Badan Pengawas Pasar Modal – Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) harus ikut bertanggung jawab atas kasus Bank Century. Sebab, kolapsnya bank tersebut berawal dari penerbitan discretionary fund oleh PT Antaboga Delta Sekuritas yang dimiliki keluarga Tantular.
Discretionary fund adalah kontrak pengelolaan dana (KPD) antara nasabah dan manager investasi (MI). Dalam kasus Century, dosa Bapepam-LK adalah membiarkan perusahaan sekuritas menjual produk discretionary fund yang ternyata bodong. Selain itu, investor publik tidak memperoleh informasi memadai terkait skandal Century, padahal bank tersebut adalah listed company.
Hal itu diungkapkan pengamat hukum pasar modal Indra Safitri, praktisi hukum Ery Yunasri, ekonom Indef Iman Sugema, dan Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (Missi) Nyak Dan Murdani di Jakarta, akhir pekan lalu.
“Bapepam tidak boleh lepas tangan, karena Antaboga selaku manajer investasi mendapat izin dan di bawah pengawasan Bapepam. Apalagi Bank Century juga merupakan perusahaan terbuka,” tegas Indra Safitri kepada Investor Daily.
Sementara itu, Iman Sugema mengatakan, kolapsnya Bank Century berawal dari gagal bayar discretionary fund Antaboga yang dipasarkan melalui Bank Century. Sejak itu, kepercayaan nasabah runtuh dan mereka ramai-ramai menarik dana dari Bank Century sehingga bank tersebut kolaps.
“Kasus Century merupakan kesalahan berjamaah,” kata dia. Tak hanya Bank Indonesia (BI), Menteri Keuangan, Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) yang “berdosa” karena memutuskan penyelamatan bank tersebut sehingga berpotensi merugikan negara triliunan rupiah, tetapi juga Bapepam-LK. Sebab, kolapsnya Bank Century berawal dari lemahnya pengawasan Bapepam-LK atas manajer investasi, yakni PT Antaboga Delta Sekuritas.
Ketika dikonfirmasi tentang hal itu, Ketua Bapepam-LK Fuad Rahmany mengatakan, penjualan produk investasi oleh Antaboga Delta Sekuritas melalui Bank Century bukan merupakan tanggung jawab otoritas pasar modal. Pasalnya, produk tersebut diperjualbelikan di Bank Century dan bukan Antaboga. “Jadi ini bukan tanggung jawab Bapepam-LK,” kata dia.
Menurut Fuad, produk yang dijual Antaboga tersebut bukanlah produk reksa dana melainkan discretionary fund. Produk tersebut juga bukan merupakan produk investasi yang pernah mendapat peringatan dari Bapepam-LK pada 2005. Dia menilai, produk investasi yang telah menampung dana sebesar Rp 1,4 triliun dan diperjuabelikan di Bank Century merupakan produk palsu.
Fuad mengaku pihaknya tidak dapat memproteksi nasabah Bank Century, karena otoritas pasar modal hanya melindungi para pemegang saham perseroan. “Kami sudah melakukan semuanya, meminta report, laporan keuangan, dan pelaporan aksi korporasi ataupun suspensi ketika ada masalah,” tandas dia.
Pengawasan Lemah
Iman Sugema menegaskan, sudah menjadi rahasia umum bahwa pengawasan Bapepam-LK sangat lemah. Ini tercermin dari banyaknya kasus di pasar modal, mulai dari transaksi repo, produk derivatif, hingga kasus Sarijaya Sekuritas.
Dalam kasus Antaboga, kata dia, Bapepam – LK semestinya memberikan early warning kepada investor bahwa produk yang dipasarkan Bank Century itu bukan produk pasar modal. Namun, Bapepam tidak bertindak apapun hingga akhirnya masyakarat tertipu dengan total kerugian sekitar Rp 1,4 triliun.
Kisruh produk Antaboga berawal pada Agustus 2008, ketika pegawai customer service Bank Century menawarkan pengalihan dana di rekeningnya untuk diinvestasikan ke salah satu produk Antaboga dengan iming-iming bunga 13% dalam tiga bulan. Sebagai bukti investasi, para nasabah hanya diberi selembar kertas sertifikat berwarna coklat, berlabelkan tulisan discretionary fund di pojok kanan atas.
Pada pertengahan November 2008, direksi Antaboga mengeluarkan surat edaran tentang waktu jatuh tempo redemption. Direksi Antaboga meminta para nasabah memperpanjang redemption seluruh produk investasi hingga beberapa bulan lagi. Dengan rincian, 10% akan dibayar pada bulan pertama, 40% bulan ketiga, dan sisanya akan dibayarkan enam bulan kemudian.
Pengumuman ini menimbulkan kecurigaan para nasabah bahwa discretionary fund Antaboga tidak beres sehingga redemption besar-besaran pun tak terhindarkan dan akhirnya gagal bayar.
Menurut Indra, meskipun discretionary fund Antaboga tidak mendapat izin dari Bapepam, otoritas pasar modal ini tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Pasalnya, setiap perusahaan efek dan manajer investasi wajib menyampaikan laporan keuangannya kepada Bapepam. “Dalam konteks Antaboga saat ini, Bapepam setidaknya ikut membantu bagaimana caranya mengembalikan dana nasabah,” ujar Indra.
Untuk ke depannya, Bapepam seharusnya mencermati laporan berkala dari setiap manajer investasi. Tidak hanya reksa dana, juga produk KPD yang banyak dijual MI. Pengawasan secara ketat itu sangat penting supaya tidak menimbulkan kasus penggelapan dana nasabah.
Hal serupa juga ditegaskan Ery Yunasri. Menurut dia, Bapepam dapat menjerat Antaboga dengan Undang-Undang (UU) Pasar Modal yang mengatur tentang penggelapan dana nasabah perusahaan efek atau manajer investasi. “Saya dengar, Bapepam sedang melakukan penyidikan secara khusus,” kata dia.
Merugikan Masyarakat
Sementara itu, Ketua Masyarakat Investor Sekuritas Indonesia (Missi) Nyak Dan Murdani mengatakan, kasus Bank Century Tbk dan PT Antaboga Delta Sekuritas merupakan contoh terkini kejahatan para pengelola emiten dan MI atau sekuritas yang merugikan pemegang saham publik. “Sampai sekarang para pemegang saham publik Bank Century tidak jelas nasibnya,” ujarnya.
Padahal, menurut dia, pemegang saham publik harus mendapat prioritas perlindungan dari otoritas pasar modal dan otoritas bursa. Berlarut-larutnya kasus Bank Century dan Antaboga, kata Murdani, harus menjadi pendorong pembentukan lembaga penjamin dana investor (investor protection fund/IPF). “Dalam kasus ini kan investor dirugikan akibat kejahatan pihak-pihak tertentu di pasar modal, bukan akibat naik-turunnya harga saham,” ucapnya.
Murdani mengatakan, Bapepam-LK dan pihak-pihak berwenang lainnya, seperti BI seharusnya bisa segera menyelesaikan kasus Bank Century dan Antaboga.
Dari Surabaya dilaporkan, para nasabah korban penipuan Bank Century terus memperjuangkan hak mereka, yakni menuntut pengembalian dana yang disimpan di bank tersebut. Mereka juga menuntut siapa pun yang bertanggungjawab atas penggelapan dana di Bank Century, apakah pemegang saham atau pejabat terkait, diberi ganjaran setimpal.
Koordinator Nasabah Korban Penipuan Bank Century Cabang Surabaya Edo Abdurahman, dan dua nasabah Bank Century, Doni Sentanu dan Sri Gayatri mengatakan hal itu kepada Investor Daily, Sabtu (12/9).
Menurut Edo, sampai saat ini belum ada satu pun nasabah yang menerima dana pengembalian dari Bank Century. Jumlah nasabah di Surabaya sekitar 500- 600 nasabah dengan total dana sekitar Rp 600-700 miliar.
Edo menyayangkan sikap pemerintah yang lebih mementingkan deposan besar, yang dikabarkan bisa mengambil dana hingga Rp 2 miliar. Sementara dirinya dan kawan-kawan sangat sulit mendapatkan kembali dana yang mereka simpan di Bank Century..
Doni Sentanu, nasabah Bank Century Cabang Kertajaya Surabaya, mengaku bingung harus menuntut kemana atas dana depositonya senilai Rp 100 juta di bank tersebut. Pasalnya, antara Bank Century dan Antaboga justru saling tuding. Padahal, proses pembuatan dan pencetakan bilyet deposito senilai Rp 100 juta di Bank Century tersebut dibuat di bank itu, bukan di Antaboga.
Sementara, Sri Gayatri, akan menggelar aksi demo sampai dananya kembali. Sri menjadi nasabah Bank Century sejak 2004 dengan menyetor dana Rp 2,7 miliar rupiah dalam bentuk deposito dengan bunga 13% per tahun. Namun sejak Mei 2008 hingga kini Bank Century tidak lagi membayar bunga.(jau/az/ls)
14/09/2009 23:55:11 WIB
Oleh Amrozy dan Deviana Chuo
JAKARTA, INVESTOR DAILY
http://www.investorindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=69094&Itemid=
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar