Selasa, 26 Mei 2009
"Neoliberal" vs "Penguasaha"
Mengikuti perang propaganda memojokkan capres Boediono maka suasana menjelang "hamil tua" G-30-S sangat terasa dengan jargon setan dosa, setan kota, kapitalis yang sekarang diubah menjadi neoliberalisme sebagai momok paling mutakhir dari sekian banyak slogan yang diusung secara murahan. Dialog Kadin dengan capres menjadi ajang debat antara kelompok yang disebut neoliberal dan kelompok "penguasaha".
Kubu JK-Win mewakili aktor dwifungsi pengusaha yang terjun menjadi penguasa politik dan mantan jenderal yang mendominasi rezim dwifungsi Orde Baru. Duet Mega-Pro juga mengandung unsur pengusaha yang menjadi penguasa, karena Taufiq Kiemas mirip dengan Zardari, suami alm Benazir Bhutto. Sedangkan, Prabowo Subianto adalah letjen yang belum sempat berdwifungsi ketika diberhentikan dari jabatan Pangkostrad. Tapi, sekarang ia adalah pengusaha kelas global dengan aset terbesar di antara tiga petanding. SBY adalah jenderal yang sudah berdwifungsi jadi menteri, tapi tidak terlibat bisnis dan laporan aset terendah, bahkan lebih "miskin" dari Boediono.
LHKPN dari incumbent dan pelaku politik tampaknya masih imun dari audit tuntas termasuk laporan dana kampanye partai yang seharusnya mempermalukan seluruh bangsa, karena orang awam saja bisa merasa bahwa laporan itu lebih banyak bohongnya dari aslinya. Biaya iklan saja sudah bisa ditaksir jauh melampaui angka yang dilaporkan, tapi para auditor dan KPU hanya meneliti formalitas saja dan tidak menelusuri sampai tuntas realitas yang sebenarnya.
Kelemahan dari demokrasi pascareformasi setengah matang ialah mental elite kita masih tetap sama dengan zaman Orde Baru. Antasari, yang mengorbit menjadi seorang pahlawan, ternyata adalah makelar kasus yang mencampuradukkan politik antikorupsi dengan tebang pilih dan kejar setoran. Antasari hanya berani mengungkap kasus yang aman, tapi tidak berani melabrak seluruh gunung es korupsi yang hanya dipangkas ujungnya saja. Antasari adalah cermin kemunafikan kelas berat yang menghancurkan seluruh sendi moral, etika, dan citra elite politik Indonesia.
Antasari hanya berani terhadap mereka yang tidak punya backing, tapi ketika di belakang anggota DPR ada partai, ada oknum yang punya backing, politik terutama oligarki partai, maka nyali Antasari ciut. Resepnya lebih asyik memanipulasi kasus dengan para pelaku makelar secara aman dan menguntungkan dari segi finansial.
Indonesia memang mempunyai penyakit yang aneh. Selalu takut kepada incumbent, tapi begitu incumbent jatuh maka setiap orang keranjingan ingin mengganyang mantan incumbent. Politik masih dinilai sebagai duel hidup atau mati zaman gladiator Romawai, salah satu harus mati. Sedang di Barat, oposisi merupakan keniscayaan yang esensial. Ketua DPR Inggris mundur karena rasa malu dengan skandal pemborosan dan pemerasan uang negara oleh para anggota DPR secara menyakitkan moral dan hati nurani masyarakat. Indonesia sudah terlalu lama dihinggapi penyakit feodalisme dan otoriterisme yang tidak hanya membelenggu Soekarno dan Soeharto, tapi menyandera seluruh elite kita. Penguasa politik layak dan wajib kaya walaupun banyak juga yang berlagak miskin, menyembunyikan hartanya dengan memakai nama identitas anak cucu, kerabat, dan kroni.
Suu Kyi
Perlakuan penguasa junta terhadap Aung San Suu Kyi imerupakan peringatan keras agar Indonesia tidak mengulangi lagi rezim Orde Baru dengan praktik otoriter dan kebal hukum dari elite penguasa. Oleh karena itu, demokrasi harus dipertahankan dan duet SBY- Boediono jelas lebih menjanjikan secara demokratis ketimbang duet "penguasaha" yang lebih mirip kloning Orde Baru dengan kecenderungan otoriterisme dan rekam jejak sebagai penguasa militer yang membiarkan the rape of Jakarta secara mengenaskan.
India baru saja mengukuhkan kemenangan Partai Kongres dan Mammohan Singh akan melanjutkan kepemimpinan India sebagai salah satu motor mesin ekonomi dunia dari benua Asia. Kuwait baru saja memilih empat anggota parlemen wanita dari 50 orang yang mencerminkan kemenangan mainstream modernis. Sementara Netanyahu mulai mempertimbangkan solusi cepat pembentukan negara Palestina agar bisa segera menghadapi Iran yang dianggap lebih bebahaya dari Hamas.
Presiden Obama sendiri sedang mengalami pelbagai macam arus balik dari kelompok Republik, karena pelbagai kebijakan ekstrem
yang diambil Obama sangat menyentuh hakikat ideologis dari kelompok konservatif, bahkan mainstream rakyat AS. Misalnya, tentang hak bela diri dengan memiliki senjata api. Dunia tidak bisa diperintah hanya dengan iktikad baik seorang selebriti, tapi memerlukan kecanggihan diplomasi total untuk meyakinkan lawan agar tidak menafsirkan uluran tangan sebagai kelemahan.
Situasi di Asia Tengah wilayah Swat di segi tiga Afghanistan - Pakistan sudah sangat gawat. Taliban diperkirakan bisa menjadi penguasa Afghanistan dan Hamid Karzai tidak akan terpilih kembali. Pergolakan dunia itu pasti akan mempengaruhi situasi geopolitik, termasuk Asia Tenggara yang tidak sepi dari infiltrasi dan globalisasi teror dari Timur Tengah. Presdien Obama akan mengunjungi Mesir sebagai show of force diplomatik terhadap kekuatan Islam sedunia bahwa ia bisa serius dan tidak akan rela diperlakukan seperti Jimmy Carter dulu yang dipermalukan oleh Ayatollah Khomeini. Pergolakan geopolitik ini tetap dibayangi oleh krismon global, yang belum sepenuhnya pulih karena RRT juga masih merasa waswas dengan ketelanjuran ekspose dana surplusnya dalam dolar yang semakin terpuruk.
Di Tokyo, saya mempelajari bagaimana Jepang menderita akibat desakan revaluasi yen pada 1985 oleh G-5 pada The Plaza Accords,
sehingga Jepang mengalami the lost decade. Dunia memang menghadapi kenyataan bahwa kelas klik berkuasa selalu tidak akan rela melepaskan kekuasaan secara ikhlas. AS adalah imperium mirip Romawi yang harus mengakui dan merelakan bahwa dirinya sudah tidak mungkin lagi melanjutkan Pax Americana, karena AS sudah tidak berdaya saing di sektor industri manufaktur dan hanya dominan secara licik dalam sektor finansial derivatives yang memangsa sektor riil, dana surplus tabungan global dalam lumpur fiktif saham yang kehilangan nilai riilnya.
Dunia abad XXI tidak mungkin lagi didominasi oleh Pax Chauvinis, ekstremis, dari bangsa manapun maupun ideologi apapun, karena begitu suatu ideologi menjadi absolut maka akan korup dan tidak berdaya saing dan pasti akan menghadapi tantangan dari kekuatan lain yang lebih kuat dan tangguh.
Sejak 1500, dunia mengenal Pax Hispanica, karena Spanyol menjarah Amerika Latin dan menikmati harta karun emas perak dari Peru, tapi akibatnya Spanyol terjerat inflasi dan tidak produktif. Belanda menggantikannya menjadi imperium terkaya, Pax Neerlandica, dengan monopoli perdagangan Nusantara sebagai harta karunnya. Ini digusur oleh Inggris dengan revolusi industri yang secara fair dan meritokratis menempatkan Inggris sebagai pemimpin dunia di bawah Pax Britannica sejak 1776. Perhatikan bahwa walaupun AS merdeka, Inggris tetap dominan dan baru mulai digeser oleh AS setelah Perang Dunia I. Pax Americana ini sebetulnya sudah rapuh ketika Nixon menyatakan tidak bersedia menukar dolar dengan emas yang dihentikan konvertabilitasnya pada 15 Agustus 1971 pada harga US$ 34 per 1 ons. AS tidak bisa menjadi polisi dunia dan membiayai perang, serta mulai defisit neraca perdagangan dan APBN-nya.
Lima Besar
Indonesia dalam pasang surut Pax Neerlandica, Britannica dan Americana sering menyia-nyaikan peluang, karena visi kepemimpinan yang kurang responsif, sehingga sudah merdeka hampir 65 tahun tetap saja seperti balita, taman kanak kanak, seperti sindiran Gus Dur terhadap anggota DPR.
Indonesia harus menjadi negara yang masuk dalam lima besar, karena Belanda saja bisa jadi imperium terkaya melalui VOC. Sedang rezim lokal Indonesia malah dibajak, disandera oleh elite yang bermental Wilheilmina sawo matang, menjajah rakyatnya sendiri dengan tingkat korupsi yang lebih sadis dari VOC dan Hindia Belanda. Akibatnya, RI malah terpuruk di tangan rezim nasional yang terbajak di tangan elite yang tega membunuhi rakyat sendiri.
Peringatan Boediono di Bandung 15 Mei sangat tepat, bahwa keterpurukan RI bukan karena jajahan asing, melainkan oleh jajahan bangsa sendiri selama 50 tahun, oleh diktator yang tidak mampu melindungi rakyatnya sendiri. Semua sibuk memperkaya diri untuk tujuh turunan dan membunuh lawan politik serta mengucilkan sesama elite, seperti Myanmar memperlakukan Aung San Suu Kyi. Jangan sampai Pemilihan Presiden 8 Juli malah memilih sistem dan rezim "penguasaha" model VOC
yang mengatasnamakan rakyat, hanya memperkaya diri sendiri dengan harta triliunan.
Rakyat hanya diperalat namanya untuk teori ekonomi kerakyatan, tapi "penguasaha" mencaplok dan membajak kepentingan nasional di bawah kepentingan bisnis keluarga, kroni, dan kerabat "penguasaha".
Pilihan bagi rakyat Indonesia jelas, apakah terperangkap dalam jebakan iklan "penguasaha" atau mempercayai iktikad baik dan rekam jejak teknokrat yang tidak punya konflik kepentingan sedikit pun dalam amburadulnya pengusaha terjun ke politik menjadi penguasa dengan sikap mental mau memonopoli bisnis dan kepentingan perusahaan untuk tujuh turunan.
Indonesia bisa jadi negara kaya raya di bawah pemerintahan yang mengarahkan seluruh rakyat untuk bermeritokrasi. Indonesia bisa tetap mskin, tapi elite penguasanya kaya-raya triliunan, sedang rakyatnya tetap miskin dan hanya dicatut namanya dalam pidato ekonomi rakyat yang klise dan palsu. Rekam jejak, sejarah, dan latar belakang para capres dan cawapres harus diteliti agar tidak salah memilih presiden dan wapres. Juga harus diperhatikan perubahan geopolitik yang bisa mempengaruhi ke arah mana tujuan Indonesia. Jangan sampai negeri ini
menjadi seperti Pakistan, yang terancam menjadi failed state.
oleh : Christianto Wibisono, pengamat masalah nasional dan internasional
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar