Senin, 15 Juni 2009

Kegagalan Neo-Liberalisme dan Menguatnya Kembali Trend “Welfare State”.



Trend ekonomi Neo-liberalisme[1] memasuki era kejayaan pada era 80-an. Sistem ekonomi ini dianggap mampu menjawab krisis dunia yang dimulai dari colaps-nya sistem ekonomi domestik Meksiko ketika itu, dimana IMF menerapkan pola obral murah utang baru yang ditukar dengan pengetatan ekonomi yang kita sebut dengan Structural Adjusment Programs (SPAs)[2]. Kompetisi pasar bebas (free market competition), demikian titik kulminasi yang diharapkan dari sistem ekonomi Neo-Liberalisme ini, dimana secara faktual hari ini terbukti hanya menguntungkan negara-negara maju, yang pada sisi lain justru kian memiskinkan negara berkembang. Namun serentetan krisis demi krisis yang terjadi, membuka mata kita bahwa pola Neo-Liberalisme ini telah gagal dalam membangun ekonomi dunia. Puncaknya terjadi saat ini dimana induk Kapitalisme sendiri, yakni Amerika Serikat justru diserang gelembung krisis yang semakin parah yang tentu saja memaksa mereka untuk bepikir seribu cara untuk keluar dari krisis tersebut.

Salah satu hal yang cukup mengherankan dalam cara menyelesaikan krisis hari ini adalah, tindakan pemerintah AS, melalui presiden terpilih, Barrack Obama, untuk mengembalikan kejayaan era ekonomi “keynesian“. Salah satu yang menonjol dari pengagum ekonomi ini adalah, kecenderungan untuk mengembalikan peran negara dalam sistem ekonomi, yang pada prinsipnya selama ini telah dilepas secara bebas dalam mekanisme pasar (free market competition), atau yang lebih umum kita kenal sebagai model liberalisasi keuangan[3]. Faktanya, beberapa perusahaan sektor keuangan, menjadi target penguasaan kembali oleh pemerintah. Diantaranya adalah American International Group (AIG), yang merupakan perusahaan asuransi terbesar dunia asal Amerika, yang juga kita kenal sebagai sponsor utama klub Manchester United (MU). Bahkan beberapa pengamat ekonomi dunia menyebutnya sebagai tindakan yang tak ubahnya seperti rezim sosialis.

Pergeseran stigma Neo-liberal inipun kian nampak bergeser beberapa waktu lalu, ketika digelar pertemuan G-20 yang pada intinya membahas tentang penyelesaian kiris internasional yang sedang terjadi di induk kapitalisme, Amerika. Namun pertemuan ini lebih mengarah kepada upaya saling tuding dan menyalahkan, terutama dikalangan negara-negara maju. Isu yang bekembang dalam pertemuan inipun lebih kepada isu-isu bidang keuangan yang salah satunya adalah upaya untuk mendorong reformasi internal lembaga-lembaga keuangan internasional yang kita kenal dengan istilah “Bretton Woods Institute“, diantaranya ; IMF, World Bank, dll. Sementara pada saat yang bersamaan intelektual-intelektual negara-negara maju diluar Amerika, begitu gencar mempropagandakan kebusukan sistem liberalisasi pasar sebagai biang kerok krisis, dimana sistem ini memang begitu kuat di Amerika Serikat. Padahal, negara-negara maju Eropa juga memiliki pola dan sistem yang tak kalah busuknya. Bahkan Gordon Brown, perdana menteri Inggris, menegaskan bahwa, “konsensus washington telah berakhir“. Konsensus yang menandai era ekonomi liberalisasi berjalan di bawah kendali gedung putih pada masa kejayaan Ronald Reagan beserta Margaret Teacher sekutunya yang juga mantan PM inggris. Masa kejayaan liberalisme ini juga yang sering disebut sebagai kejayaan kapitalisme “angglo sakson“, yang memang diabangun dari Negara adidaya tersebut.[4]

Yang menjadi menarik kemudian adalah, terjadinya polarisasi ditingkatan negara-negara maju terkait pola dan sistem ekonomi dunia saat ini. Negara-negara eropa bahkan menyebut krisis hari ini sebagai kegagalan sistem ekonomi pasar bebas. Upaya untuk mendorong dan mengembalikan masa keemasan “walfare state“-pun terus dilakukan. Negara-negara eropa ini mengajukan fakta yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kebuasan sistem pasar bebas ini. Namun apakah ini merupakan peluang bagi kebangkitan era Sosialisme, seiiring semakin menguatnya tendensi sosialisme di Amerika Latin? Ataukan justru akan lahir pola baru dari kekuatan kapitalisme global yang akan memberikan topeng dan wajah baru dari Kapitalisme??? Akan tetapi yakin saja, bahwa cara apapun yang akan dilakukan oleh kapitalisme global dalam melepaskan diri dari jeratan krisis, akan selalu melahirkan krisis baru yang justru akan lebih parah.

Namun yang pasti, pertemuan G20 ini memberikan pengalaman tak sedap bagi kita, bahwa sekali lagi negara-negara berkembang telah menjadi tumbal dari krisis keuangan global hari ini. Sekali lagi negara berkembang akan dimanfaatkan menjadi ladang pertumbuhan ekonomi global baru dengan strategi utang baru pula. Negara berkembang tentu akan menjadi target pasar yang paling empuk bagi negara maju. Bukti awal yang bisa kita saksikan adalah kucuran utang baru dari negara kreditor (terutama Jepang), yang sekarang dijadikan sebagai stimulus kebijakan fiskal sebesar 73,1 Trilyun.

Kapitalisme memang sedang galau, berupaya keras menyem bunyikan kegagalan sistem yang dibangunnya. Namun demikian, upaya membangun bentuk dan wajah baru tentu akan nampak kebiadabannya juga. Kita tentu masih ingat dengan “the third way” ala Antony Giddens yang menawarkan sosial-demokrat sebagai jalan ketiga dunia. Jalan yang seakan ingin membuat wajah kapitalisme seakan lebih humanis, meski dibalik itu tersimpan kebringasan yang siap menerkam dan menghisap kesejahteraan masyarakat dunia. Maka kesimpulan awal dari tulisan ini adalah, “waspadalah, krisis kapitalisme akan melahirkan wajah dan topeng baru yang penuh dengan kepura-puraan…….!!!“.

[1] Neo-Liberalisme adalah salah satu wajah sistem ekonomi Kapitalisme yang pada prinsipnya berusaha memisahkan peran dan fungsi negara dalam perekonomian karena dianggap menghalangi persaingan pasar secara luas dan kompetitif. Program seperti pencabutan subsidi publik, privatisasi Badan Usaha Milik Negara (BUMN), deregulasi dll adalah kenyataan yang sekarang sedang dihadapi oleh negara-negara berkembang di bawah komando negara-negara maju melalui IMF, World Bank, WTO dll dengan jargon Neo-Liberalisme-nya.

[2] Structural Adjusment Programs (SAPs) merupakan jaring perangkap ekonomi yang direkayasa sedemikan rupa oleh negara-negara Imperialis dunia pertama untuk menjebak negara-negara dunia ketiga ke dalam kerangka bangunan perekonomian pasar bebas dengan menciptakan ketergantungan dengan beban utang yang diharuskan lengkap beserta syarat-syarat yang harus dilakukan oleh negara pengutang. Sumber : herdiansyah hamzah dalam, hantu neo-liberalisme ; hantu penjarah kemakmuran rakyat. Disadur dari : http://prp-samarinda,blogspot.com/.

[3]Liberalisasi keuangan mencakup enam aspek sebagai berikut: (a) deregulasi tingkat suku bunga; (b) peniadaan pengendalian kredit; (c) privatisasi bank-bank dan lembaga-lembaga keuangan milik negara; (d) peniadaan hambatan bagi bank-bank atau lembaga-lembaga keuangan swasta, termasuk asing, untuk memasuki pasar keuangan domestik; (e) pengenalan alat-alat pengendalian moneter yang berbasis pasar; dan (f) liberalisasi neraca modal. Selengkapnya lihat di: http://www.ekonomikerakyatan.ugm.ac.id/My%20Web/sembul40.htm.

[4] Kompas, 4 April 2009. “G-20 Buka Era baru“.

Oleh herdiansyah - 30 April 2009 -
Public Blog Kompasiana

Tidak ada komentar: