Kamis, 18 Februari 2010

Kluster Industri dan Keterbatasan Infrastruktur


Salah satu fokus program Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) jilid II adalah membangun infrastruktur. Bahkan, infrastruktur dijadikan bagian program 100 hari. Kondisi infrastruktur negeri ini memang memprihatinkan.


Masyarakat internasional menggolongkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan infrastruktur terburuk. Dari 12 negara yang diteliti (Asian Development Bank/ADB, 2003), Indonesia menempati peringkat terbawah, kalah jauh dari India dan Vietnam, dan bagaikan langit dan bumi bila dibandingkan dengan Singapura yang ada di level pertama.Berbagai elemen infrastruktur keras fisik, seperti jalan raya, pelabuhan, irigasi dan jaringan kereta api serba terbatas.

Kualitasnya terus memburuk akibat anggaran pemeliharaan terbatas. Di negara mana pun, pembangunan infrastruktur jadi tanggung jawab pemerintah. Besarkecilnya anggaran infrastruktur akan menunjukkan sejauh mana pemerintah peduli pada pembangunan infrastruktur. Celakanya, alokasi anggaran pembangunan infrastruktur negeri ini jauh dari memadai.

Sebelum krisis 1997, rasio total investasi infrastruktur terhadap GDP mencapai lima hingga enam persen per tahun. Setelah krisis, rasio ini terus menurun: mencapai tiga persen pada 2004 dan terus menyusut. Rendahnya investasi infrastruktur kian terasa kalau diingat dari total belanja hanya 16 persen dialokasikan untuk investasi infrastruktur baru, sisanya 84 persen habis untuk pemeliharaan dan perawatan (Basri, 2009).

Tak heran kualitas infrastruktur terus memburuk. Infrastruktur, baik yang keras fisik (jalan, pelabuhan, irigasi), keras nonfisik (telepon, internet, listrik, air) maupun yang lunak (etos kerja, norma hukum), memainkan peran vital karena ketiganya merupakan instrumen penggerak mesin ekonomi. Infrastruktur merupakan penentu kelancaran dan akselerasi pembangunan.

Ketersediaan infrastruktur merangsang pembangunan di suatu wilayah atau negara.Bagi investor, baik-buruknya infrastruktur menjadi salah satu pertimbangan dalam berinvestasi. Infrastruktur berhubungan dengan tiga hal (Hartanto, 2004). Pertama, dukungan dasar bagi pengembangan pabrik/ industri,misalnya listrik,jalan dan jaringan telekomunikasi. Kedua, biaya produksi dan distribusi,baik bahan baku maupun produk jadi. Ketiga, keterkaitan dengan pasar dan proses pemasaran barang.

Di tengah keterbatasan anggaran, bagaimana menyiasati pembangunan infrastruktur agar industrialisasi tetap berjalan? Salah satu cara yang bisa ditempuh ialah mengembangkan industri dalam kawasan khusus atau kluster (cluster). Dengan cara ini pembangunan infrastruktur terasa lebih ringan karena lebih terfokus dan diarahkan pada kawasan terpilih.

Oleh karena itu, merupakan cara yang tepat apabila KIB jilid II mendorong kluster-kluster industri di sejumlah daerah, seperti Kaltim, Sumatera Utara dan Riau yang ditetapkan jadi kluster industri berbasis pertanian (oleochemical). Kaltim juga terpilih jadi kluster industri berbasis gas dan kondesat bersama dengan Jawa Timur (Seputar Indonesia, 8/1). Pemerintah juga menetapkan lima kluster industri sawit terpadu di Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Papua. Kluster berarti kelompok.

Namun tidak semua kelompok industri bisa disebut kluster. Ciri utama kluster adalah sectoral and spatial concentrations of firms (Schmitz and Nadvi, 1999). Kluster industri berarti pengelompokkan di sebuah wilayah atau kawasan tertentu dari berbagai perusahaan dalam sektor yang sama. Tidak ada batasan pasti mengenai kedekatan geografis sebuah kluster. Kluster bisa berupa kawasan tertentu, kota sampai wilayah yang lebih luas.

Kriteria geografisnya terletak pada apakah efisiensi ekonomis atas jarak itu ada dan mewujud dalam berbagai aktivitas bisnis yang menguntungkan ataukah tidak. Jadi, pemetaan kluster bukan semata-mata mengelompokkan sektor industri tertentu dalam sebuah wilayah tertentu. Namun, identifikasi yang lebih penting adalah bagaimana peta keterkaitan dan keterpaduan antarindustri dalam kluster dengan berbagai institusi pendukungnya.

Ciri penting lain terletak dalam pengorganisasiannya. Sebagai strategi industrialisasi, clustering merujuk pada aktivitas yang dibentuk secara sadar dan terorganisir. Clustering menunjuk pada fenomena bahwa keping-keping (puzzles) yang ada tidak tersebar secara acak, tetapi secara sengaja diorganisir dalam sebuah wilayah. Namun demikian, hal ini tidak menafikan kemungkinan tumbuhnya pengelompokan industri secara alami. Kedekatan geografis dalam kluster mempermudah perusahaan untuk menciptakan keterkaitan yang menguntungkan bagi setiap perusahaan di dalam kluster.

Perusahaan dalam kluster menikmati manfaat jauh lebih banyak dibandingkan bila ia berada di luar. Secara garis besar, setidaknya ada dua manfaat bagi tiap perusahaan yang berada di dalam kluster. Pertama, manfaat pasif,yaitu manfaat yang didapatkan perusahaan di dalam kluster tanpa harus melakukan aktivitas tertentu. Kedua, manfaat aktif, yaitu manfaat perusahaan akan semakin besar apabila perusahaan di dalam kluster melakukan upaya-upaya yang aktif.

Kluster menciptakan dampak publikasi kuat. Konsentrasi perusahaan/ industri sejenis dalam wilayah tertentu akan menarik perhatian calon pembeli.Gambaran semacam ini bisa disaksikan dari citra yang terbentuk di masyarakat terhadap Glodok sebagai pusat elektronik, Tanggulangin Sidoarjo sebagai sentra pembuat tas dan Kotagede sebagai pusat kerajinan perak. Lebih dari itu, kluster akan mampu menarik pembeli dengan jumlah pesanan besar.

Dengan konsentrasi perusahaan di wilayah tertentu, pembeli akan merasa yakin bahwa pesanan mereka berapa pun besarnya akan mampu disediakan oleh perusahaan tersebut. Kedekatan geografis mempermudah perusahaan memantau dan memberikan kontrak kerja pada pemasok dan subkontraktor. Demikian pula suplai bahan baku. Kluster juga akan mendorong berkumpulnya tenaga kerja berpengalaman di wilayah tersebut.

Perusahaan dalam kluster juga bisa bekerja sama menggunakan mesin-mesin produksi mereka sesuai kebutuhan. Perusahaan cenderung lebih mudah memperoleh informasi pasar, teknologi, partner bisnis dan yang lain bila berada dalam kluster. Alih teknologi juga lebih mudah. Agar kluster bisa berkembang dibutuhkan prasyarat. Karena mengandaikan manfaat ekonomis atas wilayah yang sama (economies of localization) (Kuncoro, 2004), kluster harus diarahkan sesuai karakteristik lokal wilayah.

Karakter lokal ini menjadi keunggulan kluster, bukan lainnya. Jika pembentukan kluster mengingkari karakteristik lokal, maka economies of localization niscaya hilang. Implikasinya, pembentukan kluster harus partisipatif. Warga dan pemerintah lokal paling tahu karakteristik wilayah, bukan pemerintah pusat atau para pendatang. Mereka pula yang lebih tahu sektor unggulan apa yang tepat. Jadi, clustering adalah kebijakan yang terdesentralisasi dan partisipatif.

Dalam konteks teori industrialisasi, clustering jadi bagian dari regional/spatial based approach. Strategi ini membutuhkan keleluasaan kewenangan daerah, bahkan otonomi, dan partisipasi aktif pelaku lokal. Dalam kaca mata kebijakan nasional, clustering bisa dimaknai sebagai untaian kebijakan yang berbeda-beda sesuai krakteristik lokal, namun tetap satu payung kebijakan industri nasional. Seperti puzzle, Indonesia adalah rangkaian kluster yang sambung-menyambung dari Sabang sampai Serui.

Indonesia adalah negara yang besar dengan beragam kondisi wilayah, geografis dan karakteristik lokal. Untuk mengembangkan industri, perlu kebijakan yang khas (customized) di setiap wilayah. Pendekatan di sebuah wilayah atau sebuah pulau pasti berbeda dengan pulau lainnya. Setiap kluster dengan produk dan strategi yang unik dan khas merupakan rangkaian yang tak terpisahkan. Klusterkluster itu bagaikan untaian di khatulistiwa. Pendek kata, pengembangan kluster industri lebih efisien, khususnya dalam hal penyediaan infrastruktur oleh pemerintah dan fasilitas lainnya, termasuk pelatihan. (*)

Khudori
Pengamat Masalah Sosial-Ekonomi, Pertanian dan Globalisasi

http://suar.okezone.com/read/2010/01/13/279/293548/279/kluster-industri-dan-keterbatasan-infrastruktur

Tidak ada komentar: