Rabu, 26 Agustus 2009
Elisa Lumbantoruan: Sempat Kaget dengan Suasana Birokratis
Elisa Lumbantoruan rela keluar dari zona nyamannya sebagai presiden direktur PT Hewlett-Packard Indonesia (HP), yang dijabatnya sejak 1 November 2002.
Tepat lima tahun kemudian, alumnus Institut Teknologi Bandung ini justru menerima tawaran dari Kementerian BUMN untuk menjadi direktur Strategy & IT di perusahaan penerbangan pelat merah, PT Garuda Indonesia, per 1 November 2007. Awalnya, Elisa menyebut dua persoalan utama yang dihadapinya yaitu pola komunikasi yang cenderung tidak terbuka dan nuansa birokratis yang kental. Bagaimana Elisa mengatasinya? Kepada Evi Ratnasari dan Yohana Novianti H. dari Warta Ekonomi, Elisa Lumbantoruan menuturkannya melalui sambungan telepon, Kamis (17/4) lalu. Petikannya:
Pertama kali masuk ke BUMN perbedaan apa yang paling Anda rasakan dibanding bekerja di perusahaan multinasional?
Bingung, dan yang saya ingat adalah perbedaan dari sisi lingkungan kerja. Bagi saya yang datang dari swasta dan di-hire sebagai direksi, tiba-tiba orang hormat sekali kepada saya rasanya aneh. Sekarang sudah mulai berkurang, sekarang sudah bebas ngomong, ketemu, sementara kalau dulu susah sekali, harus menjaga jarak. Yang jelas, kesan birokratisnya sangat kental. Budayanya memang berbeda. Kalau tempat bekerja saya sebelumnya, budaya kerja yang tercipta sangat terbuka di mana jabatan seseorang tidak membuat timbulnya gap di antara mereka.
Apakah Anda melakukan mapping masalah di Garuda Indonesia ketika Anda pertama kali masuk?
Tidak, karena ketika masuk ke lingkungan yang baru, maka tahapannya adalah belajar mengenal lingkungan tersebut. Jadi, tidak mungkin saya langsung memutuskan apa saja yang harus dilakukan. Walaupun memang, yang saya temui, persoalannya adalah komunikasi yang sangat birokratis. Jadi, tugas saya adalah membuat suasana itu lebih cair. Makanya saya lebih proaktif membuka komunikasi.
Ada resistensi dari pihak karyawan dari perubahan yang Anda lakukan?
Pada area lain, iya. Namun, di wilayah komunikasi tidak karena, bagaimanapun, komunikasi adalah hal yang sangat manusiawi. Semua orang suka berkomunikasi. Di area lain, misalnya, memasukkan konsep-konsep budaya dan transformasi organisasi itu yang agak sulit. Kesulitan terbesarnya karena dalam sebuah perubahan wajar sekali banyak orang yang memilih untuk tidak berubah, tidak banyak orang yang mau berubah. Maka harus dijelaskan apa tujuan dan keuntungan dari perubahan tersebut.
Apakah hasilnya sudah tampak sekarang?
Sudah, banyak sekali perubahan yang terjadi. Salah satunya ialah keterbukaan berkomunikasi dan mulai berkurangnya hal-hal yang sifatnya birokratis. Selain itu, orang-orang sudah mulai termotivasi dalam melakukan pekerjaannya.
Apa yang melatarbelakangi keputusan Anda menerima tawaran dari Garuda Indonesia, sementara posisi Anda sudah sangat menjanjikan di HP?
Saya di HP sudah lima tahun. Bagaimanapun, orang bisa mengalami kebosanan. Hanya saja, pilihannya saat itu adalah promosi di HP yang artinya ke region, yang berarti memaksa saya pindah ke luar dengan tanggung jawab yang lebih besar. Sementara pilihan kedua, harus membuat jenjang karier yang baru, artinya gambling juga memang masuk ke area yang saya belum tahu sama sekali. Saya tidak tahu lingkungan dan tantangan yang ada di BUMN, tetapi saya selalu berpikir bahwa itu menjadi modal untuk bisa lebih maju. Kadang yang membuat orang jatuh justru ketika ia merasa apa yang dilakukannya sudah sangat baik dan sepertinya sudah tidak ada improvement lagi. Namun, ketika kita masuk ke area baru yang kita belum pernah ada di sana, kita berasumsi sebagai orang yang paling bodoh di situ. Dengan asumsi demikian, menimbulkan motivasi untuk belajar.
Akan tetapi, bukankah kalau dilihat dari sisi materi jelas lebih menarik di perusahaan multinasional?
Masalah materi relatif. Apakah cukup, berlebihan, atau kurang, sifatnya relatif. Itu masalah nomor dua, walaupun memang ada lifestyle kita yang berubah.
Apa yang menjadi alasan Kementerian BUMN memilih Anda untuk masuk ke BUMN?
Ya itu memang sudah program lama, Menneg BUMN Sofyan Djalil ingin membuktikan bahwa BUMN adalah tempat yang menarik bagi para profesional. Saya juga bukan orang pertama yang datang dari kalangan profesional.
Apa saja revolusi teknologi informasi (TI) yang telah Anda lakukan di Garuda?
Belum, saya masih dalam tataran strategi. Dalam rangka transformasi perusahaan dari segi TI, belum banyak yang dikerjakan. Alasannya, karena keberhasilan suatu implementasi TI lebih banyak ditentukan oleh people yang dipengaruhi faktor budaya dan kompetensi. Tidak ada suatu program TI yang tidak disertai dengan transformasi. Kalau hanya fokus di TI, akan gagal. Maka, prioritas pertama adalah transformasi budaya. Kalau sudah terjadi, baru TI bisa dilengkapi. Ketika saya masuk, secara infrastruktur di sini sudah bagus. Namun, bagaimana orang-orang menggunakannya, hanya sebatas automatic manual process. Sebagai contoh, orang punya e-mail hanya berfungsi sebagai mesin tik dan sistem perekaman. Padahal tidak demikian, karena nature dari e-mail adalah orang berkomunikasi tanpa ada batasan, entah dari struktur, waktu, ataupun tempat. Seharusnya seperti itu. Kalau di sini, aspek mobility-nya belum ada. Jadi, saya melihat percuma investasi besar-besaran, sementara transformasi budayanya belum terjadi.
Target Anda, berapa lama untuk melakukan perubahan budaya?
Agak sulit membuat target yang spesifik karena sebenarnya ini perusahaan yang sangat besar. Dan, jika dilihat dari infrastruktur dan proses bisnis yang ada, amat kompleks. Yang bagus dari sisi TI adoption adalah bagaimana TI memberi kontribusi bagi enterprise. Maka, harus dilakukan transformasi organisasi yang didorong dengan adanya perubahan proses bisnis, yakni dengan mengeliminasi proses bisnis yang tidak adding value atau mengeliminasi proses bisnis yang bisa digantikan oleh TI. Itu berakibat pada perubahan struktur organisasi. Kalau perubahan itu ada, baru kita masukkan solusi TI di sana. Dengan begitu, produktivitas dan efektivitas akan meningkat. Selanjutnya adalah bagaimana creating new value dari penggunaan TI.
BUMN dituntut untuk melaksanakan public service obligation (PSO), sementara di sisi lain juga harus mencari profit. Tanggapan Anda?
Tidak semua BUMN dituntut demikian, tetapi itu memang misi yang diemban Kementerian BUMN. Dan, bukan berarti semua BUMN diwajibkan demikian. Namun, ini sudah masuk industri yang kompetitif. Secara umum, industri penerbangan mengalami masa yang sulit tahun lalu karena naiknya harga BBM yang amat tinggi, apalagi akhir tahun ada krisis finansial. Bahkan, sudah ada 32 perusahaan penerbangan di dunia yang bangkrut dan rata-rata airlines di sekitar kita rugi. Namun, untunglah Garuda mencatatkan pertumbuhan yang baik dibanding pada 2007.
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi edisi 08/XXI/2009, halaman 60-61. Judul asli tulisan ini adalah “Sempat Kaget dengan Suasana Birokratis.”
( redaksi@wartaekonomi.com Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya )
Selasa, 16 Juni 2009 12:37
http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2261:elisa-lumbantoruan-sempat-kaget-dengan-suasana-birokratis&catid=43:wuumum&Itemid=62
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar