Sabtu, 05 September 2009

Kontroversi Perbankan : Bail Out Bank Century untuk selamatkan Pengusaha Besar ?

02 september 2009
By jakarta45
http://jakarta45.wordpress.com/2009/09/02/perbankan-bail-out-century-untuk-selamatkan-pengusaha-besar/



Pada tulisan yang sebelumnya “ LPS : Lembaga pem-Bailout atau pen-Jamin Simpanan Nasabah Bank ? “ dipertanyakan apakah keputusan kebijakan pemerintah untuk melakukan tindakan pem-bailout- an bank Century itu dipengaruhi oleh pertimbangan adanya kewajibannya bank Century kepada pihak lainnya yang akan tak terbayarkan jika Bank Century dilikuidasi, sehingga dibutuhkan bailout agar terselamatkan dana pihak lainnya itu ?. Lalu dipertanyakan pula, jika iya maka siapakah pihak lainnya itu ?.

Dana yang dipakai membailout adalah dana milik LPS, yang diyakini beberapa pihak sebagai dana public bukan dana privat.

Perdebatan tentang dana LPS adalah dana public atau dana privat dapat dilihat di “Dana di LPS : Uang Publik atau Privat ?“
Lalu di sebuah artikel berjudul “Pengusaha Besar Makin Jumbo, Pengusaha Kecil Makin Imut“ disebutkan kalau siapa saja yang disangkal terkait kasus adalah : Moerdaya Poo, Dana Pensiun Tentara AS, Boedhi Sampoerna, Arifin Panigoro, PT. Jamsostek dan PT. Timah. Bahkan disebutkan juga disitu bahwa setelah dibantu dengan bailout tersebut, dana ke 6 pihak yang disebutkan diatas itu langsung ditarik oleh mereka dari bank Century dan dipindahkan ke bank lain.

Juga disebutkan di artikel itu, bahwa melihat semua itu setelah bank Century dibantu pemerintah dengan dana 6,8 Triliun, meski dengan mekanisme yang salah, agar dana-dana pengusaha besar tersebut bisa terselamatkan, maka, maaf, niat Pemerintah bukan menyehatkan bank tetapi menolong pengusaha besar itu.
Wah, kakap-kakap juga rupanya ya. Tapi, adakah diantara para pembaca yang mengetahui, bener nggak sih kabar itu ?. Ada yang tahu ?.

Artikel ini dapat dibaca di Politikana dan Kompasiana dengan judul ‘Dana Publik LPS untuk selamatkan Pengusaha Besar ?’ .

*****

Pada tulisan sebelumnya berjudul “Apakah Benar Bank Century Merupakan Bank Gagal yang Berpotensi Sistemik ?“, saya mengajak berdiskusi tentang ketepatan alasan penyelamatan Bank Century dan memperkenalkan pendekatan analisis cost, benefit dan risiko yang sistematis dan menyeluruh untuk benar-benar dapat memutuskan apakah Bank Century sebaiknya diselamatkan atau ditutup saja. Keputusan seorang profesional harus selalu bisa dijelaskan dan dipertanggungjawabk an.

Mari kita berpindah pokok bahasan.

Sekarang mari kita beralih ke isu tentang kenapa Bank Century sampai mengalami kondisi parah sampai-sampai harus diselamatkan.
Penyebab utama yang paling jelas adalah adanya tindakan kriminal perampokan Bank Century oleh pemiliknya sendiri yaitu Robert Tantular yang saat ini sedang disidangkan.

Untuk hal ini, ada baiknya kita mengikuti persidangannya. Sebab jika mengingat prestasi pengadilan umum kita selama ini, saya ragu Robert Tantular bisa mendapatkan hukuman yang setimpal.
Dan juga ada hal lain yang harus kita awasi terus, yaitu penyitaan aset Robert Tantular, untuk memastikan bahwa aset-aset tersebut benar-benar kembali ke negara.
Ini PR buat teman-teman Kompasianer.

Dari penyebab utama tersebut lalu muncul lah pertanyaan-pertanya an logis seperti berikut : Kenapa BI bisa tidak tahu ?, Memangnya kasus Bank Century langsung terjadi seperti sekarang tanpa ada tahapan-tahapan eskalasi masalahnya sehingga BI tidak bisa mengetahuinya ? atau pertanyaan yang mungkin lebih sadis lagi adalah : Memangnya kerja BI selama ini bagaimana ya ?.

Dari pendapat-pendapat yang berkembang, ada 2 isu yang menarik untuk diperhatikan tentang penyebab tidak bisa dicegahnya kasus Bank Century .

Apakah Penyebabnya adalah Pengawasan BI yang lemah ?.

Pertama, adalah “lemahnya pengawasan BI”. Pendapat seperti itu, salah satunya disuarakan oleh JK.
Tentu saja maksud dari pendapat tersebut adalah bahwa seharusnya tidak mungkin BI tidak mengetahuinya karena peristiwa tersebut tidak terjadi secara tiba-tiba. Gejalanya pasti sudah ada ketika masalah tersebut secara bertahap membesar menjadi seperti sekarang ini.

Pernyataan tersebut dibantah oleh BI seperti dapat dibaca pada artikel di Kompas bertajuk “Pengawasan Ketat, Manipulasi Tetap Bisa Terjadi” tanggal 31 Agustus 2009.
Memang benar manipulasi selalu bisa terjadi sekalipun ada pengawasan yang ketat.
Mengingat kasus Bank Century tidak terjadi dalam sekejap mata, pertanyaan yang sesungguhnya adalah apakah pengawasan BI juga tidak bisa menangkap gejala yang ada ketika permasalahan tersebut mengalami eskalasi secara bertahap sampai kondisi yang sekarang ini ?.

Pertanyaan itulah yang seharusnya dipertanggungjawabk an secara profesional oleh Direktorat Pengawasan Bank Indonesia. Dan pertanyaan itu seharusnya disikapi dengan root cause analysis untuk melakukan, jika perlu, re-engineering filosofi, paradigma, strategi, pendekatan, sistem dan mekanisme proses kerja pengawasan perbankan yang dilakukan oleh BI.

Kesadaran terhadap kebutuhan root-cause analysis untuk penyempurnaan ini seharusnya ada dibenak pejabat BI yang lebih tinggi sehingga usaha penyempurnaan yang efektif memang dapat menghasilkan penyempurnaan yang nyata dan tidak hanya sekedar diatas kertas saja.
Kita tidak bisa berlindung pada sistem dan prosedur jika ternyata kita ‘kecolongan’. Ada yang salah pada sistem dan prosedur pengawasan sehingga kita tidak bisa menemukan atau sistem dan prosedur pengawasan sudah baik tetapi tidak tindak lanjut yang efektif dan segera terhadap hal-hal yang ditemukan.

Tidak ada gunanya memberikan status comply sementara substansi permasalahan yang sesungguhnya tidak terungkap karena tidak diamati dan diteliti dengan memadai.
Sudah bosan rasanya mendengar ’sudah comply’ tetapi tetap ada banyak masalah dan status tersebut tidak bisa mendorong pertumbuhan yang sesungguhnya. Beginilah nasib negara ini yang selalu terpaku pada compliance yang normatif. Hasil nyatanya hanyalah kesusahan pada rakyat saja.

Ketidakefektifan pengawasan tersebut menimbulkan pertanyaan selanjutnya yaitu : Jangan-jangan tidak ada mekanisme peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan BI tersebut ?. Atau, mungkin sudah ada, tetapi mekanisme peer review tersebut tidak efektif.
Peer review dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang independen. BI harus mengevaluasi pihak ketiga yang melaksanakan peer review terhadap sistem dan mekanisme pengawasan yang dimilikinya jika terbukti sistem dan mekanisme pengawasan yang dimiliki ternyata tidak efektif.

Diluar aspek efektifitasnya, BPK di peer review oleh ‘BPK’ dari negara lain yang tergabung didalam asosiasi ‘BPK’ dunia bernama INTOSAI seperti dipostingkan salah satu pembacanya di detik dengan tajuk “Penyerahan Hasil Peer Review BPK RI” di Detik tanggal 20 Agustus 2009.

BI bukannya tidak tahu gejalanya, hanya saja tidak tepat menyikapinya ?.
Jika ternyata sistem dan proses kerja pengawasan yang dilaksanakan memang sudah berhasil menemukan gejala-gejala masalah yang terjadi pada Bank Century maka pertanyaan berikutnya adalah : Kenapa BI tidak menyikapinya dengan suatu keputusan yang bersifat mencegah permasalahan menjadi berkembang luas ?

Pada tulisan Kompas bertajuk “Bank Nakal Jangan Dibantu” 2 September 2009, Drajat mengatakan bahwa “Kesalahan BI bukanlah terletak pada lemahnya pengawasan, tetapi lebih pada tiadanya keberanian untuk menghukum atau mengambil tindakan tegas.”
Mengenai adanya eskalasi masalah Bank Century kita bisa mengikuti pendapat Drajat Wibowo : ”Ada tiga kesempatan di mana seharusnya bank tersebut ditutup, tetapi BI tak melakukannya,”
Berikut kutipan penjelasan mengenai contoh tidak tepatnya sikap yang diambil oleh BI :
Menurut Dradjad, BI pada tahun 2003 telah mengetahui ketidakberesan Bank CIC (yang lalu bersama Bank Danpac dan Bank Pikko merger menjadi Bank Century tahun 2004) dengan indikasi adanya SSB (surat-surat berharga) valas sekitar Rp 2 triliun yang tidak memiliki peringkat, berjangka panjang, berbunga rendah, dan sulit dijual.

SSB valas yang berpotensi bodong sebenarnya tidak boleh dibeli bank. Keberadaan SSB valas tersebut hanya untuk menyelamatkan neraca bank, yang sejatinya sudah kolaps.
Ada indikasi penipuan yang dilakukan pemegang saham. Namun, saat itu BI tidak tegas untuk tidak mengakui SSB valas tersebut. Sebagai solusi, BI malah menyarankan merger.
Pasca merger, ternyata SSB valas itu masih bercokol di neraca Bank Century. Instruksi BI agar SSB valas itu dijual ternyata tak bisa dilakukan pemegang saham. ”Saat itu BI sebetulnya kembali punya kesempatan untuk menutup Century, tetapi itu tak juga dilakukan,” katanya.

Solusi permasalahan saat itu adalah pembuatan asset management agreement di mana pemegang saham menjamin SSB valas tersebut dengan deposito di Bank Dresdner, Swiss, yang belakangan ternyata sulit ditagih.
Saat Bank Century akhirnya benar-benar kolaps akibat kekurangan likuiditas dan pemburukan aset tahun 2008, ternyata BI kembali menyelamatkannya dengan alasan sistemik.

Jadi menurut saya, masalah sesungguhnya adalah pada pengambilan keputusan.
Tentu saja pengambilan keputusan yang efektif itu haruslah CEPAT dan sekaligus TEPAT karena menggunakan metode dan pendekatan (baca: analisis cost, benefit dan risiko) yang dapat dipertanggungjawab kan.

Baca juga tulisan saya sebelumnya “Apakah Benar Bank Century Merupakan Bank Gagal yang Berpotensi Sistemik ?” yang menyinggung masalah pengambilan keputusan juga.
Bagaimanapun karakteristik kepribadian dan perilaku seseorang tidak boleh mengorbankan persaratan pengambilan keputusan yang efektif. Seseorang harus bisa merubah kualifikasi dirinya untuk menjadi seorang pengambil keputusan yang efektif jika dia menjadi seorang pemimpin, apapun tingkat kepemimpinannya.
Game utama seorang pemimpin adalah pengambilan keputusan yang efektif. Semakin tinggi tingkatan kepemimpinannya maka semakin kompleks dan kebutuhan keputusan yang segera dan tepat menjadi kata kuncinya.

Kesimpulan :

Saya secara pribadi sangat berharap bahwa pada akhirnya dapat diketahui situasi yang sesungguhnya, yaitu apakah sistem dan proses kerja pengawasan yang memang lemah atau pengambilan keputusan yang tidak tepat dan segera. Hal itu penting agar dapat dilakukan pembenahan yang tepat.

Pengawasan yang efektif akan mampu mendeteksi permasalahan lebih dini. Sikap yang tepat terhadap hasil pengawasan membutuhkan kemampuan pengambilan keputusan yang tepat dan segera sesuai dengan tingkat urgensinya.

Melaksanakan pengawasan hanya bertumpu pada compliance yang normatif cenderung tidak akan menemukan masalah-masalah substasial yang sebenarnya terjadi. Dibutuhkan kemampuan analisa yang luas dan mendalam, lebih dari sekedar pengumpulan data dan kelengkapan pengisian form compliance checking.

Kegagalan menemukan gejala sesuatu permasalahan yang sesungguhnya sedang terjadi juga mengindikasikan tidak efektifnya sistem dan proses kerja pengawasan yang dimiliki.

Setiap kegagalan yang dialami suatu sistem dan proses kerja sudah seharusnya memicu penyempurnaannya yang pelaksanaannya juga harus bisa menghasilkan perubahan substansial yang nyata, bukan hanya terpaku pada produk dokumentasi.

Artikel ini dapat dibaca di :
Apakah BI Penyebab Terjadinya Masalah Bank Century ?
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/02/apakah- bi-penyebab- terjadinya- masalah-bank- century/


*****

Adakah kewajiban kepada pihak lain yg akan tak terbayar jika dilikuidasi sehingga Century harus dibailout ?. Siapakah pihak lain itu ?.


Apa beda Bank Century yang di-Bailout dengan Bank IFI yang di-Likuidasi ?.
Antara Bailout dengan Likuidasi, apa bedanya berkaitan dengan kewajibannya LPS ?,
apa bedanya berkaitan dengan dana para deposan nasabahnya ?,
apa bedanya berkaitan dengan pihak ketiga lainnya ?.

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanya an itu ada baiknya diilustrasikan dahulu antara Bailout dengan Likuidasi.

Dalam tindakan likuidasi, bank ditutup dan dibekukan operasinya. LPS sebagai Lembaga Penjamin Simpanan para nasabah (sebagai akibat menerima premi dari nasabah) tentu menjamin uang nasabah tersebut. Namun tentu sesuai dengan kriteria syarat-syarat penjaminannya.

Kriterianya, diantaranya adalah jumlah maksimal uang deposan per orang nasabahnya, dan bunga maksimal yang masih berada di ambang penjaminannya. Dalam arti kata, deposito yang diberikan bunga melebihi ketentuan penjaminan LPS tentunya tidak termasuk yang dijamin pengembaliannya.

Namun, dalam likuidasi ini, kerugian dan kewajiban bank yang lainnya, yang berada diluar uang nasabah serta hutang-piutang dari bank yang dilikuidasi itu bukan merupakan kewajibannya LPS. Kewajiban itu akan dibayarkan dari hasil likuidasi asset dan kekayaan bank yang dilikuidasi tersebut.

Sebagai missal, sebelum dilikuidasi, direksi bank menjahitkan baju jas, ongkos jahitnya belum dibayar. Maka hutang ongkos jahit ini akan dibayar setelah lelang assetnya. Kalau ternyata dari lelang asset tidak mencukupi untuk membayar hutang ongkos jahit ini, maka ya tidak dibayar.

Nah, dalam tindakan Bailout, LPS mempunyai kewajiban membayar semuanya. Dalam arti kata, semua menjadi kewajibannya LPS, mulai dari kewajiban kepada nasabah deposan seperti pada kasus likuidasi sampai kepada membayar hutang ongkos jahit baju jas. Semuanya tanpa kecuali.

Namanya juga Bailout, jadi singkatnya LPS pasang badan sepenuhnya, menggantikan peran dan tanggung jawab sebagaimana pemilik dari bank yang di Bailout tersebut.
Kalau bank yang di Bailout itu kurang modal, maka LPS berkewajiban menambahi modal sehingga memenuhi batas minimum kecukupan modalnya. Kalau bank mempunyai kewajiban hutang kepada pihak lainnya, maka LPS berkewajiban menyediakan dana untuk membayar hutangnya itu. Kalau bank itu rugi maka LPS mempunyai kewajiban menomboki kerugiannya itu. Singkat kata, semuanya merupakan kewajibannya LPS sampai bank tersebut menjadi sehat kembali seperti sediakala, bahkan mungkin lebih sehat dari semula.

Oleh sebab itu, bagi nasabah deposan yang memenuhi criteria penjaminan LPS, akan sama saja, apakah bank itu dilikuidasi atau dibailout. Yang tidak sama adalah yang bagi nasabah deposan yang tidak memenuhi kriteria penjaminan LPS, dan bagi pihak ketiga lainnya seperti tukang jahit jas yang belum dibayar ongkos jahitnya.
Jadi, dalam kasus Bank Century yang dibailout dengan Bank IFI yang dilikuidasi, ilustrasinya bedanya bagi si tukang jahit jas yang belum dibayar ongkos jahitnya, kalau di bank Century maka ongkosnya pasti akan terbayar karena dibayari oleh uangnya LPS, sedangkan kalau di bank IFI masih belum pasti akan terbayar atau tidak karena menunggu apakah likuidasi asetnya masih bisa menyisakan dana untuk membayarnya atau tidak.

Maka, pertanyaan nakalnya, apakah ada tukang jahit jas yang belum terbayar ongkos jahitnya sehingga diperlukan bailout untuk Bank Century ?, sedangkan disatu sisi lainnya, tidak ada tukang jahit jas yang belum terbayar ongkos jahitnya sehingga Bank IFI cukup dilikuidasi saja ?.

Dalam bahasa kasarnya, adakah perbedaan perlakuan Century dengan IFI ini dipengaruhi pertimbangan adanya kewajibannya bank Century kepada pihak lainnya yang akan tak terbayarkan jika Bank Century dilikuidasi, sehingga dibutuhkan bailout agar terselamatkan dana pihak lainnya itu ?. Siapakah pihak lainnya itu ?.

Wallahualambishshawab.

Artikel ini dapat dibaca di Politikana dan Kompasiana dengan judul ‘LPS : Lembaga pem-Bailout atau pen-Jamin Simpanan Nasabah Bank ?’ .
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/02/lps- lembaga-pem- bailout-atau- pen-jamin- simpanan- nasabah-bank/
http://politikana. com/baca/ 2009/09/02/ lps-lembaga- pem-bailout- atau-pen- jamin-simpanan- nasabah-bank. html


*****

Berkali-kali Menkeu Nyonya Sri Mulyani menyatakan bahwa alasan menyelamatkan Bank Century karena bank ini ‘berpotensi sistemik’ dalam merusak sistem perbankan nasional. Karena ada ‘resiko sistemik’ maka Negara –dalam hal ini LPS– bertanggung jawab untuk menyuntikkan dana 6,7 triliun rupiah ke bank tersebut.

Sebuah argumen yang masih layak diperdebatkan, apakah sistemik yang dimaksud ?. Benarkah hipotesis bahwa kalau Bank Century tidak diselamatkan –alias langsung ditutup saja– akan ada potensi kerusakan sistemik ?.

Ataukah itu hanya imajinasi paranoid dari para bankir sayap kanan –ideologi yang sama yang meruntuhkan perbankan pada 1998 dan Amerika pada dekade ini ?.
Menkeu juga berkali-kali menyatakan bahwa kebijakan itu sah. Bahwa kebijakan ini telah melalui prosedur formal yang benar, sesuatu yang kemudian terbantahkan sebagian oleh kenyataan bahwa Perpu JPS telah ditolak DPR; dan bukti bahwa keputusan itu tanpa ijin/persetujuanlebih dahulu dari pemegang mandat politik, yaitu Tuan Presiden / Wapres. Khusus Tuan Presiden, sampai hari ini tidak ada konfirmasi apakah SBY menyetujui hal ini pada pertemuan tanggal 13 November 2008.

Beberapa pengamat –diantaranya Tuan Antonius Tony Prasetyantono, Chief Economist BNI dan dosen FE-UGM– menyatakan bahwa tidak ada potensi kerugian dalam kasus ini.
Seperti juga Kepala LPS, Tuan Firdaus Djaelani, mereka menyatakan bahwa kerugian negara dalam kasus Bank Century adalah hipotetis karena bisa dijual dengan harga lebih mahal daripada dana suntikannya, sebuah mitos yang sejak BLBI pertama tidak pernah terbukti. Mungkin Tuan dan Nyonya sekalian masih ingat, recovery rate eks BPPN hanyalah sebesar 28%.
Saya kira kita perlu mengujinya satu per satu beberapa argumen yang ditawarkan pada publik belakangan ini.

Pertama, sistemik. Sampai hari ini BI dan Menkeu sebagai KKSK tidak pernah menjelaskan dengan gamblang apa itu resiko sistemik dan bagaimana itu bisa terjadi.

Yang parah bahwa penjelasan sistemik itu barangkali tidak sampai di telinga Tuan Presiden dan Tuan Wapres sampai konfirmasi terakhir tanggal 25 November 2008 saat Nyonya Sri Mulyani melapor pada Tuan Wapres, 2 hari setelah pengucuran pertama sebesar 2,7 triliun pada tanggal 23 Nov.

Sistemik telah berubah menjadi loncatan logika yang ngawur. Sebuah problem di sebuah bank kecil yang diawali oleh kesalahan kriminal para bankirnya dipetakan sebagai punya potensi pengaruh pada keseluruhan sistem perbankan nasional.
Imajinasi yang dibangun bahwa bila dibiarkan atau ditutup maka hal ini akan menciptakan rush pada perbankan nasional perlu diuji : apakah benar ?.

Adakah penjelasan teknis mengenai hal ini ?. Ataukah jangan-jangan ada deposan besar tertentu yang perlu dilindungi atau ditalangi oleh LPS ?.
Bagaimana saling terkait dengan bank atau institusi lain sehingga berpotensi sistemik ?.


Berbagai gosip di dunia bawah tanah perbankan menduga bahwa ada deposan besar yang tersangkut uangnya dan harus ditalangi; mengganggu dan menuntut penjelasan apa yang dimaksud sistemik tersebut.

Yang menyakitkan adanya pikiran bahwa karena kesalahan kriminal di sebuah bank –ingat kasus Bank Century diawali oleh tindak penerbitan reksadana bodong dan eksposure kredit yang nakal– dapat ‘dibantu negara’ ketika ia bersifat sistemik. Apa ini ?.

Seperti berpesan : jadilah penjahat yang punya pengaruh sistemik, pastilah dibantu negara.

Para pengamat dan juga Nyonya Menkeu selalu bilang bahwa uang talangan bukanlah uang negara. Apa benar ?.

Setoran awal LPS senilai 4 T merupakan uang negara. Premi dari peserta penjaminan LPS pada akhirnya sebenarnya adalah uang rakyat.

Ketika premi dihabiskan –atau menjadi mahal karena resiko sistemik yang diciptakan para bankir nakal– maka bebannya ditaruh pada pundak para deposan dan kreditur.
SBI 6,5% tapi KPR 15%, selisih yang besar karena ada resiko pada sistem, harus ditanggung dengan membebankan premi pada ‘biaya’. Dan jatuhlah pada tanggungan Anda, Tuan dan Nyonya para nasabah bank kita tercinta.

Kedua, soal sah. Menkeu selalu berlindung pada argumen bahwa kebijakan ini diambil secara sah. Nyonya Menkeu lupa bahwa dalam azas kebijakan publik, sah saja tidak pernah cukup. Ada azas lain yang lebih penting, yaitu adil.
Semua kebijakan Pak Harto juga sah; bahkan praktis semua kasus korupsi modern juga sah karena secara administratif telah memenuhi syarat formal.
Korupsi modern diatur dalam ruang aturan legal yang ketat, melalui proses tender, ditetapkan melalui aturan formal dan sah. Memang sah tapi kok tidak adil ya ?. Kesalahan kriminal segelintir orang kok ditanggung oleh kita bersama ?.

Ketiga, potensi kerugian. Beberapa pengamat –seperti Tuan Toni– bilang bahwa tidak ada kerugian negara dalam kasus Bank Century. Apakah benar ?.

Bahkan bila Tuan Toni memperhitungkan PV (present value) dari suntikan dana ini pada 3 tahun mendatang; apakah tidak ada potensi kerugian ?.
Benarkah kita bisa menjamin bahwa pada 3 tahun mendatang nilai penjualan Bank Century lebih besar dari 6,7 triliun ?.

Siapakah yang mau membeli dengan nilai lebih dari 6,7 triliun ketika aset dan resiko manajemennya jauh lebih rendah dari angka itu ?.

Apalagi mengingat pengalaman 1998 ketika recovery rate aset eks bank hanyalah 28% ?.
Yang lebih tidak masuk akal adalah wacana yang dilontarkan pengamat –misalnya Tuan Toni– ini dinyatakan sebelum audit (BPK) dilakukan.
Tidak ada laporan faktual yang kredibel yang menjelaskan posisi aset sebenarnya Bank Century, berapa kewajibannya, berapa Dana Pihak Ketiganya serta berapa aset bersih wajarnya ?.

Baiklah barangkali Tuan-tuan di DPR yang membongkar kasus ini punya pretensi dengan bayangan kerugian besar tapi menyatakan bahwa Century tidak berpotensi kerugian merupakan imajinasi sesat.

Keempat, yang paling mengkhawatirkan adalah kenyataan bahwa beberapa pihak yang terlibat merupakan jantung dari kabinet SBY, sekarang dan kabinet mendatang.
BI bersalah karena gagal melakukan pengawasan yang baik; pimpinannya waktu itu adalah Tuan Boediono yang sekarang jadi Wapres terpilih.

Tuan Boediono bahkan ditunjuk Jenderal SBY untuk memimpin penyusunan program kerja 100 harinya. Pihak lain yang terlibat adalah Nyonya Sri Mulyani, Menkeu sekarang dan dipastikan salah satu jantung mesin ekonomi SBY di kabinet mendatang.
Luar biasa. Dengan orang-orang yang sama, cara berpikir yang sama serta cara mengelola kebijakan publik yang sama; menurut sayamengkhawatirkan untuk membayangkan bagaimana mesin kabinet SBY mengolah kebijakan publik di masa depan.
Dengan kasus yang identik di masa depan ataukah kasus lain, sulit mengharapkan adanya keluaran kebijakan berbeda pada periode mendatang.

Orang yang sama, cara berpikir yang sama dan cara mengelola kebijakan publik yang sama merupakan resiko yang melekat pada kabinet SBY mendatang.
Dan kasus Bank Century membuat gamblang bagaimana resiko sistemik yang melekat pada kabinet mendatang.

Resiko sistemik, resiko yang melekat pada sistem kerja sebuah organisasi.
Cilaka dua belas, Tuan dan Nyonya.

Artikel ini dapat dibaca di :
Bank Century: Risiko Sistemik Kabinet SBY
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/bank- century-resiko- sistemik- kabinet-sby/


*****


Saat menjabat sebagai Gubernur Bank Indonesia, Boediono dinilai tidak berani melaporkan pemilik Bank Century, Robert Tantular, kepada polisi untuk segera ditangkap.


Karena ketidakberanian Boediono yang kini menjadi wakil presiden terpilih mendampingi Susilo Bambang Yudhoyono, dirinya lantas mengambil inisiatif menginstruksikan langsung kepada Kapolri untuk menangkap Robert sebelum yang bersangkutan melarikan diri. “Saya minta kepada Kapolri untuk segera bertindak. Hari itu juga, dalam waktu tiga jam, Robert Tantular akhirnya ditahan polisi. Kasus Bank Century adalah kasus kriminal,” ujar JK (kompas online).
Membaca kutipan kompas online, kembali JK memunculkan klaim keberanian dan kecepatan bertindak untuk menanggulangi masalah bank century.

Berita menjadi istimewa ketika khas karakter JK muncul, yaitu tanpa tedeng aling-aling menyebutkan gubernur BI, yang saat itu dijabat boediono, tidak berani mengungkap dan melaporkan kasus ini pada polisi.
Akhirnya inisiatif yang juga khas JK dalam pemerintahan SBY JK menjadi solusi penangkapan.

Kebisaan bicara tanpa sensor dan selalu mengambil inisiatif justeru dianggap sebagai wapres yang kurang sopan dan dianggap selalu mencari muka. Kedua hal ini kurang disenangi penguasa, terlihat dari ungkapan ungkapan ketika kampanye.
Mungkin kita akan kehilangan inisiatif-inisiatif seperti ini, terlebih ada perpindahan kantor wapres ke istana.

Akan menjadikan kekuatan yang solid satu pintu, dalam kacamata politik mungkin itu baik agar kebijakan negara menjadi konvergen dalam mensukseskan program besarnya. Tetapi jika berjalannya program menjadi lambat dan kurang berani arah konvergen ini justeru merugikan rakyat karena telat merespon dan bertindak akan selalu terjadi.
2010 adalah tahun tantangan tersendiri untuk Indonesia memasuki AFTA, AFTA dibentuk pada waktu Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN ke IV di Singapura tahun 1992.

Awalnya AFTA ditargetkan ASEAN FreeTrade Area (AFTA) merupakan wujud dari kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN. Indonesia membutuhkan ekstra keberanian dan kesiapan yang matang termasuk memberantas korupsi sebagai terroris pengacau stabilitas bangsa ini. Juga sikap negara-negera yang merendahkan bangsa ini butuh pengikapan yang berani dan cepat secepat penanganan Manohara.

Mungkinkan budiono akan mengikuti langkah JK yang cukup berani dan banyak berinisiatif dalam menangani berbagai permasalahan ?. Atau memang tidak disiapkan untuk itu ?.

Artikel ini dapat dibaca di :
JK Belum Tamat
http://public. kompasiana. com/2009/ 09/01/jk- belum-tamat/


*****

Ribut-ribut soal kebijakan pemerintah yang memutuskan Bakn Century untuk di-Bailout bukan di-Likuidasi semakin seru saja. Biasa, setiap permasalahan yang menimbulkan polemik, tentu ada pihak yang pro dan ada juga pihak yang kontra.

Masing-masing pihak, yang pro maupun yang kontra, berpegang kepada argumen dan dalihnya masing-masing. Tentunya, berpegang juga kepada kepentingannya masing-masing. Juga berpegang kepada nilai-nilai idealismenya.
Namun, bisa jadi juga, tak tertutup kemungkinan, ada pihak yang sangat mendukung tindakan bailout terhadap Century ini, karena kepentingannya (paling tidak kepentingan pihak yang terafiliasi dengan dirinya) yang akan membuat kepentingannya menjadi tak akan terlindungi jika Bank Century tidak dibailout, alias akan terugikan jika bank Century dilikuidasi.

Sebenarnya, soal Bailout dan Likuidasi ini, pada kurun waktu yang sama, ada dua bank yang mengalami masalah dengan perlakuan yang berbeda. Bank IFI sebagaimana kita ketahui, di-Likuidasi. Sedangkan bank Century, di-Bailout.
Soal resiko sistemik, ternyata likuidasi bank IFI tak menimbulkan dampak kepanikan di masyarakat luas, sebagaimana yang dikhawatirkan dalam alasan dan pertimbangan resiko sistemik dalam kasus bailout bank Century.

Wajar saja, karena pada zaman kasus BLBI di masa lampau juga begitu keadaannya. Hanya kemudian, saat sekarang, kasus BLBI pada masa lampau itu telah membuat sengsara semua pihak, baik yang dulu pro maupun yang dulu kontra. Bahkan mereka yang dulu abstain atau egp alias cuek tak perduli pun, walau kasat mata seperti tak langsung akibatnya, namun hakikatnya sesungguhnya secara langsung ikut pula merasakan sengsaranya akibat kasus BLBI itu.

Ditengah polemik soal bank Century itu, ada menyempil, suatu perdebatan kecil yang menarik, yaitu soal milik siapa dana LPS itu. Apakah dana LPS itu merupakan dana masyarakat (dana publik atau uang milik rakyat) atau bukan ?.
Ada yang berpendapat uang yang ada di LPS itu bukan milik masyarakat, atau bukan dana masyarakat, sehingga tak bisa digolongkan sebagai dana publik. Sehingga masyarakat atau rakyat, tidak punya hak untuk mempertanyakan atau ikut mengetahui penggunaannya.

Istilah kasarnya, walau dana itu awal muasalnya berasal dari premi yang dikutip dari masyarakat sebagai nasabah bank (sebagai catatan tambahan, dana awal yang merupakan setoran awal modal LPS berasal dari uang Negara) namun karena itu dianggap sebagai ongkos atau biaya, maka dana itu tak lagi dapat digolongkan sebagai dana masyarakat.
Ibarat sebuah bank mengutip uang administrasi, maka uang hasil kutipan itu tentu bukan lagi uang milik masyarakat, tapi uang milik privat, milik bank tersebut. Mungkin juga diilustrasikan sebagai kita makan di warteg, tentu kita membayar setelah setelah selesai makan, maka uang itu bukan lagi milik kita, tapi sudah menjadi miliknya yang punya warteg.
Mungkin, maksudnya, dengan mengilustrasikan demikian itu, akan membuat masyarakat tercerahkan dan masyarakat tak lagi ribut, mau diapakan uang LPS itu ya terserah LPS saja.

Terasa logis dan masuk akal, apa yang diutarakan dalam ilustrasi tersebut diatas. Namun, analoginya kok terasa kurang pas dan kurang cocok.
Mungkin lebih cocok jika diibaratkan dana yang ada di LPS itu menyerupai dana miliknya Jamsostek yang berasal dari kutipan para buruh dan karyawan serta tenaga kerja lainnya.
Bahkan, bisa juga jika diibaratkan dana itu mirip dana APBN yang sebagian merupakan hasil kutipan dari pajak masyarakat.

Hakikatnya, tetap saja dana itu milik masyarakat yang pengunaannya haruslah transparan dan diketahui oleh public sebagai stake holdernya.
Apalagi, perlu diingat bahwa LPS itu adalah lembaga publik, bukan lembaga privat yang murni swasta. Tentunya, berbeda dengan lembaga swasta, bank BCA salah satu misalnya. Ini tentu berimplikasi kepada norma-norma dan aturan-aturan tertentu dalam penggunaan dananya.

Jadi, menurut anda, haruskah LPS diperlakukan seperti lembaga swasta murni yang boleh memperlakukan dana miliknya sekehendak hatinya tanpa publik (baca : masyarakat) berhak ikut campur dalam penggunaannya, atau LPS adalah lembaga publik dimana dana miliknya dianggap selayaknya dana milik masyarakat sehingga publik berhak mengetahui dan ikut campur dalam penggunaannya ?.
Ada yang mau urun rembug dan menyampaikan pendapat lainnya ?.
*
Artikel ini dapat dibaca di Politikana dan Kompasiana dengan judul ‘Dana di LPS : uang Publik atau Privat ?’ .

*****

Adakah kewajiban kepada pihak lain yg akan tak terbayar jika dilikuidasi sehingga Century harus dibailout ?. Siapakah pihak lain itu ?.


Apa beda Bank Century yang di-Bailout dengan Bank IFI yang di-Likuidasi ?.
Antara Bailout dengan Likuidasi, apa bedanya berkaitan dengan kewajibannya LPS ?, apa bedanya berkaitan dengan dana para deposan nasabahnya ?, apa bedanya berkaitan dengan pihak ketiga lainnya ?.
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanya an itu ada baiknya diilustrasikan dahulu antara Bailout dengan Likuidasi.

Dalam tindakan likuidasi, bank ditutup dan dibekukan operasinya. LPS sebagai Lembaga Penjamin Simpanan para nasabah (sebagai akibat menerima premi dari nasabah) tentu menjamin uang nasabah tersebut. Namun tentu sesuai dengan kriteria syarat-syarat penjaminannya.

Kriterianya, diantaranya adalah jumlah maksimal uang deposan per orang nasabahnya, dan bunga maksimal yang masih berada di ambang penjaminannya. Dalam arti kata, deposito yang diberikan bunga melebihi ketentuan penjaminan LPS tentunya tidak termasuk yang dijamin pengembaliannya.

Namun, dalam likuidasi ini, kerugian dan kewajiban bank yang lainnya, yang berada diluar uang nasabah serta hutang-piutang dari bank yang dilikuidasi itu bukan merupakan kewajibannya LPS. Kewajiban itu akan dibayarkan dari hasil likuidasi asset dan kekayaan bank yang dilikuidasi tersebut.
Sebagai missal, sebelum dilikuidasi, direksi bank menjahitkan baju jas, ongkos jahitnya belum dibayar. Maka hutang ongkos jahit ini akan dibayar setelah lelang assetnya. Kalau ternyata dari lelang asset tidak mencukupi untuk membayar hutang ongkos jahit ini, maka ya tidak dibayar.

Nah, dalam tindakan Bailout, LPS mempunyai kewajiban membayar semuanya. Dalam arti kata, semua menjadi kewajibannya LPS, mulai dari kewajiban kepada nasabah deposan seperti pada kasus likuidasi sampai kepada membayar hutang ongkos jahit baju jas. Semuanya tanpa kecuali.

Namanya juga Bailout, jadi singkatnya LPS pasang badan sepenuhnya, menggantikan peran dan tanggung jawab sebagaimana pemilik dari bank yang di Bailout tersebut.
Kalau bank yang di Bailout itu kurang modal, maka LPS berkewajiban menambahi modal sehingga memenuhi batas minimum kecukupan modalnya. Kalau bank mempunyai kewajiban hutang kepada pihak lainnya, maka LPS berkewajiban menyediakan dana untuk membayar hutangnya itu. Kalau bank itu rugi maka LPS mempunyai kewajiban menomboki kerugiannya itu. Singkat kata, semuanya merupakan kewajibannya LPS sampai bank tersebut menjadi sehat kembali seperti sediakala, bahkan mungkin lebih sehat dari semula.

Oleh sebab itu, bagi nasabah deposan yang memenuhi criteria penjaminan LPS, akan sama saja, apakah bank itu dilikuidasi atau dibailout. Yang tidak sama adalah yang bagi nasabah deposan yang tidak memenuhi kriteria penjaminan LPS, dan bagi pihak ketiga lainnya seperti tukang jahit jas yang belum dibayar ongkos jahitnya.
Jadi, dalam kasus Bank Century yang dibailout dengan Bank IFI yang dilikuidasi, ilustrasinya bedanya bagi si tukang jahit jas yang belum dibayar ongkos jahitnya, kalau di bank Century maka ongkosnya pasti akan terbayar karena dibayari oleh uangnya LPS, sedangkan kalau di bank IFI masih belum pasti akan terbayar atau tidak karena menunggu apakah likuidasi asetnya masih bisa menyisakan dana untuk membayarnya atau tidak.

Maka, pertanyaan nakalnya, apakah ada tukang jahit jas yang belum terbayar ongkos jahitnya sehingga diperlukan bailout untuk Bank Century ?, sedangkan disatu sisi lainnya, tidak ada tukang jahit jas yang belum terbayar ongkos jahitnya sehingga Bank IFI cukup dilikuidasi saja ?.
Dalam bahasa kasarnya, adakah perbedaan perlakuan Century dengan IFI ini dipengaruhi pertimbangan adanya kewajibannya bank Century kepada pihak lainnya yang akan tak terbayarkan jika Bank Century dilikuidasi, sehingga dibutuhkan bailout agar terselamatkan dana pihak lainnya itu ?. Siapakah pihak lainnya itu ?.
Wallahualambishshaw ab.

Artikel ini dapat dibaca di Politikana dan Kompasiana dengan judul ‘LPS : Lembaga pem-Bailout atau pen-Jamin Simpanan Nasabah Bank ?’ .
________________________________________

Tidak ada komentar: