oleh : Bambang Susantono *)
Meskipun telah mencetak prestasi pertumbuhan di tengah krisis ekonomi global, banyak pihak mempercayai bahwa Indonesia sebenarnya mampu untuk tumbuh bahkan di atas 5%. Salah satu faktor yang menjadi kendala potensi pertumbuhan yang lebih tinggi adalah ketersediaan infrastruktur.
Survei yang dilakukan berbagai pihak, misalnya Global Competitiveness Report, ataupun ADB Institute, memperlihatkan kinerja infrastruktur kita belum mampu mendukung daya saing yang lebih baik.
Untuk memacu pembangunan infrastruktur tentu dibutuhkan dana yang tidak sedikit serta perhatian dan fokus yang lebih. Karenanya sejak percepatan pembangunan infrastruktur dicanangkan pada 2005, telah dilakukan serangkaian rencana tindak yang merupakan bagian dari reformasi pembangunan infrastruktur.
Rencana tindak tersebut antara lain berupa (1) revisi peraturan perundangan, (2) peningkatan alokasi anggaran pemerintah, dan (3) memperbesar kesempatan bagi pemda dan swasta untuk membangun infrastruktur.
Reformasi perundang-undangan yang saat ini hampir tuntas memberikan fondasi bagi rencana tindak lainnya. Peraturan perundangan yang terkait dengan infrastruktur seperti UU Kereta Api, Pelayaran dan Penerbangan telah direvisi mengikuti spirit UU Jalan, Sumber Daya Air dan Telekomunikasi.
Tujuannya di antaranya adalah menghapus monopoli BUMN, memisahkan dualisme operator dan regulator dalam penyelenggaraan infrastruktur, dan membuka peluang bagi pemerintah daerah dan swasta.
Keleluasaan fiskal karena semakin kokohnya perekonomian kita telah memberikan ruang untuk alokasi anggaran pembangunan infrastruktur yang lebih besar. Apabila pada 2008 anggaran pemerintah telah mencapai angka sekitar Rp56,4 triliun untuk infrastruktur dan pada 2009 mencapai Rp61,7 triliun.
Anggaran ini dialokasikan bagi lima kementerian yaitu Departemen Pekerjaan Umum, Departemen Perhubungan, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Departemen Komunikasi dan Informatika, dan Kementerian Negara Perumahan Rakyat.
Jumlah ini belum termasuk anggaran yang langsung ditransfer ke daerah berupa dana alokasi khusus (DAK) dan dana otonomi khusus untuk infrastruktur yang pada tahun 2009 ini sekitar Rp18 triliun dan Rp8,85 triliun. Keseluruhan dana ini bila ditotal dalam kurun waktu 2005-2009 akan berjumlah Rp321,6 triliun.
Jumlah ini belum termasuk anggaran capacity expansion BUMN infrastruktur utama seperti PLN, PGN, Telkom (ketiganya memiliki anggaran sekitar Rp290,5 triliun pada periode yang sama), Angkasa Pura, Pelindo dan PT KAI.
Hitungan ini juga belum termasuk dana APBD provinsi dan kabupaten kota untuk infrastruktur. Total jumlah anggaran infrastruktur diperkirakan berkisar (4-5) % dari PDB kita.
Agar infrastruktur dapat berperan maksimal dalam menunjang perekonomian, para ahli seringkali menggunakan angka 5%-6% dari PDB sebagai rule of thumb. Sebelum krisis ekonomi 1997 investasi Indonesia di bidang infrastruktur mencapai angka di atas 7% PDB nasional.
Sesuai sasaran
Lalu pertanyaannya adalah apa yang telah dibangun dengan dana tersebut?
Target Inpres 5/2008 yang merupakan sasaran pembangunan pada 2008 dan 2009 menyatakan bahwa pada akhir 2009 seharusnya telah terbangun beberapa infrastruktur strategis melalui dana APBN.
Beberapa di antaranya adalah beroperasinya secara fungsional jalan Kalimantan dan Lintas Barat Sulawesi. Jalur Pantura dan Lintas Timur Sumatra yang saat ini akan menampung para pemudik dalam kondisi mantap, berfungsinya Jembatan Suramadu desa berdering di Indonesia sebanyak 38.471 desa, desa pintar yang dilengkapi internet sebanyak 100 desa, pengembangan Bandara Hasanuddin dan Kualanamu, dan percepatan tambahan penyediaan 10 juta sambungan air minum bagi masyarakat.
Peningkatan alokasi anggaran publik untuk infrastruktur belum diikuti oleh kinerja proyek-proyek kerja sama pemerintah swasta (KPS).
Terdapat empat permasalahan utama KPS yaitu:
(1) kurang matangnya persiapan proyek sehingga penawaran tidak dapat direspons dengan baik oleh pasar,
(2) faktor pembebasan tanah yang berlarut-larut,
(3) ketidakmampuan investor untuk menggalang pendanaan sehingga tidak tercapai financial closure, dan
(4) risiko proyek yang dianggap terlalu tinggi untuk dipikul oleh swasta.
Lima tahun mendatang tentunya peran swasta masih sangat dibutuhkan untuk membangun infrastruktur. Bappenas memperkirakan bahwa dari kebutuhan 2009-2014 sebesar Rp1.429 triliun, sebanyak sekitar 65% diharapkan datang dari swasta.
Untuk itu diperlukan beberapa instrumen fiskal dan non-fiskal untuk memfasilitasi kerja sama pemerintah dan swasta dalam pembangunan infrastruktur.
Instrumen pertama adalah Project Development Facility (PDF) yang diharapkan dapat mengatasi permasalahan kekurangmatangan persiapan proyek. Fasilitas ini merupakan dana yang dapat dipinjam oleh pemrakarsa untuk mempersiapkan proyek PPP agar bankable dan dapat ditenderkan.
Dana ini dapat dipakai untuk melakukan studi kelayakan, melakukan jajak pasar (market sounding) untuk mengetahui minat pasar (market appetite) dan mempersiapkan skema finansial proyek (financial structuring).
Jadi revolving fund
Apabila proses tender selesai dan pemenang tender telah ditunjuk, dana ini harus dikembalikan oleh pemrakarsa melalui pola reimbursement oleh pemenang tender. Oleh karenanya diharapkan PDF ini akan menjadi revolving fund.
Problema akut pembebasan tanah akan coba diatasi melalui instrumen land capping, land freezing dan land acquisition fund. Untuk memberi kepastian pembiayaan tanah, pemerintah telah menetapkan batas atas (capping) sebesar 10 % di atas estimasi harga tanah.
Apabila transaksi melebihi batas ini maka pemerintah akan menanggungnya. Hal ini bertujuan untuk lebih menciptakan kemudahan perhitungan harga tanah bagi investor dalam menyusun rencana bisnisnya.
Ketentuan ini dilengkapi dengan penyediaan land acquisition fund yaitu dana talangan bagi investor untuk membebaskan lahan, sehingga tidak terbebani risiko dan cost of money proses pembebasan lahan yang sering kali berlarut.
Agar tidak terjadi praktik spekulasi tanah, Peraturan Kepala BPN telah memberikan mekanisme land freezing di mana tanah tidak dapat dijualbelikan tanpa seizin kepala daerah.
Saat ini sedang dikaji kemungkinan disusunnya UU khusus yang memungkinkan proses eminen domain bagi kepentingan umum berlaku, tentunya dengan tetap menghormati hak pemilik tanah dan mencari nilai penggantian yang adil.
Permasalahan pendanaan karena kesulitan ekuitas ataupun pinjaman coba diatasi dengan pembentukan PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) atau yang dikenal dengan Indonesia Infrastructure Fund (IIF).
Saat ini SMI sedang dalam proses membentuk Indonesia Infrastructure Financing Facilities (IIFF) yang berupa anak perusahaan bersama lembaga multilateral seperti ADB, World Bank dan DEG (Jerman). IIFF akan merupakan unit operasional SMI dalam transaksi proyek PPP.
Masih tingginya persepsi risiko proyek infrastruktur di Indonesia coba diatasi melalui pembentukan PT. Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) atau Guarantee Fund (GF) yang ditargetkan beroperasi penuh pada 2010.
Keberadaan PII diharapkan dapat menurunkan profil risiko dari sebuah proyek infrastruktur yang pada akhirnya dapat menurunkan biaya transaksi keuangannya.
Lembaga penjamin ini direncanakan memiliki fasilitas penunjang (backstop facility) dari lembaga pendanaan multilateral seperti World Bank atau Asian Development Bank berupa dana yang sewaktu-waktu dapat digunakan.
Jenis risiko yang akan dijamin utamanya adalah risiko politik yang erat kaitannya dengan kewenangan pemerintah. Pemerintah telah mengalokasikan Rp1 triliun sebagai modal awal PII yang akan dikelola secara profesional berdasarkan prinsip komersial.
Di samping penyiapan berbagai instrumen fiskal untuk memfasilitasi pembangunan infrastruktur, prosedur investasi yang masih dirasakan berbelit-belit juga harus dipangkas.
Harus ada aturan baku tentang prosedur investasi di bidang infrastruktur berupa Doing Business in Infrastructure yang memuat secara transparan alur prosedur dan waktu yang dibutuhkan untuk berinvestasi di infrastruktur.
Berbagai jurus tentunya akan coba dilaksanakan oleh pemerintah untuk memacu pembangunan infrastruktur 5 tahun ke depan, baik yang berupa kebutuhan dasar manusia (basic needs) seperti air bersih, infrastruktur perdesaan, maupun yang bersifat menunjang pertumbuhan ekonomi seperti jalur transportasi logistik, listrik, pelabuhan.
Untuk membangun proyek-proyek infrastruktur dengan efisien, efektif, akuntabel, dan transparan harus dimulai dari proses pengadaan yang benar. Karenanya tata kelola pemerintahan yang bersih (good governance) harus menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari setiap tahapan penyelenggaraan pembangunan infrastruktur.
Senin, 07/09/2009 12:09 WIB
*)Bambang Susantono, adalah Deputi Menko Perekonomian Bidang Infrastruktur dan Pengembangan Wilayah
http://web.bisnis.com/artikel/2id2504.html
Selasa, 08 September 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar