Sabtu, 22 Agustus 2009

Tradisi Naik Tarif Tol Jelang Lebaran

Oleh Effnu Subiyanto*

Menjelang bulan Ramadhan dan hari raya Idul fitri 1430 H, pemerintah dapat dipastikan selalu mempunyai ide-ide baru yang mengejutkan. Tidak lama lagi pemerintah memastikan segera menaikkan tarif 11 ruas jalan tol antara 12% hingga 15%, dengan alasan menyesuaikan inflasi Agustus 2007 hingga Juli 2009. Semua ruas jalan tol nasional akan dinaikkan tanpa kecuali ruas Jakarta-Cikampek, ruas Prof Sedyatmo (tol bandara Soekarno-Hatta), ruas simpang susun Waru-Juanda, dan ruas Makasar Seksi IV.

Dua tahun lalu juga menjelang lebaran, pemerintah menggunakan alasan menaikkan tarif tol karena tidak pernah menaikkan tarif selama 11 tahun sejak 1992 hingga 2003. Kendati mendapat tentangan dan ancaman class action pemerintah bergeming, tarif tol akhirnya benar-benar dinaikkan.

Departemen Pekerjaan Umum kemudian mengeluarkan SK Nomor: 370/KPTS/M/2007 tanggal 31 Agustus 2007. Isinya, kenaikan rata-rata 20% hingga 22% pada 13 ruas tol di seluruh Indonesia meliputi tol di Jawa, Sumatera dan Sulawesi terhitung sejak 4 September 2007 jam 00.00 wib.

Argumentasinya, dengan kenaikan tarif tol itu maka akan merangsang minat investor agar target 1.900 km jalan tol baru akan terwujud. Faktanya dan ironis sekali kendati tarif tol sudah naik, penambahan jalan tol baru juga tidak kunjung terwujud sampai sekarang.

Persoalan pertama yang dikritisi oleh masyarakat sebetulnya bukan besaran kenaikannya, namun lebih karena kualitas layanan tol yang tetap tidak berubah lebih baik dan timing yang selalu tidak pas. Kali ini sebelum menaikkan tarif, Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) akan mengaudit standar pelayanan minimum jalan tol. Bila dinilai gagal, operator tidak diperkenankan meminta kenaikan tarif.

Apa kriteria gagal yang akan dipakai oleh BPJT, bukankah seluruh ruas tol Jakarta dan sebagian ruas tol di seluruh Indonesia sekarang ini demikian padat sehingga seringkali macet. Dari kacamata pemakai jalan tol, macet adalah kegagalan dari layanan tol, apakah ruas ini juga tetap akan dinaikkan?

Keberatan kedua masyarakat adalah kenaikan tarif tol selalu dilakukan menjelang hari-hari penting seperti momentum Ramadhan dan Lebaran. Siklus beban rakyat yang akan mengadang dalam menghadapi momentum keagamaan itu adalah persoalan kelangkaan bahan pangan dan pendukungnya. Apakah dijamin minyak goreng tidak langka, bagaimana persediaan minyak tanah yang juga memiliki tradisi tiba-tiba hilang. Jika antisipasi persoalan yang seolah cyclical itu belum bisa dikendalikan maka kenaikan tarif tol hanya akan menambah beban rakyat.

Standar Layanan

Undang-undang Nomor 38/2004 tentang Jalan pasal 48, memang memberikan izin peninjauan kembali tarif tol setiap dua tahun dengan catatan diimbangi peningkatan kualitas pelayanan seperti diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 15/2005. Pasal 8 PP tentang Jalan Tol itu memberikan definisi standar pelayanan minimum tersebut di antaranya adalah kecepatan tempuh rata-rata, aksebilitas, mobilitas, dan keamanan.

Mempertimbangkan masih terbatasnya standar pelayanan minimal yang disediakan oleh pengelola jalan tol, maka rencana kenaikan tarif tol adalah salah satu fakta kebijakan yang dipaksakan oleh pemerintah terhadap rakyat. Kemacetan di ruas tol masih terjadi, rambu-rambu lalu lintas tumpang tindih dengan papan iklan, penerangan, mutu jalan, keamanan hingga derek liar bertarif mahal masih bertebaran di sepanjang jalan tol.

Ketidakberpihakan pemerintah terhadap rakyat semakin nyata saat menentukan besaran kenaikan tarif yang akan diberlakukan. Angka 15% adalah besaran yang tidak berdasar sama sekali. Padahal berdasarkan Undang Undang Jalan, penyesuaian tarif seharusnya mengikuti laju inflasi yang terjadi (pasal 48 ayat 3), bahkan dalam PP 15/2005 pasal 68 secara detil memberikan formula Tarif baru = Tarif lama X (1+inflasi).

Pemerintah berkali-kali mengumumkan, bahkan dengan sangat bangga, bahwa laju inflasi komulatif Indonesia kini semakin stabil pada kisaran di bawah satu digit seperti 6,6% tahun 2006 atau 6,5% tahun 2007 dan 3,65% yoy Juli 2009. Dengan demikian, jika pemerintah menghendaki menaikkan tarif jalan tol, maka angka yang pantas menurut formulasi PP 15/2005 adalah 4,65%, bukan 15%.

Faktor lain yang juga perlu dipersoalkan adalah kinerja Departemen PU dalam menyediakan sarana infrastruktur jalan tol sangat tidak menggembirakan. Sejak 1975 hingga 2007, pemerintah hanya mampu menambah panjang tol Indonesia sekitar 663,77 km.

Ketidakseimbangan pertumbuhan panjang tol dengan pertambahan kendaraan bagaikan deret hitung dan deret ukur, kemacetan tiap hari terjadi di mana-mana. Memilih berkendara di jalan tol tetap bukan solusi kemacetan, padahal tarif tol tidak pernah turun.

Bom Waktu

Bom waktu dari dari kenaikan tarif tol adalah efek multiplier dalam memicu kenaikan harga-harga kebutuhan konsumsi rakyat. Hampir seluruh transportasi darat di Jawa, Sumatera dan Sulawesi untuk kegiatan ekonomi tidak dapat dipisahkan dari jalan tol. Kemacetan parah pada jalan reguler, justru menjadi semakin tidak efisien bagi armada darat, oleh sebab itu pilihan ke jalan tol adalah keharusan.

Karena itu dapat dipastikan bahan-bahan konsumsi dan kebutuhan lainnya yang melewati jalan tol juga akan berimbas naik. Apalagi momentum datangnya bulan suci Ramadhan dan lebaran sebentar lagi, disusul Idul Adha, Natal kemudian Tahun Baru 2010, maka lengkaplah sudah penderitaan rakyat. Harga-harga berbagai bahan dan barang pokok akan saling berlomba-lomba menyesuaikan diri.

*) Effnu Subiyanto
, pengamat sosial dan kebijakan publik

JAKARTA, INVESTOR DAILY
21/08/2009 23:21:50 WIB
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=67625&Itemid=

Tidak ada komentar: