perusahaan Suzan investment. Perusahaan suzan meminjamkan pinjaman tanpa jaminan sebesar 600 juta rupiah (Rp600.000.000) dalam waktu kurang dari 48 jam tanpa tekanan.

Saya sangat terkejut dan senang menerima pinjaman saya. Saya berjanji bahwa saya akan berbagi kabar baik sehingga orang bisa mendapatkan pinjaman mudah tanpa stres. Jadi jika Anda memerlukan pinjaman, hubungi mereka melalui email: (Suzaninvestment@gmail.com) Anda tidak akan kecewa mendapatkan pinjaman jika memenuhi persyaratan.

Anda juga bisa menghubungi saya: (Ammisha1213@gmail.com) jika Anda memerlukan bantuan atau informasi lebih lanjut