Kamis, 26 Maret 2009

Resesi Global : Indonesia vs Negara Maju

By Hilman Muchsin

Ketua IMF ( Dominique Strauss-Kahn ) mengatakan, ekonomi dunia akan mengalami pertumbuhan negatif tahun ini. Perkiraan ini merupakan yang terburuk selama ini, karena perkiraan resmi IMF sebelumnya menyebutkan angka pertumbuhan akan sekitar 0,5 persen. Dia mengatakan perdagangan dunia turun drastis, sementara tingkat kepercayaan bisnis dan konsumen turun tajam.

Nouriel Roubini, atau dikenal juga sebagai Dr. Doom adalah salah seorang pakar yang paling pesimis lagi mengenai kondisi ekonomi saat ini. Sebelumnya professor di Stern School of Business di New York ini telah menyatakan bahwa krisis keuangan yang terjadi saat ini di AS dapat berlangsung selama bertahun-tahun jika tidak ada langkah drastis untuk memperbaikinya. Menurutnya recovery ekonomi tidak akan mungkin terjadi di tahun 2009 ini, atau bahkan tidak akan terjadi di tahun 2010 mendatang. Ia percaya bahwa resesi akan bertahan hingga akhir tahun 2010. Pertumbuhan ekonomi dinyatakan akan mendekati 0% sementara tingkat pengangguran akan mencapai level 10% hingga tahun 2010 mendatang.

Jika resesi ekonomi global tahun 1929 memunculkan mahzab Keynesian yang melatar belakangi lahirnya International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), boleh jadi resesi global era milenium ini akan memunculkan suatu sistem ekonomi baru, sebagaimana pernah diungkapkan oleh Stephen S Roach, Chairman Morgan Stanley Asia yang bermarkas di Hong Kong.

Terlepas dari semua itu, faktanya perekonomian global sedang kelam. Tak ada satu pun yang bisa memastikan arah ekonomi global. Rentannya perekonomian Asia yang disebabkan oleh ketergantungan kepada ekspor telah menjadi persoalan utama selama beberapa dekade. Namun, krisis keuangan yang menyebabkan hilangnya banyak lapangan kerja, kemiskinan, serta instabilitas, seharusnya menjadi momentum dilakukannya perubahan, meski memakan waktu hingga satu dekade.

Krisis keuangan global telah menggarisbawahi perlunya kawasan Asia untuk tumbuh dengan tidak menggantungkan diri pada ekspor. Negara-negara di Asia semestinya lebih mengembangkan permintaan domestik. Menurut Masahiro Kawai, dekan Asian Development Bank Institute, bersama sejumlah pakar ekonomi di Asia telah merilis sejumlah rekomendasi kebijakan, menjelang pertemuan G20 di London bulan depan. "Asia Timur akan membutuhkan kebijakan untuk memfasilitasi pergantian ke arah pertumbuhan berkelanjutan yang dimotori permintaan regional," dan mendesak Amerika Serikat untuk membersihkan sektor keuangan dan perumahan.

Bank Dunia memprediksikan bahwa negara berkembang termasuk Indonesia, akan kekurangan dana hingga US$700 miliar, yang diperlukan untuk membiayai impor dan kewajiban kepada perbankan.

Perekonomian domestik semakin 'terikat' dengan ekonomi dunia akibat globalisasi dan liberalisasi yang seperti lepas kendali. Kesulitan ekonomi dunia telah mempersempit ruang gerak dalam menjaga perekonomian domestik. Sebut saja peluang ekspor yang makin sempit, dan itu terbukti dari penurunan laju pertumbuhan ekspor Indonesia pada Januari 2009. Penurunan laju pertumbuhan ekspor, pada gilirannya, makin memperkecil peluang memupuk cadangan devisa. Kalaupun cadangan devisa meningkat pekan lalu, hal itu lebih karena 'hadiah hiburan' dari penerbitan obligasi global senilai US$3 miliar. Oleh karena itu, pekerjaan rumah pemerintah Indonesia, sesungguhnya adalah bagaimana 'mengisolasi' pengaruh buruk resesi global. Tanpa harus trauma terhadap isu proteksionisme, potensi pasar domestik sudah seharusnya menjadi tulang punggung saat ekonomi dunia tertekan.

Ukuran pasar Indonesia, yang 220 juta jiwa lebih, bukan angka yang kecil...

Dengan kata lain, bagaimana menjaga pasar domestik ini tetap memiliki kemampuan membeli, itulah yang harus dilakukan. Itulah tugas utama pemerintah saat ini. Dengan aneka stimulus fiskal yang telah berkali-kali diumumkan, daya beli masyarakat seharusnya tetap terpelihara.

Sudah banyak analisa teknis ekonomis tentang mengapa pasar financial hancur , dan mereka mencoba memberikan penjelasan mengenai kisah rentetan kejatuhan itu. Namun pada akhirnya, semua tragedi kehancuran pasar finansial itu sejatinya berakar pada dua elemen paling purba dalam jantung manusia, yaitu ego dan keserakahan.

Kisah tentang ego dan keserakahan itu mestinya juga segera menggedor kesadaran reflektif kita, sebab ia ternyata juga hadir di sekitar kita. Ada dua pelajaran penting yang layak kita kenang dari kisah jatuhnya Citibank yang amat tragis itu :

1. Yang pertama adalah : arsitektur keuangan global ternyata telah berubah menjadi sirkuit kasino global, tempat dimana para spekulan berjudi mempertaruhkan modal hingga ribuan trilyun rupiah. Produk-produk keuangan derivatif nan eksotik diciptakan hanya demi memuaskan hasrat spekulatif para “bandit-bandit keuangan global” yang haus akan keuntungan tanpa batas.

2. Pelajaran penting yang kedua adalah : kebodohan ternyata bukan hanya milik kaum tak berpengetahuan. Para kaum bankir berdasi yang gagah nan necis di pusat kota New York itu ternyata juga benar-benar bodoh. They are really damn stupid people. Mungkin kita jadi sadar, manajemen Citibank sebagai perusahaan kelas dunia itu ternyata juga penuh dengan kekonyolan.

Masih ingatkah anda mengenai Film terkenal hasil karya sutradara jempolan Oliver Stone yang dirilis tahun 1987 ?, sebuah film mempesona bertajuk Wall Street ? yang menceritakan tentang ambisi dan keserakahan para investor dan pialang saham di bursa Wall Street. Greed is good, serakah itu baik….inilah sebuah testamen kunci yang pernah disuarakan oleh Gordon Gekko - tokoh antagonis yang diperankan dengan sangat sempurna oleh aktor Michael Douglas.

Di luar semua itu, sesungguhnya terdapat kekuatan yang luar biasa yang justru telah menyelamatkan negeri ini dari kebangkrutannya, yaitu ekonomi rakyat. Di atas kertas, perekonomian bangsa ini seharusnya sudah "gulung tikar" sejak angka-angka statistik ekonomi pada periode krisis (1997-1999) menunjukkan kecenderungan yang terus memburuk. Nyatanya, kondisi "sekarat" itu hanya terjadi pada sektor-sektor yang memang mampu tercatat dan terefleksikan dalam angka-angka statistik itu. Di luar angka-angka itu, yang tidak mampu dicatat oleh sistem statistik yang ada, sesungguhnya masih menyimpan potensi, kekuatan, dan daya tahan yang sangat besar.

Akankah pemerintah masih terus-menerus menutup mata terhadap eksistensi ekonomi rakyat? Atau akan terus-menerus meyakini wacana yang selalu digembar-gemborkan oleh para ekonom Neo Klasik bahwa pertumbuhan yang terjadi saat ini adalah karena sumbangan konsumsi (driven consumption) orang-orang berduit????

Sejarah telah membuktikan, bahwa memuja dan memanjakan sektor modern secara "membabi-buta" hanya akan menghasilkan konklusi akhir yang menyedihkan, yang rasa pahitnya tidak hanya dikecap oleh sekelompok orang, tetapi seluruh komponen bangsa ini akan turut merasakannya. Bila bangsa ini cukup cerdas untuk menterjemahkan hikmah krisis ekonomi global, secara tidak langsung (blessing in disguise) seharusnya peristiwa menyakitkan ini justru dapat menjadi pelajaran yang dipetik hikmahnya yaitu : Eksistensi ekonomi rakyat dan sektor tradisional sudah tiba saatnya untuk segera dikembangkan dan ditingkatkan.

Tidak ada komentar: