Rabu, 26 Agustus 2009

Sistem Ekonomi: Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan

Berbeda dengan neoliberalisme yang merupakan kumpulan pemikiran tentang relasi antara pasar dan negara dalam suatu pasar yang bercorakkan kapitalisme, ekonomi kerakyatan lebih merupakan kumpulan pemikiran tentang sebuah orientasi kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat jelata, baik dari sisi konsumsi dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok, maupun di sisi produksi dengan berpihak kepada usaha kecil dan menengah.

Akhir-akhir ini publik sering mendengar istilah “neolib”. Istilah ini sering menjadi kambing hitam. Bencana gempa dikatakan disebabkan oleh neolib. Jatuhnya pesawat juga disebabkan oleh neolib. Bahkan, seorang profesor mengatakan maraknya kasus mutilasi yang terjadi juga karena neolib.

Lalu, makhluk apakah neolib itu ? Apakah ia kurus atau gemuk, tinggi atau pendek, cantik atau jelek? Tampaknya, belum ada definisi yang jelas mengenai neolib. Jika dicari melalui internet, orang akan memperoleh banyak sekali definisi mengenai neolib. Namun, hampir di seluruh buku teks pelajaran ekonomi nyaris tidak ditemukan definisi yang jelas mengenai neolib. Seburuk itukah reputasi neolib? Ataukah justru neolib merupakan sistem ekonomi yang tampak buruk di luar, tetapi cantik di dalam?
Sementara itu, ekonomi kerakyatan kini menjadi pahlawan. Hampir semua program ekonomi calon presiden dan wakil presiden menekankan pada ekonomi kerakyatan. Ekonomi kerakyatan dianggap sebagai sistem ekonomi yang khas Indonesia dan sangat sesuai untuk Indonesia. Namun, apakah benar seperti itu keadaannya? Secantik itukah ekonomi kerakyatan? Apakah memang ekonomi ini merupakan sistem yang paling sesuai?

Neoliberalisme

Neoliberalisme muncul pada akhir 1960-an, yang dilatarbelakangi oleh beragam kegagalan kebijakan ekonomi teknokratis dan intervensionis yang melahirkan ketidakpuasan dan konflik kepentingan. Seperti halnya pemikiran-pemikiran ekonomi lainnya, kemunculan neoliberalisme dipicu krisis berupa stagflasi pada 1970-an di negara-negara maju yang memberi angin haluan ini untuk menyerang balik kubu prointervensi dan membawa kembali sebagai wacana kebijakan ekonomi dominan.

Kebijakan neoliberal sukses mengurangi inflasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi di beberapa negara. Perekonomian Inggris membaik setelah Margareth Thatcher menjadi Perdana Menteri Inggris pada tahun 1979. Demikian pula kepemimpinan Ronald Reagan di Amerika Serikat selama dua periode (1981–1989), yang berhasil menurunkan inflasi dan pengangguran. Keduanya menerapkan kebijakan yang sama, yaitu privatisasi, deregulasi, serta pengurangan pajak dan subsidi.

Neoliberalisme sendiri bukan merupakan satu teori besar, melainkan merupakan hedging dari serpihan-serpihan beberapa teori kontemporer anti-intervensi yang dikembangkan pada konteks historis, politis, dan institusi tertentu. Maka, neolib dapat dikatakan merupakan revival pemikiran ekonomi klasik yang mengadvokasi pasar bebas, kebebasan individu, dan intervensi negara, minimal dalam perekonomian, yang merupakan kumpulan teori tentang relasi antarnegara, pasar, individu, dan masyarakat dalam sebuah sistem perekonomian yang berlandaskan kapitalisme.
Beberapa pokok pemikiran dari neolib dapat digolongkan sebagai berikut:

1. Monetaris

Ini adalah kelompok teori yang paling dikenal dalam kelompok neolib, dengan berpijak pada asumsi adaptive dan rational expectation, market clearing Walrasian (ketika supply sama dengan demand/titik ekuilibrium), serta money neutrality (perubahan dalam jumlah uang yang beredar hanya memengaruhi variabel nominal, bukan variabel riil) dalam jangka pendek dan money non-neutrality dalam jangka panjang.

2. Penolakan terhadap Perencanaan Terpusat

Argumen ini menentang sebuah perencanaan ekonomi terpusat oleh negara. Dasar argumen ini adalah bahwa perencanaan terpusat pada sebuah perekonomian yang modern dan kompleks dan terus-menerus berubah akan membutuhkan informasi di luar kemampuan sebuah negara. Mereka berpendapat bahwa yang mampu untuk memenuhi kebutuhan informasi itu adalah rivalitas individu dan pencari untung. Sehingga, dapat dikatakan secara ekstrem semua bentuk intervensi negara akan gagal atau mengancam kemerdekaan. Argumen ini telah diterima secara luas, bahkan oleh kelompok yang prointervensi.

3. Kekakuan Lembaga

Teori ini merupakan ekspansi lebih jauh lagi dari argumen yang menentang sebuah perencanaan terpusat dan campur tangan negara. Argumen ini mengatakan bahwa setiap bentuk kelembagaan yang sengaja diciptakan untuk memberikan keuntungan tertentu pada kelompok tertentu atau pada perekonomian (proteksi perdagangan, kebijakan upah minimum, atau jaring pengaman sosial) cenderung menciptakan kekakuan pada jangka panjang.

4. Principal Agent Model of Bureaucracy

Asumsi maksimasi harus diterapkan secara simetrik baik terhadap agen dari sektor swasta maupun publik. Asumsi ini bukan hanya merendahkan kepercayaan publik terhadap birokrasi, tetapi juga menggugat asumsi negara kesejahteraan yang menisbatkan netralitas birokrasi.

5. Rent Seeking

Teori ini berargumen bahwa satu kebijakan industri dan substitusi impor, selain menghilangkan kemungkinan peningkatan kesejahteraan dari perdagangan, juga akan memicu merebaknya monopoli dan oligopoli di negara berkembang.

6. Penolakan terhadap Perusahaan Publik dan Privatisasi

Kaum neoliberal juga berpendapat bahwa perusahaan publik merupakan salah satu sumber utama dari inefisiensi ekonomi dan stagnasi yang dialami oleh banyak negara berkembang.

Washington Consensus

Neolib merupakan modifikasi baru ataupun perkembangan dari sistem ekonomi liberalisme dan kapitalisme. Berbekal perkembangan teori dan kesuksesan aplikasi di negara maju, World Bank, IMF, dan Departemen Keuangan AS sepakat untuk menggeneralisasi berbagai teori ini dalam satu paket kebijakan yang dikenal dengan nama Washington Consensus. Pada awalnya Washington Consensus merupakan kesepakatan antara politisi Kongres, badan pemerintah, dan Bank Sentral AS, serta lembaga keuangan internasional mengenai cara pemulihan ekonomi di negara-negara berkembang.

John Williamson, seorang ekonom, merumuskan Washington Consensus ke dalam sepuluh butir kebijakan:

1. Disiplin fiskal. Dalam hal ini, hampir semua negara menerapkan sistem budget deficit untuk menyeimbangkan krisis neraca pembayaran dan tingkat inflasi yang tinggi. Hal ini banyak dialami oleh negara-negara miskin karena kelompok orang kaya menyimpan uangnya di luar negeri.
2. Prioritas pengeluaran publik. Dalam hal ini konsensus memilih untuk mengalokasikan pengeluaran pemerintah pada program-program yang berpihak kepada rakyat miskin, seperti subsidi pendidikan dan kesehatan.
3. Reformasi pajak, yaitu membuat suatu model yang mengombinasikan basis pajak yang luas dengan tingkat pajak yang rendah.
4. Liberalisasi suku bunga, yaitu tingkat suku bunga ditentukan oleh pasar dan positif secara riil.
5. Tingkat nilai tukar yang kompetitif.
6. Liberalisasi perdagangan, terutama penghapusan lisensi dan tarif tunggal.
7. Liberalisasi investasi asing langsung.
8. Privatisasi BUMN.
9. Deregulasi. Penghapusan regulasi yang menghambat persaingan, kecuali untuk menjaga keamanan, lingkungan, perlindungan konsumen, dan pengawasan lembaga keuangan.
10. Perlindungan hak milik.


Neolib di Berbagai Negara


Paham neolib telah banyak berkembang di banyak negara, walaupun pada prakteknya tidak ada yang menerapkan 100%. Di antaranya adalah sebagai berikut:

- Swedia

Tokohnya adalah Carl Bildt. Program Carl Bildt saat itu adalah melakukan liberalisasi dan mereformasi perekonomian Swedia dan memulai inisiasi masuknya Swedia ke dalam Uni Eropa.

- Hong Kong


Neolib juga berkembang di Hong Kong. Wilayah ini merupakan bekas negara anggota Persemakmuran Inggris yang sekarang telah diserahkan kepada Cina. Milton Friedman melihat Hong Kong sebagai negara yang laissez-faire, yaitu telah berhasil melakukan liberalisasi di sektor finansial dan menjadi salah satu pusat keuangan dunia.

- Cile


Neolib yang terjadi di Cile dipelopori oleh Presiden Augusto Pinochet yang sangat mendukung liberalisasi ekonomi dan reformasi di Cile. Menurut angka Index Economy of Freedom, Cile menduduki peringkat ke-11 sebagai negara “paling bebas” dalam ekonomi.

- Kanada


Di Kanada, kebijakan neolib didukung oleh Brian Mulroney, Mike Haris, Ralph Klein, Gordon Campbell, dan Stephen Harper. Privatisasi yang dilakukan di Kanada meliputi pengelolaan sumber daya gas alam Alberta yang dilakukan oleh pemerintah provinsi. Dan mereka mencoba untuk melakukan privatisasi pada Universal Health System di Alberta.

- Australia


Neoliberal berkembang di Australia sejak 1980-an dengan dukungan penuh dari pemerintah baik dari Partai Buruh maupun Partai Liberal. Pemerintahan Bob Hawke dan Paul Keating (1983–1996) mengusulkan liberalisasi ekonomi dan program reformasi ekonomi mikro. Dengan didasarkan pada kebijakan kompetisi nasional, privatisasi badan usaha milik negara (BUMN), reformasi pasar faktor produksi, menganut rezim nilai tukar mengambang, dan mengurangi hambatan perdagangan. Keating juga mengembangkan sistem superannuation guarantee pada 1992 untuk meningkatkan tabungan nasional dan mengurangi beban pemerintah pada dana pensiun. Sistem neolib juga berlanjut di bawah pemerintahan John Howard, ditandai dengan dilakukannya privatisasi banyak BUMN seperti Telstra.

- Jepang


Di Jepang, BUMN terbesar adalah Japan Post. Sebagian besar warga Jepang bekerja di sana. Japan Post dikenal sebagai lembaga tabungan swasta terbesar di dunia. Perdana Menteri Jepang saat itu, Junichiro Koizumi, melihat Japan Post menjadi tidak efisien dan menjadi sumber korupsi dan kemudian melakukan privatisasi.

Pada September 2003, kabinet Koizumi melakukan privatisasi dan memecah Japan Post menjadi empat perusahaan, yaitu perusahaan asuransi, perusahaan jasa pos, bank, dan perusahaan keempat menjadi tempat ritel dari perusahaan yang tiga tadi. Namun, ternyata privatisasi ini ditolak oleh DPR. Koizumi lalu menjadwalkan pemilihan nasional yang diselenggarakan pada 11 September 2005, dengan mengeluarkan referendum mengenai privatisasi postal. Koizumi memenangkan pemilihan dan berhasil melakukan privatisasi setelah 2007.

- Selandia Baru


Istilah Rogernomics adalah analogi yang diciptakan untuk menggambarkan kebijakan Perdana Menteri Selandia Baru, Roger Douglas, pada 1984, yang mengikuti paham kebijakan Ronald Reagan di Amerika Serikat. Sejak 1984, pemerintah telah mulai mengurangi subsidi termasuk subsidi untuk pertanian, liberalisasi peraturan impor, menganut nilai tukar mengambang bebas, mengurangi pengendalian suku bunga, upah, dan harga, dan pengurangan tingkat pajak. Kebijakan moneter yang ketat dan pengurangan pada neraca defisit pemerintah berhasil menurunkan tingkat inflasi tahunan lebih dari 18% pada 1987.


Langkah privatisasi BUMN dan mengurangi peran pemerintah mengakibatkan menurunnya tingkat utang negara, tetapi meningkatkan kebutuhan pengeluaran untuk masyarakat sehingga meningkatkan pengangguran. Namun, tingkat pengangguran di Selandia Baru mulai menurun pada 2006–2007 menjadi sekitar 3,5%–4%. Survei yang dilakukan oleh majalah Doing Business menempatkan Selandia Baru pada urutan ke-13 dari 178, yaitu negara yang memiliki iklim bisnis positif.

- Afrika Selatan

Sejak berakhirnya peraturan apartheid di Afrika Selatan pada 1994, Afrika Selatan telah berkembang pesat. Perkembangan kebijakan neoliberalisme di Afrika Selatan telah merontokkan tingkat pertumbuhan. Kebijakan lain seperti mempertahankan tingkat suku bunga yang tinggi untuk meredam inflasi justru memperburuk perekonomian. Sementara itu, kebijakan pasar bebas menyebabkan meningkatnya pengangguran sejak pemerintahan baru pada 1994 sehingga meningkatkan tingkat kemiskinan di Afrika. Hingga kini ketidakmerataan masih ada, sama seperti ketika di bawah peraturan apartheid.

Ternyata kebijakan neoliberalisme tidak selamanya berhasil diaplikasikan di semua negara di dunia. Ada yang berhasil meningkatkan kemakmuran, tetapi ada juga yang malah makin membenamkan negara tersebut dalam kemiskinan. Lalu, bagaimanakah perkembangan neolib di Indonesia? Apakah Indonesia penganut neolib?

Ekonomi Kerakyatan

Dalam tulisannya yang berjudul “Ekonomi Rakyat Dalam Bahaya” yang diterbitkan pada 1933, Wakil Presiden RI pertama Mohammad Hatta menyebutkan bahwa perekonomian Indonesia dieksploitasi oleh kolonialisme sehingga keadilan dan pemerataan ekonomi perlu ditegakkan. Ini menjadi dasar pemikiran ekonomi kerakyatan yang pada dasarnya adalah ekonomi sosialis dengan tujuan utama pemerataan kesejahteraan. Paradigma yang berkembang pada saat itu barulah sebatas pada bahwa ekonomi kerakyatan merupakan perlawanan terhadap kapitalisme dan eksploitasi.

Kemudian, pada 1979, Emil Salim menampilkan gagasan mengenai Ekonomi Pancasila. Ekonomi Pancasila adalah suatu model sistem ekonomi yang lahir dari tercapainya titik keseimbangan dari berayunnya “bandul jam” kebijakan dan perkembangan ekonomi dari kiri ke kanan sejak awal kemerdekaan, dari haluan liberal ke sosialis dan kemudian dari sosialis ke liberal. Keseimbangan itu ditandai dengan keseimbangan antara kebijakan fiskal dalam negara aktif dan kebijakan moneter yang liberal yang dikendalikan bank sentral dan sistem perbankan dan keuangan secara keseluruhan.
Lalu pada awal 1980-an muncul sebuah gejala paradoks. Di satu pihak, perkembangan resesi perekonomian dunia dan menurunnya peranan penerimaan negara dari produksi dan ekspor migas menyebabkan krisis APBN yang mengakibatkan defisit anggaran dan menurunnya anggaran pembangunan. Namun, pada awal dasawarsa itu pula menonjol fenomena konsentrasi kekuatan ekonomi pada perusahaan-perusahaan konglomerasi.
Maka, pada awal dasawarsa itu, Mubyarto mengangkat kembali gagasan Emil Salim mengenai Ekonomi Pancasila bersama Boediono yang kini menjadi calon wakil presiden RI. Keduanya berusaha untuk mengonseptualisasikan Ekonomi Pancasila secara komprehensif, baik makro maupun mikro, dengan asumsi teori mengenai manusia dan epistemologi ekonominya. Berkaitan dengan isu ekonomi rakyat, dalam wacana selanjutnya ia berpendapat bahwa pilar utama dari Ekonomi Pancasila adalah perekonomian rakyat.

Berbeda dengan neoliberalisme yang merupakan kumpulan pemikiran tentang relasi antara pasar dan negara dalam suatu pasar yang bercorakkan kapitalisme, ekonomi kerakyatan lebih merupakan kumpulan pemikiran tentang sebuah orientasi kebijakan yang lebih berpihak kepada rakyat jelata, baik dari sisi konsumsi dalam hal pemenuhan kebutuhan dasar dan pokok, maupun dari sisi produksi dengan berpihak kepada usaha kecil dan menengah. Dengan definisi tersebut, ekonomi kerakyatan bisa saja berkembang dan dipraktekkan di berbagai corak perekonomian, baik itu yang bersifat kapitalisme maupun komunisme. Akan tetapi, karena memerlukan adanya kepastian keberpihakan yang jelas, yang secara implisit menekankan perlunya peran aktif dan ketidaknetralan negara, ekonomi kerakyatan berbeda dengan neoliberalisme yang mengandaikan netralitas dan ketiadaan campur tangan negara.

Lalu, dari golongan yang manakah ekonomi kerakyatan ini berasal? Jika dilihat dari orientasi kebijakan, maka dapat dikatakan bahwa ekonomi kerakyatan lebih cenderung pada pengembangan dari ekonomi sosialis ataupun modifikasi dari sosialis. Sosialis murni berpendapat bahwa kapitalisme telah mengonsentrasikan kekuasaan dan kekuatan dengan tidak adil karena hanya sebagian kecil dari masyarakat yang mengendalikan modal sehingga menciptakan ketidakadilan dalam masyarakat dan tidak semua orang diberi kesempatan yang sama.

Sosialisme sendiri bukanlah filosofi ataupun doktrin yang konkret, melainkan merupakan cabang dari intervensi sosial dan rasionalisasi ekonomi yang meski terkadang bertentangan satu sama lain. Sosialisme sendiri telah banyak berkembang sejak Perang Dunia II hingga kini. Menurut Karl Marx, sosialisme dapat diraih melalui perjuangan antar-kelas dan revolusi proletar. Sosialisme merupakan transisi antara kapitalisme dan komunisme. Sosialisme berkembang pada 1917–1923 yang mengakibatkan terjadinya radikalisasi politik di sebagian besar Eropa dan Amerika serta Australia. Tokoh utama golongan sosialis adalah Vladimir Lenin, yang memimpin revolusi Oktober pada Januari 1918 di Soviet. Saat itu kata-kata Lenin yang terkenal adalah “Long live the world socialist revolution”.

Sosialisme yang berkembang kini lebih dikenal dengan nama Sosialisme Abad 21, yang dipelopori oleh Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Bolivia Evo Morales. Di Cina, Partai Komunis telah memimpin transisi dari periode ekonomi komando Mao menuju program ekonomi yang sering disebut sosialisme khas Cina, yang dipimpin oleh Deng Xiaoping. Deng menekankan program reformasi berbasiskan pasar yang lebih dalam dibandingkan dengan program Perestroika milik pemimpin Uni Soviet Mikhail Gorbachev. Program Deng saat itu adalah mempertahankan kepemilikan pribadi atas tanah, kepemilikan pemerintah atau swasta atas sektor manufaktur, dan pengaruh negara terhadap sektor perbankan dan finansial.

Komparasi

Dalam berbagai kesempatan, calon wakil presiden Prabowo Subianto mengatakan bahwa bagi Indonesia akan lebih baik jika memberikan Rp1.000 triliun kepada pengusaha kecil dan petani daripada memberikan Rp1.000 triliun kepada pengusaha besar. Akan menarik jika menganalisis pernyataan Prabowo ini dengan melihat output multiplier yang dihasilkan oleh sektor-sektor usaha. Namun, sebelumnya, model ini disederhanakan dahulu menjadi Rp1.000.

Dalam ekonomi kerakyatan, yang diharapkan paling berkembang adalah masyarakat kecil, yang banyak terlibat di sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan. Apabila dana Rp1.000 dibagikan kepada tiga sektor ini, maka tiap sektor akan mendapat bagian kurang lebih Rp333. Data output multiplier yang ada pada BPS menunjukkan bahwa sektor pertanian (diwakili oleh padi dan bahan makanan lainnya) memiliki multiplier effect sebesar 11.1 output. Artinya, setiap penambahan satu rupiah input dari sektor pertanian akan menambah output perekonomian sebesar 11.1. Jadi, ketika input sektor pertanian (modal) ditambah Rp333, maka output perekonomian akan bertambah sebesar 3696.3 unit.

Sektor perkebunan, yang diwakili oleh perkebunan karet, memiliki output multiplier sebesar 24.8. Jadi, ketika ke sektor perkebunan disuntikkan modal tambahan sebesar Rp333, maka output perekonomian akan bertambah sebesar 8258.4 unit. Dan, sektor perikanan, yang diwakili oleh perikanan laut, memiliki output multiplier sebesar 20.8, sehingga ketika ada penambahan modal sebesar Rp333, maka output perekonomian akan bertambah sebesar 6926.4 unit. Jadi, ketika Rp1.000 disuntikkan pada sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan, maka output perekonomian (PDB) akan bertambah sebesar 18881.1 unit atau sekitar 1,8 kali lipatnya.

Sementara itu, dalam perekonomian neoliberalisme yang dituding sangat memihak kepada pengusaha kaya, maka akan dipilih tiga sektor industri yang mewakili, yaitu sektor industri tekstil, properti, dan perbankan, dengan multiplier effect masing-masing sebesar 27.4, 27.5, dan 90.9. Ketika Rp333 dimasukkan ke dalam masing-masing sektor, maka sektor industri tekstil akan menghasilkan 9124.2 unit, sektor properti menghasilkan 9157.5 unit, dan sektor perbankan menghasilkan 30269.7 unit. Jadi, ketika Rp1.000 dimasukkan ke dalam sektor industri tekstil, properti, dan perbankan, maka akan menambah output perekonomian total (PDB) sebesar 48551.4 atau sekitar 4.8 kali lipatnya.

Dari kedua ilustrasi di atas dapat dilihat bahwa dengan memberikan Rp1.000 kepada “pengusaha kaya” yang bergerak di sektor perbankan, tekstil, dan properti akan memberikan output 4.8 kali lipat. Bandingkan dengan sektor pertanian, perkebunan, dan perikanan yang hanya menghasilkan 1.8 kali lipat. Jadi, kesimpulannya, manakah yang ingin dikejar pemerintah: Apakah PDB yang besar, tetapi dengan penyerapan tenaga kerja kecil dalam artian akan banyak pengangguran dan menciptakan ketidakmerataan ataukah PDB yang kecil, tetapi merata? Economy is a matter of choice and there's always will be a trade off.

Selasa, 14 Juli 2009 06:03

NURHIFEN KANIA
( redaksi@wartaekonomi.com )

Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi edisi 11/XXI/2009, 1-14 Juni 2009. Halaman 46-51. Judul asli tulisan ini adalah “Neoliberalisme vs Ekonomi Kerakyatan.”

http://www.wartaekonomi.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=2529:sistem-ekonomi-neoliberalisme-vs-ekonomi-kerakyatan&catid=43:wuumum&Itemid=62

Tidak ada komentar: