Minggu, 24 Mei 2009
KOTAKU, JAKARTAKU
Jakarta, kota metropolitan kebanggaan bangsa Indonesia. Sebuah kota yang menjadi barometer kemajuan bangsa. Pusat perkembangan dan pembangunan di Indonesia, di mana kemajuan teknologi menjadi andalannya.
Jakarta sebagai pusat pemerintahan memiliki berbagai jenis lapangan pekerjaan dalam berbagai bidang. Keadaan tersebut menyebabkan banyaknya orang yang ingin mengadu nasib ke Jakarta. Dengan harapan untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Namun, jumlah kaum urban yang datang tidak sebanding dengan jumlah lapangan pekerjaan dan kapasitas pemukiman kota yang terbatas.
Provinsi DKI Jakarta mempunyai luas daratan 661,52 km2. Jumlah penduduk Provinsi DKI Jakarta 9,041 juta jiwa dengan kepadatan penduduk 13.667,01 jiwa per km2. Selain itu, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI, angka pengangguran di DKI Jakarta hingga bulan Agustus 2008 tercatat 580.510 orang dari total angkatan kerja yang mencapai 4,77 juta orang.
Dari data di atas, dapat disimpulkan bahwa Jakarta memiliki kepadatan panduduk yang tinggi. Kepadatan penduduk yang tinggi inilah yang kemudian menimbulkan berbagai dampak negatif pada kenyamanan ibukota. Masalah kependudukan muncul bertubi-tubi. Keadaan yang memicu terjadinya konflik sosial dalam masyarakat. Dari sekian banyak masalah yang melanda Jakarta, salah satu masalah yang paling fatal adalah kemacetan.
Seperti yang kita ketahui, Jakarta sangat identik dengan macet. Lalu lintas kota terhambat karena banyaknya kendaraan yang melintas di jalan. Setiap hari bertambah kendaraan baru di Jakarta sebanyak 1.127 yang terdiri 236 mobil dan 891 motor. Padahal jumlah kendaraan saat ini saja sudah mencapai 5,7 juta. 98,5% adalah kendaraan pribadi dan hanya 1,5% angkutan umum. Ditambah lagi, kepribadian orang Indonesia cenderung tidak sabar dan mengabaikan peraturan. Maka, tidak heran kalau kemacetan berujung konflik dan kecelakaan.
Selama tahun 2008, Direktorat Lalulintas Polda Metro Jaya mencatat 5.437 kasus kecelakaan. Adapun jumlah korban luka berat mencapai 2.443 orang, korban luka ringan 4.029 orang, korban tewas 1.080 orang, dan kerugian materil sejumlah Rp12.584.735.000,00.
Selain menimbulkan dampak sosial, kemacetan juga menimbulkan dampak ekologis. Saat ini Jakarta menempati peringkat ketiga kota yang memiliki kadar polusi udara dan tingkat kemacetan terburuk di dunia setelah Mexico City dan Bangkok. Ironisnya, 80 persen polusi udara di Jakarta dihasilkan oleh kendaraan bermotor. Polusi udara sendiri sangat berbahaya bagi kesehatan. Oleh karena itu, banyak sekali warga Jakarta yang terjangkit penyakit tuberkulosis (TBC), pneumonia, bronkitis, emfisema, asma bronchiale, serta beberapa penyakit pernapasan lain.
Inikah wajah Jakarta yang kita banggakan? Keadaan yang sangat memilukan. Kota kebanggan Indonesia dicap sebagai sumber penyakit dan kecelakaan. Dapatkah kita hidup dengan nyaman dalam keadaan seperti ini?
Jawabannya adalah tidak. Kita tidak bisa selamanya hidup dalam ketakutan akan penyakit dan kondisi lalu lintas yang berbahaya. Dua masalah tersebut sangat menggangu warga untuk mencapai tujuannya di Jakarta, yaitu untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Efek yang ditimbulkan oleh kemacetan.
Lalu, bagaimana cara untuk menanggulangi kemacetan di Jakarta?
Inti dari kemacetan adalah ketaatan masyarakat terhadap peraturan. Pemerintah sendiri kurang tegas untuk mengatasi masalah ini. Berikut ini adalah beberapa upaya yang dapat dilakukan pemerintah untuk menanggulangi kemacetan dan dampaknya bagi masyarakat.
Pertama, membatasi kendaraan yang dapat digunakan di Jakarta. Pembatasan ini dilakukan berdasarkan usia kendaraan. Misalnya, usia kendaraan maksimal yang dapat masuk ke Jakarta adalah buatan tahun 1990. Dengan kebijakan tersebut, kendaraan-kendaraan tahun tua seperti tahun 70-an dan 80-an tidak boleh masuk ke Jakarta. Tidak hanya kendaraan pribadi, tetapi juga kendaraan umum. Kebijakan ini tidak hanya memperhatikan jumlah kendaraan yang akan berkurang, tetapi juga memerhatikan tingkat polusi yang akan berkurang di udara. Pasalnya, kendaraan tua cenderung “menyumbangkan” polusi udara lebih banyak. Maka, kebijakan ini tidak hanya dapat mengurangi kemacetan, tetapi juga mengurangi polusi udara.
Kedua, mempekerjakan aparat (SDM) yang berkualitas untuk menangani lalu lintas. Ketertiban lalu lintas tidak terlepas dari peran aparat. Namun, saat ini peran aparat dalam mengendalikan kelancaran lalu lintas belum efektif. Masih banyak pengendara nakal yang melanggar lalu lintas, seperti menyerobot lampu merah yang memicu terjadinya kecelakaan. Polisi lalu lintas menyelesaikan masalah pelanggaran hanya dengan uang. Oleh karena itu, para pelanggar berpikir bahwa segala pelanggaran dapat diselesaikan dengan uang. Padahal, semua itu telah diatur oleh hukum yang berlaku. Maka, aparat yang tidak bertanggung jawab harus ditindak tegas dengan cara menggantikannya. Selain itu, pengawasan yang ketat terhadap aparat perlu dilakukan. Dengan begitu, lalu lintas akan menjadi lebih tertib.
Ketiga, melakukan pembersihan terhadap pedagang kaki lima, pengemis, dan gelandangan. Keberadaan mereka jelas sangat mengganggu, terutama di lampu merah. Mereka dapat menghalangi kendaraan yang melintas dan mengganggu keamanan dan kenyamanan. Tetapi, pembersihan ini juga harus memperhatikan nasib mereka. Misalnya, pedagang kaki lima harus diberikan lokasi khusus yang strategis untuk berdagang.
Pemerintah memberikan kebijakannya. Namun, semua itu tidak akan berhasil tanpa peranan dan dukungan masyarakat. Banyak yang dapat kita lakukan untuk mengurangi kemacetan. Hal-hal kecil yang dapat membawa perubahan besar bagi Jakarta.
Budayakan berjalan kaki setiap hari. Jangan gunakan kendaraan hanya untuk menuju ke tempat yang jaraknya tidak terlalu jauh. Selain mengurangi kemacetan, berjalan kaki juga baik untuk kesehatan. Pemerintah telah menyediakan trotoar dan jembatan penyeberangan untuk pejalan kaki. Tentunya kita tidak ingin fasilitas tersebut sia-sia, bukan?
Gunakan kendaran umum sebagai sarana transportasi dalam kota. Saat ini, Jakarta memiliki Busway sebagai sarana transportasi unggulan yang tidak diragukan lagi kenyamanannya. Biaya tiket Busway juga sangat terjangkau. Maka, Busway merupakan sarana transportasi ideal yang telah menjangkau hampir seluruh wilayah Jakarta. Lalu, bagaimana dengan kendaraan pribadi kita? Kendaraan pribadi dapat digunakan untuk menempuh perjalanan jauh, seperti perjalanan luar kota.
Ingin solusi yang lebih cepat daripada berjalan kaki? Gunakan sepeda. Sepeda tidak hanya menghindarkan kita dari kemacetan, tetapi sepeda juga merupakan kendaraan ramah lingkungan yang baik untuk kesehatan. Di Jakarta telah terdapat komunitas sepeda, yaitu Bike to Work.
Sebagai warga Jakarta, kita harus ikut serta menjaga kota kita. Ketertiban dan kepedulian kita akan menjadikan Jakarta sebagai kota yang nyaman. Lihatlah ibukota Malaysia! Tidak ada kemacetan, yang ada hanyalah jalanan yang tertib dan tertata rapi. Karena kondisi ibukota merupakan cermin kepribadian dan kemajuan bangsa.
Ayo biasakan tertib berlalu lintas! Taati peraturan, tingkatkan toleransi dan kesadaran diri. Lakukan perubahan untuk Jakarta yang lebih baik. Kotaku, Jakartaku. Sebuah ungkapan yang mengandung arti memiliki, menjaga, dan kebanggaan. Demi satu hal, yaitu mewujudkan Jakarta sebagai kota yang pantas dibanggakan.
Esti Maharini - SMA Negeri 68 Jakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar