Sabtu, 11 Juli 2009

Memurnikan Gerakan Koperasi


Setidaknya 50% dari 90.000 koperasi yang memiliki izin usaha saat ini merupakan “koperasi merpati” alias koperasi yang hanya memburu fasilitas pemerintah. Karena itu, perlu dipetakan kembali keberadaan koperasi di Indonesia, terlebih banyaknya koperasi gelap yang memang hanya untuk mencari keuntungan semata.

Dengan munculnya koperasi gelap semacam ini, tidak terlalu mengherankan kalau gerakan koperasi di Tanah Air masih banyak dicibirkan orang, dianggap sebelah mata, tanpa pernah diperhitungkan kiprahnya di dalam membangun negeri ini. Kondisi perkoperasian di Tanah Air banyak tercoreng oleh ulah koperasi merpati semacam ini.

Selain hanya memburu proyek tetesan dari pemerintah, koperasi “papan nama” ini sering tidak bertanggung jawab terhadap kelangsungan kegiatannya. Banyak koperasi yang menyalahgunakan dana kredit (bank, perusahaan BUMN atau kredit lainnya) atau memanfaatkan koperasi sebagai kedok dalam menjalankan bisnis.

Digerogoti Petualang Koperasi

Menurut Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin), saat ini setidaknya ada tiga jenis koperasi, yaitu koperasi sejati yang memiliki basis anggota yang kuat dan mampu beroperasi dengan baik meskipun tidak ada program bantuan pemerintah. Kedua, koperasi pedati, yaitu koperasi yang berdiri karena didorong atau ditarik oleh pejabat serta kurang mandiri, dan yang ketiga koperasi merpati, yaitu koperasi yang semata-mata hanya mencari fasilitas pemerintah.

Munculnya koperasi pedati dan koperasi merpati ini dimulai dengan banyak terjadinya pengangguran intelektual akibat terpaan krisis moneter berkepanjangan. Bisnis banyak yang tutup dan akhirnya terjadi booming pengangguran. Mereka tidak pernah berkepentingan dengan koperasi, dan hanya menggunakan koperasi sebagai ajang bisnis.

Sebelum krisis moneter, profesi para petualang ini sangat beragam, mulai dari eksekutif muda, pekerja kantoran dan mantan-mantan karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK), termasuk pengusaha yang karena perusahaannya salah urus, akhirnya bangkrut, asetnya pun disita pemerintah untuk membayar utang.

Kemudahan mendirikan badan usaha berbentuk koperasi -dengan tujuan mengembangkan koperasi di Indonesia- telah dimanfaatkan secara keliru oleh para petualang koperasi ini. Berdalih ingin memberdayakan ekonomi rakyat kecil yang selama krisis mengalami nasib kurang menguntungkan, mereka justru mendirikan koperasi untuk keuntungan sendiri.

Jumlah petualang koperasi ini cukup banyak, terutama saat koperasi mendapat beberapa kemudahan, terutama kredit program seperti kredit usaha tani (KUT), Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya (KKPA), maupun perlindungan usaha tertentu yang hanya boleh diupayakan koperasi.

Pengawasan dan Pendampingan

Untuk mengatasi tumbuh dan berkembangnya para petualang koperasi, ada beberapa tawaran solusi yang perlu dilakukan. Pertama, memperketat perizinan pendirian koperasi. Untuk itu, penelitian ulang terhadap calon pengurus (pengelola) koperasi perlu dilakukan. Istilah yang sedang ngetrend, pengurus koperasi harus melalui uji kelayakan dan kepantasan (fit and proper test).

Layaknya pejabat negara atau bankir, awak-awak koperasi harus pula menempuh ujian ini, tentunya sesuai kapasitas dalam lembaga koperasi. Misalnya, pengurus tidak pernah kena black list bank, atau belum pernah melakukan kejahatan ekonomi lainnya. Dengan demikian, koperasi yang mendapatkan izin benar-benar dikelola oleh mereka yang memiliki itikad baik untuk memajukan ekonomi kerakyatan yang berbasiskan demokrasi ekonomi.

Mau tidak mau, langkah seperti ini harus dilakukan sejak sekarang, terutama untuk menghindari para petualang yang ingin ikut mengail di air keruh. Jangan sampai koperasi yang hingga kini pamornya masih kalah dibanding pelaku usaha lain, kembali terjerembab karena ulah segelintir pengurus koperasi yang tidak bertanggung jawab.

Kedua, kembali mengefektifkan lembaga pengawas koperasi. Selama ini fungsi pengawas koperasi tidak banyak berperan. Padahal, jabatan dan tugas mereka cukup berat dalam ikut mengawasi jalannya koperasi bersangkutan. Tugas mereka adalah mengawasi pelaksanaan kebijakan dan pengelolaan koperasi. Selain itu, juga membuat laporan tertulis hasil pengawasan. Pengawas juga berwenang meneliti catatan yang ada pada koperasi dan mendapatkan segala keterangan yang diperlukan. Selain pengawas, koperasi dapat meminta bantuan jasa audit kepada akuntan publik.

Langkah ketiga yang tidak kalah penting adalah memberi pendampingan kepada koperasi agar pengurus koperasi bisa menggunakan uangnya sesuai peruntukannya. Lembaga donatur dalam hal ini bisa berperan untuk pendampingan bagi koperasi yang dibiayainya.

Beberapa lembaga keuangan model syariah, juga modal ventura, sudah jamak menjalankan peran pendampingan manajerial semacam itu. Bahkan mereka sering terlibat langsung dalam keseharian manajemen koperasi yang diberi kredit. Dengan pola-pola pendampingan semacam ini, bentuk penyimpangan akan dapat ditekan sekecil mungkin.

Dengan langkah-langkah tersebut di atas, gerakan koperasi akan mengalami pemurnian sebagai entitas bisnis yang profesional. Mereka yang tidak memenuhi ketentuan yang berlalu, akan bubar dengan sendirinya atau merger dengan koperasi lainnya yang sudah maju atau sudah berjalan dengan baik.

Hal yang juga tak kalah pentingnya adalah instansi pemberi izin koperasi, yakni Kanwil atau Kandepkop harus berani menutup usaha koperasi yang bermasalah. Hanya dengan langkah-langkah seperti ini bangunan koperasi di Indonesia akan semakin kokoh.

JAKARTA, INVESTOR DAILY
10/07/2009 22:45:04 WIB
Oleh Susidarto*)


*) Penulis adalah praktisi perbankan, pernah menjadi pengurus koperasi

Tidak ada komentar: