SETIAP kali puasa datang, setiap kali pula kita diingatkan tentang pentingnya mengekang hawa nafsu. Sedemikian pentingnya hingga perang melawan hawa nafsu, oleh dalil Islam, disebut lebih berat ketimbang perang fisik yang kolosal sekalipun.
Begitu pula saat jutaan umat muslim di Indonesia melaksanakan ibadah puasa tahun ini, yang dimulai hari ini. Seruan agar kita mengendalikan nafsu bahkan sudah terdengar sejak sepekan menjelang Ramadan.
Seruan itu menjadi amat relevan di tengah suasana hiruk pikuk politik dan perburuan merebut kursi kekuasaan lima tahun ke depan, baik di legislatif maupun eksekutif.
Pertanyaan yang patut kita kemukakan ialah apakah kita sanggup berpuasa dengan keikhlasan hati dan kejernihan otak di tengah rimba perburuan kekuasaan yang sering menomorduakan idealisme kesejahteraan?
Di situlah justru terletak tantangan itu, khususnya bagi elite politik di negeri ini.
Nafsu dan syahwat kekuasaan yang mestinya menjadi energi utama demi mewujudkan kesejahteraan rakyat, sering dibelokkan hanya untuk tujuan kemewahan kekuasaan.
Dalam situasi seperti itu, kita masih sering menyaksikan elite politik kita menerabas segala kepatutan, bahkan menghalalkan segala cara, demi meraih kekuasaan. Janji politik mewujudkan kesejahteraan dan menegakkan keadilan menjadi tinggal janji ketika kekuasaan sudah digenggam.
Di saat yang sama, Ramadan mewanti-wanti tentang besarnya risiko ingkar janji dan selingkuh politik.
Masihkah tersisa di dada politisi itu nilai-nilai Ramadan? Seberapa fasih para politikus itu berpuasa dengan mengumbar janji palsu sekadar menarik rakyat konstituen agar memilih dirinya, sesudah itu dilupakan selupa-lupanya?
Saat nilai moral berpolitik dan praktik kekuasaan melemah seiring dengan praktik demokrasi prosedural asal didukung banyak suara, puasa menjadi alarm untuk mengingatkannya. Saat pengingkaran amanat rakyat terus menguat, puasa menjadi sarana untuk meluruskannya.
Ajaran 'hanya makan ketika lapar dan berhenti makan sebelum kenyang' mestinya mengerem syahwat kekuasaan yang tak berujung. Puasa semestinya membuat mutu hidup bangsa semakin baik dan berkualitas.
Puasa dalam wilayah politik mestinya membuat kita bersedia open heart (membuka hati) menerima kritik dan saran pedas. Puasa bukan sekadar open house, yakni menyediakan setumpuk makanan untuk disantap banyak orang saat magrib tiba.
Puasa selalu datang dengan beribu-ribu harapan dan janji surgawi. Sayang, belum banyak yang benar-benar berubah setelah berkali-kali menjalani terapi rohaniah itu. Masih saja tumbuh dan berkembang selingkuh kekuasaan serta dusta atas janji-janji politik.
Melalui forum ini, kita tidak jemu-jemunya untuk mengajak agar kita punya rasa malu. Malu bila sudah berkali-kali berpuasa, tapi hanya mendapatkan lapar dan haus.
Malu bila kita terus mengulang kegagalan menundukkan nafsu liar kekuasaan. Selamat berpuasa.
22 Agustus 2009 00:01 WIB
MediaIndonesia.com
http://www.mediaindonesia.com/read/2009/08/08/91636/70/13/Mengekang-Syahwat-Kekuasaan
Sabtu, 22 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar