Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengkaji keberatan yang disampaikan Asosiasi Tol Indonesia (ATI) mengenai draf hasil evaluasi 24 ruas tol mangkrak yang dianggap memberatkan investor dalam hal ini badan usaha jalan tol (BUJT).
Kepala BPJT Ahmad Gani Ghazali di Banten, Rabu (27/4) menyatakan, pihaknya siap mengkaji ulang isi amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) terhadap 24 ruas tol mangkrak, jika BUJT yang disampaikan oleh ATI merasa keberatan dengan amendemen yang saat ini masih digodok oleh pemerintah tersebut.
Sebanyak 24 ruas toal yang nasib amendemen PPJT (perjanjian pengusahaan jalan tol) belum jelas itu diantaranya sembilan ruas tol Trans Jawa yakni, Cikampek-Palimanan (116 Km), Pejagan-Pemalang (57,5 Km), Pemalang-Batang (39 Km), Batang-Semarang (75 Km), Semarang-Solo (75,7), Solo-Mantingan-Ngawi (90,1 Km), Ngawi-Kertosono (87 Km), Kertosono-Mojokerto (40,5), Surabaya-Mojokerto (36,27).
"Kami siap mengkaji ulang jika BUJT keberatan dengan isi amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol yang saat ini masih dalam bentuk draf, kami juga siap menerima usulan dari pihak asosiasi yang diwakili oleh ATI," kata Gani.
Namun, kata Gani, sampai saat ini pihaknya belum menerima surat keberatan dari ATI terkait amendemen PPJT tersebut. "Sampai sekarang, saya belum terima suratnya, nanti kita cek dulu lah," ujarnya.
Sementara itu, Ketua ATI Fatchur Rochman mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto pada minggu kemarin. Dalam suratnya, ATI merekomendasikan lima butir untuk dimasukkan dalam draf amendemen PPJT, di antaranya masalah pengadaan tanah. ATI meminta agar biaya pengadaan tanah untuk 24 ruas tol tersebut sepenuhnya menggunakan BLU (Badan Layanan Umum).
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/28/221523/21/2/Kementerian-PU-Kaji-Keberatan-Asosiasi-Tol-Indonesia
*************************
Perjanjian 24 Ruas Tol Mangkrak Segera Diamandemen
Pemerintah melalui Kementerian Pekerjaan Umum (PU) menyiapkan amandemen Perjanjian Penguasaan Jalan Tol (PPJT) sebagai tindak lanjut hasil evaluasi terhadap 24 ruas tol mangkrak atau terlantar pembangunannya. Amandemen PPJT itu ditargetkan rampung pada akhir bulan ini.
Wakil Menteri Pekerjaan Umum (PU) Hermanto Dardak menyatakan, amandemen itu mengatur besaran investasi serta jadwal pemenuhan kewajiban Badan Usaha Jalan Tol (BUJT), antara lain seperti pemenuhan pembiayaan (financial close), jaminan pelaksanaan, dan biaya operasional pembebasan tanah.
"Intinya, perjanjian pengusahaan yang baru dirancang agar dapat dilaksanakan dan meyakinkan kita bahwa investor bisa membangun dan menyelesaikan tol. Kalau persyaratan ada yang tidak dipenuhi, perjanjian baru ini menyediakan solusi yang jelas," ujarnya di kantor Kementerian PU, Selasa (8/3).
Menurutnya, salah satu solusi yang ditetapkan dalam perjanjian tersebut adalah penggantian BUJT jika tidak mampu memenuhi persyaratan. Nantinya, pihak perbankan yang ditunjuk kementerian akan mengambil alih dengan mencari konsorsium badan usaha lain yang mampu melaksanakan pembangunan.
"Jangan sampai pemerintah tersandera dengan kontrak perjanjian yang ada, tapi pembangunan tidak bisa terlaksana. Esensi perjanjian baru ini, kalau terjadi apa-apa, ada jalan keluarnya. Intinya, perjanjian baru ini bisa diimplementasikan dan ruas tol terbangun," katanya.
Adapun terkait persoalan pengadaan lahan untuk 24 ruas tol tersebut, jelas Hermanto, akan diupayakan untuk dibebaskan hingga akhir 2012. Saat ini, pembebasan mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadaan Lahan untuk Kepentingan Umum pun masih dalam pembahasan DPR.
"Kami mengharapkan undang-undang tersebut dapat selesai dalam waktu enam bulan ini dqn bisa segera diterapkan. Tapi sembari menunggu UU, kami terus mengupayakan dana pembebasan lahan bergulir melalui BLU, juga dengan adanya land capping dan konsinyasi lahan," imbuhnya.
Dengan adanya perundangan tersebut, tambahnya, diharapkan pembangunan infrastruktur di Indonesia, termasuk jalan tol, memiliki batas waktu tertentu. Dengan begitu, seluruh pemangku kepentingan mendapat jaminan pembebasan lahan dan pelaksanaan proyekndapat segera terlaksana.
Desember lalu, pemerintah memutuskan 24 ruas tol mangkrak lulus evaluasi. Ruas tol tersebut dievaluasi berdasarkan kelayakan dan kemampuan keuangan badan usaha tersebut. Ke-24 ruas tol itu adalah 9 ruas jalan tol Trans Jawa, 6 ruas tol Jakarta Outer Ring Road II, dan 9 ruas lainnya.
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/03/08/208578/4/2/Perjanjian-24-Ruas-Tol-Mangkrak-Segera-Diamandemen
Kamis, 12 Mei 2011
Kamis, 28 April 2011
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) berkomitmen jamin proyek infrastruktur
Era baru proses penjaminan infrastruktur di Indonesia dimulai setelah terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 78 tahun 2010 tentang Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerja Sama Pemerintah Dengan Badan Usaha Yang Dilakukan Melalui Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur. Perpres ini ditandangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 21 Desember 2010 dan merupakan salah satu regulasi kunci sebagai pelengkap dari Perpres No. 13 tahun 2010 jo Perpres No. 67 tahun 2010 tentang KPS.
Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) Sinthya Roesly memberikan konfirmasi terbitnya Perpres tersebut dan mengatakan bahwa PII siap untuk melaksanakannya. “Ini momentum yang sangat penting, karena terbitnya Perpres ini memungkinkan proses penjaminan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia dapat segera dilakukan percepatan,” jelas Sinthya Roesly.
Selain Perpres Nomor 78 tahun 2010, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 260/PMK.011/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang ditandangani oleh Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo pada tanggal 31 Desember 2010. “Kami memberikan apresiasi kepada Pemerintah atas terbitnya kedua Dasar Hukum ini. Hal ini menunjukkan tingginya komitmen Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia,” jelas Sinthya Roesly.
Dengan terbitnya regulasi tersebut, mengokohkan status dan keberadaan PII sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Perpres No. 78 Tahun 2010 yang didirikan Pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia dengan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP).
Kehadiran PII diharapkan akan mendorong masuknya pendanaan dari swasta untuk sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund terhadap proyek infrastruktur tersebut. PII diharapkan dapat menjawab salah satu kekhawatiran swasta atas risiko berinvestasi pada proyek infrastruktur publik yang umumnya memiliki jangka waktu 15 hingga 25 tahun, khususnya yang terkait dengan risiko yang timbul akibat perubahan kebijakan pemerintah.
PII bertindak sebagai penjamin (guarantee provider) kepada sektor swasta atas berbagai risiko infrastruktur yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan atau non tindakan Pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian finansial atas kontrak KPS infrastruktur, seperti keterlambatan pengurusan perijinan, lisensi, perubahan peraturan perundangan, ketiadaan penyesuain tariff, kegagalan pengintegrasian jaringan/fasilitas dan risiko-risiko lainnya yang ditanggung pemerintah dalam masing-masing kontrak KPS.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, disamping kelengkapan regulasi yang diterbitkan, Pembentukan PII sebagai BUMN perseroan agar dapat berinteraksi dengan pihak swasta untuk kepentingan publik dengan cara-cara yang market friendly dengan tetap memperhatikan kepentingan publik.
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) berkomitmen untuk memberikan jaminan pada proyek-proyek infrastruktur tanah air, selama proyek tersebut memenuhi syarat kelayakan finansial.
Selain itu, proyek infrastruktur juga harus memenuhi syarat lainnya yang tertuang dalam regulasi tentang fungsi lembaga penjaminan milik pemerintah tersebut.
Kepala Pusat Pengelolaan Resiko Fiskal Kemenkeu, sekaligus Komisaris PT PII, Freddy R Saragih menyatakan penjaminan yang diberikan pemerintah melalui PII harus sesuai dengan regulasi pelaksanaan kerjasama pemerintah swasta (KPS).
Regulasi itu tertuang dalam Perpres No.13/2010 tentang perubahan Perpres No.67/2005, dan Perpres No.78/2010 tentang penjaminan infrastruktur dalam proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha.
Artinya, hanya proyek-proyek yang memenuhi syarat dari regulasi tersebutlah yang akan mendapatkan penjaminan pemerintah melalui lembaga penjaminannya dengan sistem penjaminan single window policy.
Selain itu, pemberian jaminan juga diberikan setelah proses pengajuan penjaminan dipenuhi pemilik proyek tersebut.
Salah satu syarat pemberian jaminan, katanya, adanya penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) yang akan bertanggung jawab akan proyek atas kesepakatan antara project company dan PJPK dalam penyediaan infrastruktur yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang memuat a.l memuat hak, dan kewajiban dari masing-masing pihak.
"Kemudian, PII akan menjamin kewajiban-kewajiban PJPK kepada project company yang dituangkan dalam perjanjian penjaminan," ujar Freddy, hari ini. (gak)
http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/13870-pt-pii-berkomitmen-jamin-proyek-infrastruktur
*********************
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) tahun ini butuh tambahan modal Rp 1 triliun agar modalnya menjadi Rp 2 triliun. Ini dilakukan karena tingginya permintaan atas penjaminan pembiayaan proyek infrastruktur.
Demikian dokumen yang dipublikasikan Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Kementerian Keuangan di Jakarta, Rabu (17/2), pada persiapan Konferensi Tingkat Menteri Se-Asia Pasifik tentang Pembangunan Infrastruktur 2010. Kegiatan yang digelar di kawasan Kemayoran, Jakarta, 14-17 April 2010, ini diselenggarakan atas kerja sama pemerintah dan swasta (APMC PPP 2010), diikuti 53 negara.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu mengakui bahwa modal Rp 1 triliun yang diberikan pemerintah kepada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) tidak memadai. PII didirikan pada 30 Desember 2009.
”Harus ada jumlah yang memadai. Rp 1 triliun hanya cukup sebagai kick start (mengawali), tetapi untuk operasional perlu ditambah lagi,” katanya.
Selain pemerintah, PII juga mendapat dana cadangan dari Bank Dunia yang hanya bisa dicairkan jika risiko yang dijamin PII atas sebuah proyek terjadi.
PII hanya menjamin proyek BUMN dan terbatas di tiga sektor, yakni pembangkit listrik, jalan tol, dan pelabuhan.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, PII melengkapi seluruh kelengkapan finansial dari pemerintah untuk mendukung proyek infrastruktur, yakni ada Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah dan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bastary Panji Indra menyebutkan, lima proyek senilai 5 miliar dollar AS ditawarkan pemerintah pada APMC PPP 2010 dan Pameran Infrastruktur Asia 2010.
”Beberapa sudah ada investor yang tertarik, misalnya proyek di Pemalang, Jawa Tengah, ada enam investor. Tiga investor untuk jalur kereta Manggarai-Bandara Soekarno-Hatta,” katanya.
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/18/03063418/lembaga.penjamin.butuh.tamb...
Direktur Utama PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) Sinthya Roesly memberikan konfirmasi terbitnya Perpres tersebut dan mengatakan bahwa PII siap untuk melaksanakannya. “Ini momentum yang sangat penting, karena terbitnya Perpres ini memungkinkan proses penjaminan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia dapat segera dilakukan percepatan,” jelas Sinthya Roesly.
Selain Perpres Nomor 78 tahun 2010, Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 260/PMK.011/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penjaminan Infrastruktur Dalam Proyek Kerjasama Pemerintah Dengan Badan Usaha yang ditandangani oleh Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo pada tanggal 31 Desember 2010. “Kami memberikan apresiasi kepada Pemerintah atas terbitnya kedua Dasar Hukum ini. Hal ini menunjukkan tingginya komitmen Pemerintah untuk percepatan pembangunan infrastruktur Indonesia,” jelas Sinthya Roesly.
Dengan terbitnya regulasi tersebut, mengokohkan status dan keberadaan PII sebagai Badan Usaha Penjaminan Infrastruktur sebagaimana dimaksud dalam Perpres No. 78 Tahun 2010 yang didirikan Pemerintah untuk mendorong percepatan pembangunan proyek-proyek infrastruktur di Indonesia dengan skema Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS) atau Public Private Partnership (PPP).
Kehadiran PII diharapkan akan mendorong masuknya pendanaan dari swasta untuk sektor infrastruktur di Indonesia melalui peningkatan kelayakan kredit (creditworthiness) yang dapat berdampak pada penurunan cost of fund terhadap proyek infrastruktur tersebut. PII diharapkan dapat menjawab salah satu kekhawatiran swasta atas risiko berinvestasi pada proyek infrastruktur publik yang umumnya memiliki jangka waktu 15 hingga 25 tahun, khususnya yang terkait dengan risiko yang timbul akibat perubahan kebijakan pemerintah.
PII bertindak sebagai penjamin (guarantee provider) kepada sektor swasta atas berbagai risiko infrastruktur yang mungkin timbul sebagai akibat dari tindakan atau non tindakan Pemerintah yang dapat menimbulkan kerugian finansial atas kontrak KPS infrastruktur, seperti keterlambatan pengurusan perijinan, lisensi, perubahan peraturan perundangan, ketiadaan penyesuain tariff, kegagalan pengintegrasian jaringan/fasilitas dan risiko-risiko lainnya yang ditanggung pemerintah dalam masing-masing kontrak KPS.
Untuk dapat menjalankan fungsinya dengan baik, disamping kelengkapan regulasi yang diterbitkan, Pembentukan PII sebagai BUMN perseroan agar dapat berinteraksi dengan pihak swasta untuk kepentingan publik dengan cara-cara yang market friendly dengan tetap memperhatikan kepentingan publik.
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) berkomitmen untuk memberikan jaminan pada proyek-proyek infrastruktur tanah air, selama proyek tersebut memenuhi syarat kelayakan finansial.
Selain itu, proyek infrastruktur juga harus memenuhi syarat lainnya yang tertuang dalam regulasi tentang fungsi lembaga penjaminan milik pemerintah tersebut.
Kepala Pusat Pengelolaan Resiko Fiskal Kemenkeu, sekaligus Komisaris PT PII, Freddy R Saragih menyatakan penjaminan yang diberikan pemerintah melalui PII harus sesuai dengan regulasi pelaksanaan kerjasama pemerintah swasta (KPS).
Regulasi itu tertuang dalam Perpres No.13/2010 tentang perubahan Perpres No.67/2005, dan Perpres No.78/2010 tentang penjaminan infrastruktur dalam proyek kerjasama pemerintah dengan badan usaha.
Artinya, hanya proyek-proyek yang memenuhi syarat dari regulasi tersebutlah yang akan mendapatkan penjaminan pemerintah melalui lembaga penjaminannya dengan sistem penjaminan single window policy.
Selain itu, pemberian jaminan juga diberikan setelah proses pengajuan penjaminan dipenuhi pemilik proyek tersebut.
Salah satu syarat pemberian jaminan, katanya, adanya penanggung jawab proyek kerjasama (PJPK) yang akan bertanggung jawab akan proyek atas kesepakatan antara project company dan PJPK dalam penyediaan infrastruktur yang dituangkan dalam perjanjian kerjasama yang memuat a.l memuat hak, dan kewajiban dari masing-masing pihak.
"Kemudian, PII akan menjamin kewajiban-kewajiban PJPK kepada project company yang dituangkan dalam perjanjian penjaminan," ujar Freddy, hari ini. (gak)
http://www.bisnis.com/infrastruktur/properti/13870-pt-pii-berkomitmen-jamin-proyek-infrastruktur
*********************
PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) tahun ini butuh tambahan modal Rp 1 triliun agar modalnya menjadi Rp 2 triliun. Ini dilakukan karena tingginya permintaan atas penjaminan pembiayaan proyek infrastruktur.
Demikian dokumen yang dipublikasikan Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal Kementerian Keuangan di Jakarta, Rabu (17/2), pada persiapan Konferensi Tingkat Menteri Se-Asia Pasifik tentang Pembangunan Infrastruktur 2010. Kegiatan yang digelar di kawasan Kemayoran, Jakarta, 14-17 April 2010, ini diselenggarakan atas kerja sama pemerintah dan swasta (APMC PPP 2010), diikuti 53 negara.
Sebelumnya, Kepala Badan Kebijakan Fiskal Anggito Abimanyu mengakui bahwa modal Rp 1 triliun yang diberikan pemerintah kepada PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) tidak memadai. PII didirikan pada 30 Desember 2009.
”Harus ada jumlah yang memadai. Rp 1 triliun hanya cukup sebagai kick start (mengawali), tetapi untuk operasional perlu ditambah lagi,” katanya.
Selain pemerintah, PII juga mendapat dana cadangan dari Bank Dunia yang hanya bisa dicairkan jika risiko yang dijamin PII atas sebuah proyek terjadi.
PII hanya menjamin proyek BUMN dan terbatas di tiga sektor, yakni pembangkit listrik, jalan tol, dan pelabuhan.
Menurut Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Armida Alisjahbana, PII melengkapi seluruh kelengkapan finansial dari pemerintah untuk mendukung proyek infrastruktur, yakni ada Badan Layanan Umum Pusat Investasi Pemerintah dan PT Sarana Multi Infrastruktur.
Direktur Pengembangan Kerja Sama Pemerintah Swasta Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Bastary Panji Indra menyebutkan, lima proyek senilai 5 miliar dollar AS ditawarkan pemerintah pada APMC PPP 2010 dan Pameran Infrastruktur Asia 2010.
”Beberapa sudah ada investor yang tertarik, misalnya proyek di Pemalang, Jawa Tengah, ada enam investor. Tiga investor untuk jalur kereta Manggarai-Bandara Soekarno-Hatta,” katanya.
Sumber:
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/02/18/03063418/lembaga.penjamin.butuh.tamb...
Bebaskan Lahan, Pemerintah Siapkan Rp 4,9 Triliun
Guna mendukung akselerasi pembangunan infrastruktur tahun 2011-2014 pemerintah anggarkan Rp4,9 triliun untuk pembebasan lahan untuk periode 2008-2013.
Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati jika pengolahan dana ini nantinya akan dialokasikan kepada badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
"Anggaran pembebasan lahan ini dialokasikan untuk membantu investor mengakuisisi lahan yang harganya tidak pasti," kata Anny di acara International Infrastructure Conference and Exhibition 2011, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2011).
Selain dukungan dana akuisisi lahan, pemerintah juga melakukan dukungan lewat dana infrastruktur di bawah perusahaan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan anak usahanya, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). "Perusahaan-perusahaan ini akan membantu investor untuk mengakses pembiayaan dalam negeri," tambahnya.
Selain itu, tambah Anny, Kementerian Keuangan juga telah memiliki PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) untuk memberikan jaminan pada proyek-proyek kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau yang lebih dikenal dengan proyek Public Private Partnership (PPP). "Tahun ini modal PII diharapkan dapat mencapai Rp3,5 triliun sehingga proyek yang dijamin bisa lebih banyak," katanya.
Ia mencontohkan proyek PPP yang telah dijamin PII adalah proyek PLTU di Jawa Tengah dengan nilai Rp30 triliun. Saat ini proyek tersebut telah menjaring 7 bidder potensial dari perusahaan IPP terkemuka di dunia.
Anny, melanjutkan kerangka untuk membuat gap dari proyek-proyek yang secara ekonomi layak, namun aksesnya terhadap lembaga keuangan minim. Hal ini melalui the framework of viability gap fund (VGF).
"Selain itu, pemerintah juga telah menugaskan Pusat Invetasi Pemerintah (PIP) untuk masuk ke sektor geothermal sejak tahun lalu. Kami harapkan tahun ini pembiayaannya akan mulai berjalan," tandasnya.
(wdi)
http://economy.okezone.com/read/2011/04/12/320/445193/bebaskan-lahan-pemerintah-siapkan-rp4-9-triliun
Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawati jika pengolahan dana ini nantinya akan dialokasikan kepada badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian Pekerjaan Umum (PU).
"Anggaran pembebasan lahan ini dialokasikan untuk membantu investor mengakuisisi lahan yang harganya tidak pasti," kata Anny di acara International Infrastructure Conference and Exhibition 2011, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2011).
Selain dukungan dana akuisisi lahan, pemerintah juga melakukan dukungan lewat dana infrastruktur di bawah perusahaan PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) dan anak usahanya, PT Indonesia Infrastructure Finance (IIF). "Perusahaan-perusahaan ini akan membantu investor untuk mengakses pembiayaan dalam negeri," tambahnya.
Selain itu, tambah Anny, Kementerian Keuangan juga telah memiliki PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (PII) untuk memberikan jaminan pada proyek-proyek kerjasama pemerintah dan swasta (KPS) atau yang lebih dikenal dengan proyek Public Private Partnership (PPP). "Tahun ini modal PII diharapkan dapat mencapai Rp3,5 triliun sehingga proyek yang dijamin bisa lebih banyak," katanya.
Ia mencontohkan proyek PPP yang telah dijamin PII adalah proyek PLTU di Jawa Tengah dengan nilai Rp30 triliun. Saat ini proyek tersebut telah menjaring 7 bidder potensial dari perusahaan IPP terkemuka di dunia.
Anny, melanjutkan kerangka untuk membuat gap dari proyek-proyek yang secara ekonomi layak, namun aksesnya terhadap lembaga keuangan minim. Hal ini melalui the framework of viability gap fund (VGF).
"Selain itu, pemerintah juga telah menugaskan Pusat Invetasi Pemerintah (PIP) untuk masuk ke sektor geothermal sejak tahun lalu. Kami harapkan tahun ini pembiayaannya akan mulai berjalan," tandasnya.
(wdi)
http://economy.okezone.com/read/2011/04/12/320/445193/bebaskan-lahan-pemerintah-siapkan-rp4-9-triliun
Perkembangan Nasib Amendemen PPJT 24 Ruas Tol
Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengakui nasib amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) 24 ruas tol mangkrak yang lolos evaluasi pemerintah sejak akhir tahun lalu, sampai sekarang belum jelas.
"Kalau ditanya kapan ditandatangani PPJT hasil amandemen ruas tol Cikampek-Palimanan, saya belum bisa jawab," kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum, Ahmad Gani Ghazali di sela Peresmian Flyover Balaraja oleh Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, di Balaraja, Tangerang, Banten, Rabu (27/4).
Gani tidak menolak pernyataan, jika satu ruas yang disebut-sebut sebagai proyek percontohan ruas tol hasil evaluasi yakni Cikampek-Palimanan saja, belum tuntas amandemen PPJT-nya, maka nasib 23 ruas lainnya belum bisa dipastikan akan berlanjut atau tidak.
Bahkan, Gani mengaku, dari 24 ruas itu, satu ruas yakni Batang-Semarang proses amandemen PPJT-nya ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. "Ya ruas itu, di-hold (ditahan) dulu sampai ada kejelasan dan kepastian penyelesaian perubahan pemegang saham di ruas itu," katanya.
Gani juga menegaskan adalah bohong jika peminat akuisisi saham yakni Bakrie Toll Road telah menuntaskan proses akuisi pada salah satu pemegang saham ruas Batang-Semarang.
"Bohong, kalau ada pernyataan bahwa proses akuisisinya sudah tuntas. Saat ini mereka melaporkan ada persoalan terhadap lima persen saham yakni antara 70:30 dan 65 :35," katanya.
Padahal, Gani ketika menyampaikan hasil evaluasi 24 ruas tol akhir tahun lalu, saat itu disebut-sebut proses amendemen PPJT ke-24 ruas tol itu akan dituntaskan pada kuartal pertama 2012. (Ant/OL-2)
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/221521/21/2/Belum-Jelas-Amendemen-PPJT-24-Ruas-Tol
******************8
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengkaji keberatan yang disampaikan Asosiasi Tol Indonesia (ATI) mengenai draf hasil evaluasi 24 ruas tol mangkrak yang dianggap memberatkan investor dalam hal ini badan usaha jalan tol (BUJT).
Kepala BPJT Ahmad Gani Ghazali di Banten, Rabu (27/4) menyatakan, pihaknya siap mengkaji ulang isi amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) terhadap 24 ruas tol mangkrak, jika BUJT yang disampaikan oleh ATI merasa keberatan dengan amendemen yang saat ini masih digodok oleh pemerintah tersebut.
Sebanyak 24 ruas toal yang nasib amendemen PPJT (perjanjian pengusahaan jalan tol) belum jelas itu diantaranya sembilan ruas tol Trans Jawa yakni, Cikampek-Palimanan (116 Km), Pejagan-Pemalang (57,5 Km), Pemalang-Batang (39 Km), Batang-Semarang (75 Km), Semarang-Solo (75,7), Solo-Mantingan-Ngawi (90,1 Km), Ngawi-Kertosono (87 Km), Kertosono-Mojokerto (40,5), Surabaya-Mojokerto (36,27).
"Kami siap mengkaji ulang jika BUJT keberatan dengan isi amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol yang saat ini masih dalam bentuk draf, kami juga siap menerima usulan dari pihak asosiasi yang diwakili oleh ATI," kata Gani.
Namun, kata Gani, sampai saat ini pihaknya belum menerima surat keberatan dari ATI terkait amendemen PPJT tersebut. "Sampai sekarang, saya belum terima suratnya, nanti kita cek dulu lah," ujarnya.
Sementara itu, Ketua ATI Fatchur Rochman mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto pada minggu kemarin. Dalam suratnya, ATI merekomendasikan lima butir untuk dimasukkan dalam draf amendemen PPJT, di antaranya masalah pengadaan tanah. ATI meminta agar biaya pengadaan tanah untuk 24 ruas tol tersebut sepenuhnya menggunakan BLU (Badan Layanan Umum). (Ant/OL-2)
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/28/221523/21/2/Kementerian-PU-Kaji-Keberatan-Asosiasi-Tol-Indonesia
"Kalau ditanya kapan ditandatangani PPJT hasil amandemen ruas tol Cikampek-Palimanan, saya belum bisa jawab," kata Kepala Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Kementerian Pekerjaan Umum, Ahmad Gani Ghazali di sela Peresmian Flyover Balaraja oleh Menteri Pekerjaan Umum, Djoko Kirmanto, di Balaraja, Tangerang, Banten, Rabu (27/4).
Gani tidak menolak pernyataan, jika satu ruas yang disebut-sebut sebagai proyek percontohan ruas tol hasil evaluasi yakni Cikampek-Palimanan saja, belum tuntas amandemen PPJT-nya, maka nasib 23 ruas lainnya belum bisa dipastikan akan berlanjut atau tidak.
Bahkan, Gani mengaku, dari 24 ruas itu, satu ruas yakni Batang-Semarang proses amandemen PPJT-nya ditunda sampai batas waktu yang belum ditentukan. "Ya ruas itu, di-hold (ditahan) dulu sampai ada kejelasan dan kepastian penyelesaian perubahan pemegang saham di ruas itu," katanya.
Gani juga menegaskan adalah bohong jika peminat akuisisi saham yakni Bakrie Toll Road telah menuntaskan proses akuisi pada salah satu pemegang saham ruas Batang-Semarang.
"Bohong, kalau ada pernyataan bahwa proses akuisisinya sudah tuntas. Saat ini mereka melaporkan ada persoalan terhadap lima persen saham yakni antara 70:30 dan 65 :35," katanya.
Padahal, Gani ketika menyampaikan hasil evaluasi 24 ruas tol akhir tahun lalu, saat itu disebut-sebut proses amendemen PPJT ke-24 ruas tol itu akan dituntaskan pada kuartal pertama 2012. (Ant/OL-2)
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/221521/21/2/Belum-Jelas-Amendemen-PPJT-24-Ruas-Tol
******************8
Kementerian Pekerjaan Umum (PU) mengkaji keberatan yang disampaikan Asosiasi Tol Indonesia (ATI) mengenai draf hasil evaluasi 24 ruas tol mangkrak yang dianggap memberatkan investor dalam hal ini badan usaha jalan tol (BUJT).
Kepala BPJT Ahmad Gani Ghazali di Banten, Rabu (27/4) menyatakan, pihaknya siap mengkaji ulang isi amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol (PPJT) terhadap 24 ruas tol mangkrak, jika BUJT yang disampaikan oleh ATI merasa keberatan dengan amendemen yang saat ini masih digodok oleh pemerintah tersebut.
Sebanyak 24 ruas toal yang nasib amendemen PPJT (perjanjian pengusahaan jalan tol) belum jelas itu diantaranya sembilan ruas tol Trans Jawa yakni, Cikampek-Palimanan (116 Km), Pejagan-Pemalang (57,5 Km), Pemalang-Batang (39 Km), Batang-Semarang (75 Km), Semarang-Solo (75,7), Solo-Mantingan-Ngawi (90,1 Km), Ngawi-Kertosono (87 Km), Kertosono-Mojokerto (40,5), Surabaya-Mojokerto (36,27).
"Kami siap mengkaji ulang jika BUJT keberatan dengan isi amendemen perjanjian pengusahaan jalan tol yang saat ini masih dalam bentuk draf, kami juga siap menerima usulan dari pihak asosiasi yang diwakili oleh ATI," kata Gani.
Namun, kata Gani, sampai saat ini pihaknya belum menerima surat keberatan dari ATI terkait amendemen PPJT tersebut. "Sampai sekarang, saya belum terima suratnya, nanti kita cek dulu lah," ujarnya.
Sementara itu, Ketua ATI Fatchur Rochman mengatakan, pihaknya sudah mengirimkan surat kepada Menteri Pekerjaan Umum (PU), Djoko Kirmanto pada minggu kemarin. Dalam suratnya, ATI merekomendasikan lima butir untuk dimasukkan dalam draf amendemen PPJT, di antaranya masalah pengadaan tanah. ATI meminta agar biaya pengadaan tanah untuk 24 ruas tol tersebut sepenuhnya menggunakan BLU (Badan Layanan Umum). (Ant/OL-2)
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/28/221523/21/2/Kementerian-PU-Kaji-Keberatan-Asosiasi-Tol-Indonesia
Selasa, 19 April 2011
Realisasikan Infrastruktur
Kalangan pengusaha nasional meminta pemerintah segera merealisasikan kebijakan pendukung pendanaan pembangunan infrastruktur sebagai bagian dari upaya percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia. Pengusaha nasional berkomitmen menginvestasikan dana Rp 1.350 triliun untuk mendukung rencana perluasan dan percepatan pembangunan itu.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Suryo B Sulisto menegaskan hal itu dalam sambutannya pada pengujung rapat kerja pemerintah dengan dunia usaha, Selasa (19/4) di Istana Bogor, Jawa Barat. Rapat kerja akbar ini dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, para menteri, para gubernur, dan para pengusaha.
Rapat bertujuan menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Rencana induk (masterplan) ini intinya berisikan rencana detail pembangunan ekonomi di wilayah Indonesia yang dibagi dalam enam koridor.
Dalam desain rencana induk itu, pembangunan di setiap koridor memerlukan peran aktif BUMN dan kalangan pengusaha nasional. Rapat perencanaan induk pada Februari lalu mempertemukan pemerintah dengan BUMN dan menghasilkan komitmen investasi Rp 836,5 triliun.
Ekonom Fadhil Hasan menegaskan, rencana induk ini hanya dapat memberikan hasil yang maksimal dan konkret jika sifatnya mengikat. Ikatan harus dibuat atas semua pihak yang memberikan komitmen, yakni pemerintah dan dunia usaha.
Pemerintah harus diikat untuk menjalankan janjinya dalam memberikan keringanan yang menjadi komitmen mereka dalam rencana induk ini. Adapun dunia usaha harus diikat atas semua janji investasinya.
Penegasan Fadhil ini mengingat pemerintah sejak Februari 2010 telah melakukan rapat kerja dengan sejumlah komitmen, tetapi belum terlihat hasil konkret. Rapat kerja itu, antara lain, di Istana Cipanas, Jawa Barat (2-3 Februari 2010); Istana Tampak Siring, Bali (19-21 April 2010); Istana Bogor (5-6 Agustus 2010); dan Istana Bogor (21-22 Februari 2011).
Dana infrastruktur
Suryo menuturkan, ada beberapa kebijakan pendukung pendanaan pembangunan infrastruktur yang diperlukan kalangan swasta nasional. Salah satunya ialah mendorong dan mengarahkan institusional investor dalam negeri, seperti lembaga asuransi, pengelola dana pensiun dan jaminan sosial untuk menempatkan dana mereka pada deposito, atau instrumen investasi yang bersifat jangka menengah (5 tahun) serta jangka panjang (10 tahun).
”Mereka tidak menyimpan dalam jangka pendek satu tahun seperti saat ini. Hal itu akan lebih menjamin ketersediaan dana untuk membiayai proyek jangka menengah/panjang, seperti proyek infrastruktur,” ujar Suryo.
Kebijakan lain yang diperlukan adalah mempercepat berdirinya Bank Pembangunan Indonesia. Kadin, menurut Suryo, sedang mempersiapkan konsep pendirian bank tersebut yang akan disampaikan dalam waktu dekat kepada pemerintah.
Kadin juga meminta agar pemerintah menjamin keamanan pasokan energi. Oleh karena itu, menurut Suryo, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah, antara lain mengembangkan energi alternatif terbarukan dengan menggunakan sumber daya energi lokal, seperti hidro dan mini hidro, geotermal, serta bioenergi. Pemerintah juga diminta mengembangkan pembangunan pusat listrik tenaga uap di mulut tambang.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan, rapat kerja intensif pemerintah bersama dunia usaha baru kali ini terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Ia berharap, ini menjadi awal adanya Indonesia Incorporated.
Rapat intensif itu membuat para pengusaha dapat dengan leluasa mengutarakan keluhan kepada para gubernur dan menteri. ”Masing-masing pihak saling bertemu dan menyampaikan keluhan,” ujar Sofjan.
Namun, Sofjan mengingatkan, hal penting pasca-pertemuan itu adalah realisasi dari rencana yang sudah disusun. Oleh karena itu, ia meminta agar pembentukan komite pengawas pelaksanaan rencana induk ini dapat diwujudkan. ”Pengusaha sebaiknya diikutkan dalam komite itu sehingga bisa ikut memantau pelaksanaan dan tidak dibiarkan dalam kondisi tidak tahu-menahu,” tuturnya.
Bank infrastruktur
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kerja pemerintah dengan kalangan dunia usaha di Istana Bogor menegaskan, pemerintah masih mempertimbangkan usulan kalangan dunia usaha untuk membentuk bank pembangunan infrastruktur. Melalui pembentukan bank ini diharapkan semakin mempermudah pembiayaan proyek infrastruktur yang pada akhirnya akan berimplikasi terhadap percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
”Bisa saja pemerintah mendirikan bank baru, tetapi studi kelayakannya harus bagus, bank ini dedikasikan untuk apa. Ada yang menyarankan seperti di China, ada Bank Pertanian China, lalu ini ada usulan bank infrastruktur,” ungkap Presiden.
”Tolong itu dikaji cepat, apakah itu solusi di luar perbankan yang reguler. Kalau itu solusi, mengapa tidak (dibentuk). Saya tidak bisa mengiyakan sekarang, tetapi saya terbuka dengan usulan itu. Kalau Kadin punya proposal, ajukan dan kaji dengan obyektif,” kata Presiden.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menilai, keberadaan lembaga pembiayaan untuk infrastruktur sangat penting. Meski demikian, apakah itu nantinya berbentuk bank atau lembaga pembiayaan lain, seperti halnya di India ada semacam obligasi infrastruktur, hal itu masih perlu dikaji lagi.
”Saya lebih cenderung, sudah saatnya kita punya dana infrastruktur (lembaga pembiayaan infrastruktur) yang bisa dikelola dari pasar. India memberikan kemudahan bagi perusahaan mereka mengeluarkan surat berharga infrastruktur,” katanya.
Hatta melihat Indonesia punya peluang besar untuk memanfaatkan arus modal masuk. ”Dana-dana itu banyak sekali, bisa dimanfaatkan untuk infrastruktur. Proyek seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandar udara kita sangat diminati karena pendapatannya jelas,” katanya.
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/20/04563964/Realisasikan.Infrastruktur
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia Suryo B Sulisto menegaskan hal itu dalam sambutannya pada pengujung rapat kerja pemerintah dengan dunia usaha, Selasa (19/4) di Istana Bogor, Jawa Barat. Rapat kerja akbar ini dihadiri Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, para menteri, para gubernur, dan para pengusaha.
Rapat bertujuan menyusun Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2011-2025. Rencana induk (masterplan) ini intinya berisikan rencana detail pembangunan ekonomi di wilayah Indonesia yang dibagi dalam enam koridor.
Dalam desain rencana induk itu, pembangunan di setiap koridor memerlukan peran aktif BUMN dan kalangan pengusaha nasional. Rapat perencanaan induk pada Februari lalu mempertemukan pemerintah dengan BUMN dan menghasilkan komitmen investasi Rp 836,5 triliun.
Ekonom Fadhil Hasan menegaskan, rencana induk ini hanya dapat memberikan hasil yang maksimal dan konkret jika sifatnya mengikat. Ikatan harus dibuat atas semua pihak yang memberikan komitmen, yakni pemerintah dan dunia usaha.
Pemerintah harus diikat untuk menjalankan janjinya dalam memberikan keringanan yang menjadi komitmen mereka dalam rencana induk ini. Adapun dunia usaha harus diikat atas semua janji investasinya.
Penegasan Fadhil ini mengingat pemerintah sejak Februari 2010 telah melakukan rapat kerja dengan sejumlah komitmen, tetapi belum terlihat hasil konkret. Rapat kerja itu, antara lain, di Istana Cipanas, Jawa Barat (2-3 Februari 2010); Istana Tampak Siring, Bali (19-21 April 2010); Istana Bogor (5-6 Agustus 2010); dan Istana Bogor (21-22 Februari 2011).
Dana infrastruktur
Suryo menuturkan, ada beberapa kebijakan pendukung pendanaan pembangunan infrastruktur yang diperlukan kalangan swasta nasional. Salah satunya ialah mendorong dan mengarahkan institusional investor dalam negeri, seperti lembaga asuransi, pengelola dana pensiun dan jaminan sosial untuk menempatkan dana mereka pada deposito, atau instrumen investasi yang bersifat jangka menengah (5 tahun) serta jangka panjang (10 tahun).
”Mereka tidak menyimpan dalam jangka pendek satu tahun seperti saat ini. Hal itu akan lebih menjamin ketersediaan dana untuk membiayai proyek jangka menengah/panjang, seperti proyek infrastruktur,” ujar Suryo.
Kebijakan lain yang diperlukan adalah mempercepat berdirinya Bank Pembangunan Indonesia. Kadin, menurut Suryo, sedang mempersiapkan konsep pendirian bank tersebut yang akan disampaikan dalam waktu dekat kepada pemerintah.
Kadin juga meminta agar pemerintah menjamin keamanan pasokan energi. Oleh karena itu, menurut Suryo, ada beberapa hal yang perlu dilakukan pemerintah, antara lain mengembangkan energi alternatif terbarukan dengan menggunakan sumber daya energi lokal, seperti hidro dan mini hidro, geotermal, serta bioenergi. Pemerintah juga diminta mengembangkan pembangunan pusat listrik tenaga uap di mulut tambang.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sofjan Wanandi menyatakan, rapat kerja intensif pemerintah bersama dunia usaha baru kali ini terjadi sepanjang sejarah Indonesia. Ia berharap, ini menjadi awal adanya Indonesia Incorporated.
Rapat intensif itu membuat para pengusaha dapat dengan leluasa mengutarakan keluhan kepada para gubernur dan menteri. ”Masing-masing pihak saling bertemu dan menyampaikan keluhan,” ujar Sofjan.
Namun, Sofjan mengingatkan, hal penting pasca-pertemuan itu adalah realisasi dari rencana yang sudah disusun. Oleh karena itu, ia meminta agar pembentukan komite pengawas pelaksanaan rencana induk ini dapat diwujudkan. ”Pengusaha sebaiknya diikutkan dalam komite itu sehingga bisa ikut memantau pelaksanaan dan tidak dibiarkan dalam kondisi tidak tahu-menahu,” tuturnya.
Bank infrastruktur
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam rapat kerja pemerintah dengan kalangan dunia usaha di Istana Bogor menegaskan, pemerintah masih mempertimbangkan usulan kalangan dunia usaha untuk membentuk bank pembangunan infrastruktur. Melalui pembentukan bank ini diharapkan semakin mempermudah pembiayaan proyek infrastruktur yang pada akhirnya akan berimplikasi terhadap percepatan pembangunan infrastruktur di Indonesia.
”Bisa saja pemerintah mendirikan bank baru, tetapi studi kelayakannya harus bagus, bank ini dedikasikan untuk apa. Ada yang menyarankan seperti di China, ada Bank Pertanian China, lalu ini ada usulan bank infrastruktur,” ungkap Presiden.
”Tolong itu dikaji cepat, apakah itu solusi di luar perbankan yang reguler. Kalau itu solusi, mengapa tidak (dibentuk). Saya tidak bisa mengiyakan sekarang, tetapi saya terbuka dengan usulan itu. Kalau Kadin punya proposal, ajukan dan kaji dengan obyektif,” kata Presiden.
Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menilai, keberadaan lembaga pembiayaan untuk infrastruktur sangat penting. Meski demikian, apakah itu nantinya berbentuk bank atau lembaga pembiayaan lain, seperti halnya di India ada semacam obligasi infrastruktur, hal itu masih perlu dikaji lagi.
”Saya lebih cenderung, sudah saatnya kita punya dana infrastruktur (lembaga pembiayaan infrastruktur) yang bisa dikelola dari pasar. India memberikan kemudahan bagi perusahaan mereka mengeluarkan surat berharga infrastruktur,” katanya.
Hatta melihat Indonesia punya peluang besar untuk memanfaatkan arus modal masuk. ”Dana-dana itu banyak sekali, bisa dimanfaatkan untuk infrastruktur. Proyek seperti jalan tol, pelabuhan, dan bandar udara kita sangat diminati karena pendapatannya jelas,” katanya.
http://cetak.kompas.com/read/2011/04/20/04563964/Realisasikan.Infrastruktur
ERP Batal Diterapkan Tahun Ini
Electronic Road Pricing (ERP) lagi-lagi batal diterapkan di Jakarta. Pasalnya, hingga saat ini peraturan pemerintah (PP) terkait ERP belum dapat diterbitkan pemerintah pusat. Bahkan Kementerian Keuangan memprediksi PP itu baru diterbitkan akhir 2011.
Padahal, setelah PP ERP diterbitkan pemerintah pusat, Pemprov DKI membutuhkan waktu untuk membuat peraturan daerah (perda) turunan PP tersebut.
Pemprov DKI juga membutuhkan waktu untuk penyediaan infrastruktur ERP antara enam bulan hingga satu tahun. Karena itu, pemprov DKI menargetkan ERP baru bisa dilaksanakan pada pertengahan tahun 2012 atau bahkan akhir 2012.
Direktur Pajak Daerah Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Budi Sitepu mengakui rancangan PP tentang ERP belum bisa diterbitkan pemerintah pusat karena pihaknya masih mengkaji penerapan ERP yang akan berlaku secara nasional.
Budi menegaskan, dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ERP, Kemenkeu tidak ada masalah sama sekali. Bahkan mendukung pelaksanaan ERP di DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Menurut Budi, pihaknya memprediksi RPP tentang ERP baru bisa dikeluarkan sebelum akhir tahun 2011, sehingga proses penyiapan penerapan PP ERP beserta perda turunannya, juga penyediaan infrastrukstur ERP bisa dipercepat.
"Kita akan kebut proses penyelesaian RPP ERP. Diharapkan sebelum akhir 2011, PP ERP sudah bisa keluar. Sehingga proses penyiapan terkait penerapan ERP bisa dipercepat," kata Budi dalam Workshop Teknologi ERP di Grand Cempaka, Selasa (19/4).
Salah satu yang menjadi kendala penerapan RPP tersebut, lanjutnya, karena ketika PP ERP terbit, maka ERP tidak hanya dapat diterapkan di DKI Jakarta, namun semua daerah bisa menerapkan konsep jalan berbayar.
Akan banyak kota-kota besar secara serentak menerapkan ERP untuk mencari uang yang bertujuan menambah pendapatan asli daerah (PAD). Padahal penerapan ERP tersebut tidak sesuai dengan kondisi lalu lintas di kota-kota besar tersebut.
"Karena itu dalam RPP ERP kita akan tetapkan kriteria khusus untuk menerapkan konsep ini, sehingga tidak semua penerapan ERP tersebut tidak sesuai dengan kondisi lalu lintas di kota-kota besar tersebut."
Salah satu kriteria yang akan ditentukan yaitu, perbandingan pertumbuhan rasio jalan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor di suatu wilayah. Lalu dilihat kondisi jalan yang ada dan tranportasi di kota tersebut. Sehingga dengan kriteria-kriteria tersebut, pemerintah provinsi, kota atau kabupaten di seluruh Indonesia tidak seenaknya menerapkan ERP. (Ssr/OL-9)
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/219334/35/5/ERP-Batal-Diterapkan-Tahun-Ini
Padahal, setelah PP ERP diterbitkan pemerintah pusat, Pemprov DKI membutuhkan waktu untuk membuat peraturan daerah (perda) turunan PP tersebut.
Pemprov DKI juga membutuhkan waktu untuk penyediaan infrastruktur ERP antara enam bulan hingga satu tahun. Karena itu, pemprov DKI menargetkan ERP baru bisa dilaksanakan pada pertengahan tahun 2012 atau bahkan akhir 2012.
Direktur Pajak Daerah Retribusi Daerah Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Budi Sitepu mengakui rancangan PP tentang ERP belum bisa diterbitkan pemerintah pusat karena pihaknya masih mengkaji penerapan ERP yang akan berlaku secara nasional.
Budi menegaskan, dalam penyusunan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) ERP, Kemenkeu tidak ada masalah sama sekali. Bahkan mendukung pelaksanaan ERP di DKI Jakarta untuk mengatasi kemacetan di Ibu Kota.
Menurut Budi, pihaknya memprediksi RPP tentang ERP baru bisa dikeluarkan sebelum akhir tahun 2011, sehingga proses penyiapan penerapan PP ERP beserta perda turunannya, juga penyediaan infrastrukstur ERP bisa dipercepat.
"Kita akan kebut proses penyelesaian RPP ERP. Diharapkan sebelum akhir 2011, PP ERP sudah bisa keluar. Sehingga proses penyiapan terkait penerapan ERP bisa dipercepat," kata Budi dalam Workshop Teknologi ERP di Grand Cempaka, Selasa (19/4).
Salah satu yang menjadi kendala penerapan RPP tersebut, lanjutnya, karena ketika PP ERP terbit, maka ERP tidak hanya dapat diterapkan di DKI Jakarta, namun semua daerah bisa menerapkan konsep jalan berbayar.
Akan banyak kota-kota besar secara serentak menerapkan ERP untuk mencari uang yang bertujuan menambah pendapatan asli daerah (PAD). Padahal penerapan ERP tersebut tidak sesuai dengan kondisi lalu lintas di kota-kota besar tersebut.
"Karena itu dalam RPP ERP kita akan tetapkan kriteria khusus untuk menerapkan konsep ini, sehingga tidak semua penerapan ERP tersebut tidak sesuai dengan kondisi lalu lintas di kota-kota besar tersebut."
Salah satu kriteria yang akan ditentukan yaitu, perbandingan pertumbuhan rasio jalan dengan pertumbuhan kendaraan bermotor di suatu wilayah. Lalu dilihat kondisi jalan yang ada dan tranportasi di kota tersebut. Sehingga dengan kriteria-kriteria tersebut, pemerintah provinsi, kota atau kabupaten di seluruh Indonesia tidak seenaknya menerapkan ERP. (Ssr/OL-9)
http://www.mediaindonesia.com/read/2011/04/04/219334/35/5/ERP-Batal-Diterapkan-Tahun-Ini
Minggu, 17 April 2011
ELECTRONIC ROAD PRICING (ERP) Salah Satu Solusi Masalah Kemacetan di Kota Jakarta
Oleh: DR. Bambang Susantono
Dari berbagai studi, dapat disimpulkan, kota Jakarta menghadapi permasalahan transportasi perkotaan yang sangat besar. Dalam keseharian, permasalahan yang dapat dilihat adalah kemacetan di hampir seluruh jaringan jalan di kota Jakarta dan sekitarnya. Tingkat kemacetan di kota Jakarta, apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, sudah termasuk dalam katagori yang membahayakan baik dari segi ekonomi dan sosialSecara umum, permasalahan transportasi di kota Jakarta dapat dikelompokan dalam beberapa hal berikut:
a. Sistem transportasi belum efisien sehingga menghambat aktifitas ekonomi.
Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Kerugian ekonomi per tahun pada tahun 2002 akibat inefisensi sistem transportasi diperkirakan sebesar 5.5 trilyun, di mana 3 trilyun untuk biaya operasi kendaraan, dan 2.5 trilyun untuk biaya waktu perjalanan (SITRAMP, 2004).
b. Sistem transportasi belum menjamin pemerataan untuk seluruh anggota masyarakat
Lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi, jumlah angkutan umum (bus) hanya 4%, sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007).
Proporsi volume lalu lintas pada beberapa koridor utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%. Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP, 2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%) dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%) (SITRAMP, 2004)
Fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor sangat minim
c. Besarnya kontribusi sistem transportasi terhadap dampak lingkungan
25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara menunjukkan kadar PM10 telah melebihi ambang batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang menunjukkan kadar PM10 mencapai lebih dari 2 kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan. Kerugian ekonomi akibat kualitas udara yang rendah diperkirakan mencapai 2.8 trilyun pada tahun 2002 (SITRAMP, 2004).
Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum tidak diperbaiki, maka akan terjadi peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan greenhouse gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan 2020 sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004).
d. Sistem transportasi belum memenuhi tingkat keselamatan dan keamanan
Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun Kereta Api masih tinggi. Untuk Kereta Api, dari tahun 2000-2002 terjadi 174 kecelakaan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara berkembang lain (SITRAM, 2004).
Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota mangalami penurunan dari sekitar 380 pada tahun 1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan tetapi proporsi jumlah korban dengan luka berat dan meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http://www.cmnp.co.id/).
Upaya Penanganan Belum Optimal
Berbagai solusi telah dilakukan Pemerintah DKI untuk mengatasi permasalahan transportasi perkotaan di kota Jakarta. Akan tetapi upaya-upaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan.
a. Area Traffic Control System (ATCS)
ATCS dimaksudkan untuk mengurangi waktu hambatan di persimpangan dengan mengoptimalkan sistem persimpangan dengan lampu lalu lintas, sehingga akan diperoleh gelombang hijau (green wave) antara satu persimpangan dengan persimpangan yang lain. Dengan green wave maka apabila pengguna jalan mendapatkan lampu hijau pada satu persimpangan dan pengguna jalan tersebut mengikuti batas kecepatan yang ditentukan, maka akan mendapat lampu hijau pada persimpangan berikutnya.
Solusi ini belum memberikan hasil yang diharapkan karena beban volume lalu lintas yang tinggi, banyaknya hambatan samping pada ruas jalan dan persimpangan, dan kondisi teknis infrastruktur ATCS yang kurang mamadai.
b. Aturan 3 in 1
Aturan ini mewajibkan semua kendaraan pribadi yang akan melewati jalan Sudirman dan Thamrin, berpenumpang 3 orang atau lebih termasuk pengemudi. Diterapkan hanya pada jam sibuk pagi dan sore.Skema ini sedikit banyak telah mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi pada koridor utama tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di Jakarta. Terdapat beberapa kelemahan dari skema ini antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal (jalan tikus) yang ada untuk menghindari daerah 3 in 1, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang, untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi 3, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.
c. Pengembangan Bus Rapid Transit (BRT)
Bus Rapid Transit (BRT) dikembangkan di Jakarta dengan membangun Bus Only Lane (Busway) di beberapa koridor utama di Jakarta. Busway dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum dan mampu menarik pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan angkutan umum ini (Busway) sehingga akan mengurangi kemacetan.
Solusi ini juga belum memberikan hasil yang optimal, Busway belum bisa berbuat banyak untuk menarik minat pengguna kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena opportunity cost dan standard kebutuhan kenyamanan pengguna kendaraan pribadi relatif tinggi dimana hal ini belum mampu dipenuhi oleh Busway, serta daerah pelayanan yang terbatas dan belum menjangkau daerah pinggiran Jakarta
d. Penertiban Parkir dan Pedagang Kaki Lima
Penggunaan ruas jalan untuk parkir (on-street parking) dan pedagang kaki lima (juga di trotoir) akan mengurangi kapasitas jalan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan upaya penertiban dengan melarang dan merazia pedagang kaki lima serta penggembokan terhadap kendaraan-kendaraan yang parkir pada ruas jalan yang tidak disediakan untuk parkir.
Upaya ini belum begitu efektif dan tidak terlihat dampaknya terhadap perbaikan lalu lintas. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya konsistensi kebijakan, penegakan aturan yang kurang maksimal, dan masih banyaknya area on-street parking yang diijinkan.
e. Pembangunan Ruas Jalan Toll Dalam Kota.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah dibangun beberapa ruas jalan toll di kota Jakarta sebagai upaya untuk menambah kapasitas jaringan jalan di Jakarta.
Pembangunan ruas jalan toll di Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan di Jakarta. Terdapat kecenderungan, peningkatan kapasitas jalan justru menjadi salah satu variabel yang mendorong penggunaan kendaraan pribadi.
Electronic Road Pricing (ERP)
Salah satu strategi dalam kebijakan system transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relative tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments), persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrument-instrument ekonomi (economic instruments).
a. Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi standar-standar, larangan-larangan dan prosedur administrasi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu, batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.
b. Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai contoh carpooling.
c. Economic instruments menggunakan insentif dan/atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan adalah road pricing.
Road Pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan Road Pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau Negara, atau suatu sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan.
Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum masal.
Ada beberapa pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan.
Tabel 1 – Pengelompokan Road Pricing
Nama Deskripsi Tujuan
Road toll (fixed rates) Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu. Untuk meningkatkan pendapatan dan investasi.
Congestion pricing (time-variable) Pengenaan biaya didasarkan atas kepadatan lalu lintas, jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi, namun sebaliknya jika lalu tidak padat maka biaya yang dikenakan akan rendah Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemacetan.
Cordon fees Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu Mengurangi kemacetan di pusat-pusat kota.
HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak bisa banyak menampung jumlah penumpang, akan dikenakan pungutan Untuk mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi kepada penggunaan kendaraan yang memilik daya tampung yang banyak, sehingga jumlah kendaraan di jalanraya dapat dikurangi.
Distance-based fees Biaya yang dikenakan terhadap kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi berbagai masalah lalu lintas.
Pay-As-You-Drive insurance Membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap. Mengurangi berbagi masalah lalu lintas khususnya kecelakaan lalu lintas.
Road space rationing Penggunaan batasan tertentu di jam-jam padat lalu lintas (misalnya berdasarkan nomor kendaraan) Untuk mengurangi kemacetan di Jalan-jalan utama atau di pusat-pusat kota.
Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu economic instruments yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencri rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut
Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Oslo, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain.
a. Singapore
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang masuk CBD pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP).
Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri.
Dampak diterapkanya congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing menurun sampai dengan 44%.
b. London
ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara.
Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil positif antara lain:
• Penurunan volume lalu lintas 15 %
• Penurunan kemacetan 30%
• Penurunan polusi 12% (NOx, PM10)
• Perjalanan menjadi lebih reliable
• Reliabilitas bus schedule meningkat signifikan
• Kecelakaan lalu lintas menurun
• Peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan
• Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging
• Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum
Beberapa hasil positif yang bisa dicatat adalah:
• Menurunnya prosentase lalu lintas ke/dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15%
• Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%
• Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.
Mengapa ERP
Permasalahan transportasi perkotaan di Jakarta mempunyai kecenderungan semakin bertambah parah. Indikasi ini bisa dilihat dari berbagai studi yang dipaparkan di awal tulisan ini. Apabila terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Jakarta akan mengalami kemacetan yang sangat parah atau bahkan macet total pada jam-jam sibuk
ERP diharapkan mampu mengurangi perjalanan dengan kendaraan pribadi dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu, terutama pada jam-jam sibuk.
Peningkatan kapasitas jalan tanpa dibarengi disinsentif terhadap pengguna kendaraan pribadi justru memungkinkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan lalu lintas, atau biasa dikenal dengan fenomena induced demand. Banyak studi telah mengungkapkan fenomena induced demand ini. Induced demand adalah sebuah fenomena dimana ketika supply ditambah maka konsumsi akan meningkat. Hal ini karena konsumsi tinggi yang tidak terlayani.
Beberapa studi di negara maju menunjukkan bahwa elastisitas permintaan perjalanan (traffic demand) terhadap penambahan kapasitas jalan berkisar antara 0 sampai 1. Artinya, jika kapasitas jalan meningkat sebesar 1% maka permintaan perjalanan juga akan meningkat. Bahkan untuk jangka panjang bisa melebihi 1% (http://en.wikipedia.org/wiki/induced_demand).
Fenomena ”Induced Demand” ini sangat potesial untuk terjadi di Jakarta dengan indikasi bahwa jumlah pengguna jalan tol inelastis terhadap tarif tol. Volume lalu lintas jalan tol dalam kota terus meningkat dari 95 juta per tahun pada tahun 1995 menjadi 186 juta pertahun pada tahun 2005, atau meningkat hampir 2 kali lipat. Pada sisi lain, tarif tol untuk kelas kendaraan penumpang dan truk kecil meningkat 1.8 kali lipat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 (CMNP, http://www.cmnp.co.id/).
Oleh sebab itu, pembangunan jalan baru handaknya dilakukan setelah semua upaya manajemen permintaan (termasuk ERP) tidak berhasil meningkatkan kinerja lalu lintas secara signifikan. Pembangunan jalan baru hendaknya dilihat sebagai salah satu upaya dalam mendukung manajemen permintaan lalu lintas.
Keuntungan ERP
Meskipun tujuan utama congestion pricing (ERP) adalah untuk mengurangi kemacetan, akan tetapi uang hasil pungutan biaya kemacetan dapat menjadi sumber dana pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan transportasi seperti meningkatkan pelayanan angkutan umum, peningkatan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, dan lain-lain.
Berdasarkan studi yang dilakukan PCI, PCKK, dan Sumitomo Corporation, aplikasi ERP di Jakarta layak secara ekonomi maupun finansial (periode evaluasi dari 2008 sampai dengan 2020).
a. Penghematan Konsumsi BBM.
Dengan melakukan simulasi sederhana berdasarkan kurva hubungan antara kecepatan dan konsumsi BBM tiap jenis kendaraan bermotor, serta dengan menggunakan data jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, maka dapat dihitung konsumsi BBM untuk tiap skenario kecepatan dan proporsi penggunaan kendaraan pribadi.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa secara rata-rata kecepatan dimana konsumsi BBM minimal adalah 50 km/jam.
Apabila aplikasi Congestion Pricing mampu meningkatkan kecepatan rata-rata lalu lintas dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), dan menurunkan volume kendaraan pribadi sebesar 10%, dan dengan asumsi panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka aplikasi Congestion Pricing di Jakarta akan menghemat penggunaan BBM dan subsidi sebesar 6.65 trilyun/tahun.
b. Penurunan Polusi Udara
Perhitungan penurunan polusi udara sebagai dampak menurunnya kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi dapat dilakukan dengan menggunakan formula laju emisi. Formula laju emisi yang dipergunakan adalah berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Marga No 60 Tahun 1999 tentang Pengesahan 13 pedoman teknik Dirjen Bina Marga. Laju emisi adalah besarnya massa polutan yang dilepaskan oleh satu kendaraan per kilometer jarak tempuh.
Dengan menggunakan data yang sama seperti perhitungan penghematan BBM, maka dengan asumsi kecepatan rata-rata lalu lintas akan naik dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), volume kendaraan pribadi menurun 10%, dan panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka akan didapat penurunan CO sebesar 35% per hari dan penurunan NOx sebesar 23% per hari.
Prasyarat Keberhasilan
Dukungan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya aplikasi road pricing (ERP). Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan dan harus mampu menjelaskan tujuan dan maksud ERP secara mudah dan jelas; bagaimana ERP akan mengatasi masalah-masalah kemacetan dan masalah transportasi lain; keuntungan dan kerugian ERP untuk masyarakat; bagaimana masalah equity dan privacy akan dilindungi; antisipasi terhadap pihak-pihak atau bisnis yang akan terpengaruh, terutama karena perubahan tata guna lahan; bagaimana pendapatan dari ERP akan dikelola dan dipergunakan
Selain itu,karena ERP salah satu tujuannya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, maka harus disediakan angkutan umum yang nyaman, aman, reliable, dan tariff terjangkau sehingga utilitas angkutan umum ini tidak jauh berbeda dengan utilitas kendaraan pribadi. ERP dan perbaikan angkutan umum juga harus didukung dengan penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pengguna sepeda. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa menjadi feeder bagi angkutan umum dan sekaligus sebagai moda alternatif.
ERP tidak akan berhasil apabila diterapkan secara parsial, tidak terintegrasi dengan strategi lain. ERP akan berhasil apabila merupakan salah satu bagian dari sebuah integrated transport policy. Beberapa teknik manajemen permintaan lalu lintas yang akan bersinergi baik dengan ERP seperti pajak bahan bakar; kontrol penggunaan dan pemilikan kendaraan; pengawasan land-use development dan Transit Oriented Development (TOD); Intelligent transport systems (ITS); parking controls dan pricing, dll.
Sebelum ERP diaplikasikan, hendaknya telah dipersiapkan landasan hukumnya, serta perangkat technology dan sumber daya manusia yang akan berfungsi dalam penegakan aturan (law enforcement). Landasan hukum yang akan digunakan juga harus memuat tentang lembaga yang akan mengoperasikan aspek teknis ERP, mengelola keuangan, dan melakukan law enforcement. Lembaga yang efisien, transparan, dan akuntable sangat menunjang keberhasilan aplikasi ERP.
ERP harus diterapkan dalam kondisi seluruh ruas jalan di dalam satu kota telah mengikuti standar design jalan perkotaan yang telah ditetapkan dan perilaku pengemudi mengikuti peraturan tata cara berlalu lintas yang berlaku. Hal ini untuk menghindari tuduhan bahwa kemacetan sebenarnya karena standar design jalan yang tidak tepat dan perilaku pengemudi yang tidak teratur.
Peningkatan standar design termasuk menghilangkan penggunaan ruas jalan dan trotoar untuk hal-hal yang tidak semestinya (contoh pedagang kaki lima), membatasi on-street parking, pembatasan akses untuk jalan-jalan tertentu, dan aplikasi manajemen lalu lintas yang tepat (seperti lampu lalu lintas, marka, median, rambu, dan lain-lain).
Penegakkan peraturan lalu lintas meliputi larangan berhenti pada tempat yang tidak semestinya, parkir pada tempat yang tidak semestinya, pengawasan kecepatan, pengawasan menyalip (merging, diverging), dan lain-lain. Perilaku yang tidak benar dalam berlalu lintas merupakan salah satu sumber kemacetan.
Elctronic Road Pricing (ERP) dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mengatasi kemacetan, hanya jika didukung kebijakan lain.
REFERENSI
Pickford A.T.W, & Blythe P.T. 2006, “Road User Charging and Electronic Toll Collection.”
Jaensirisak S. 2004, “Urban Road Pricing: From Theory To Practice.”
FHWA. 2006, “Issues and Options for Increasing the Use of Tolling and Pricing to Finance Transportation Improvements.”
Blythe, P.T. 2004, “Road User Charging in the UK. Where Will We Be 10 Years from Now?”
Crane, P. 2005 “Congestion Charging in Central London: Key Factors in Successful Delivery.”
Paparan PCI, PCKK, dan Sumitimo Corporation, 2008. “The Study on Jakarta Road Pricing in the Republic of Indonesia.”
JICA and Bappenas (2004) “The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek-Indonesia (Phase II). Final Report Vol.2.”
Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007, ”Survai Kecepatan dan Hambatan di Beberapa Ruas Jalan Utama Jakarta.”
http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=130
Dari berbagai studi, dapat disimpulkan, kota Jakarta menghadapi permasalahan transportasi perkotaan yang sangat besar. Dalam keseharian, permasalahan yang dapat dilihat adalah kemacetan di hampir seluruh jaringan jalan di kota Jakarta dan sekitarnya. Tingkat kemacetan di kota Jakarta, apabila dibandingkan dengan kota-kota lain di dunia, sudah termasuk dalam katagori yang membahayakan baik dari segi ekonomi dan sosialSecara umum, permasalahan transportasi di kota Jakarta dapat dikelompokan dalam beberapa hal berikut:
a. Sistem transportasi belum efisien sehingga menghambat aktifitas ekonomi.
Dari total waktu perjalanan pada beberapa ruas jalan, 40% merupakan waktu bergerak dan 60% merupakan waktu hambatan. Kecepatan rata-rata lalu lintas adalah 20.21 km/jam (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Kerugian ekonomi per tahun pada tahun 2002 akibat inefisensi sistem transportasi diperkirakan sebesar 5.5 trilyun, di mana 3 trilyun untuk biaya operasi kendaraan, dan 2.5 trilyun untuk biaya waktu perjalanan (SITRAMP, 2004).
b. Sistem transportasi belum menjamin pemerataan untuk seluruh anggota masyarakat
Lalu lintas di Jakarta didominasi oleh kendaraan pribadi, jumlah angkutan umum (bus) hanya 4%, sepeda motor 67%, mobil pribadi 23% (Polda Metro Jaya, 2006). Pertumbuhan kendaraan dalam lima tahun terakhir mencapai 9.5% per tahun (paparan Dirjen Bina Marga ke KKPPI tanggal 18 Desember 2007).
Proporsi volume lalu lintas pada beberapa koridor utama adalah: sepeda motor 60%, sedan 32%. Angkutan umum (mobil penumpang umum-MPU, bus sedang, dan bus besar) 5% (Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007).
Pada sisi lain, permintaan angkutan umum lebih besar dari permintaan angkutan pribadi. Pengguna angkutan umum sekitar 54.7%, dimana 52.7% menggunakan bus (bus besar, bus sedang, dan mikrobus) dan 2% menggunakan kereta api (SITRAMP, 2004). Pengguna angkutan umum sebagian besar adalah masyarakat berpenghasilan rendah (64.5%) dan masyarakat berpenghasilan menengah (52.8%) (SITRAMP, 2004)
Fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna kendaraan tidak bermotor sangat minim
c. Besarnya kontribusi sistem transportasi terhadap dampak lingkungan
25 dari 33 stasiun pemantau kualitas udara menunjukkan kadar PM10 telah melebihi ambang batas, bahkan terdapat sepuluh stasiun yang menunjukkan kadar PM10 mencapai lebih dari 2 kali lipat dari ambang batas yang telah ditetapkan. Kerugian ekonomi akibat kualitas udara yang rendah diperkirakan mencapai 2.8 trilyun pada tahun 2002 (SITRAMP, 2004).
Apabila kualitas dan kuantitas angkutan umum tidak diperbaiki, maka akan terjadi peningkatan penggunaan kendaraan pribadi. Dengan kondisi ini, diperkirakan akan terjadi peningkatan greenhouse gases (seperti CO2) dari tahun 2002 sampai dengan 2020 sebesar 2.35 kali (SITRAMP, 2004).
d. Sistem transportasi belum memenuhi tingkat keselamatan dan keamanan
Angka kecelakaan baik transportasi jalan maupun Kereta Api masih tinggi. Untuk Kereta Api, dari tahun 2000-2002 terjadi 174 kecelakaan. Angka ini jauh lebih tinggi dibanding negara berkembang lain (SITRAM, 2004).
Jumlah korban kecelakaan di jalan tol dalam kota mangalami penurunan dari sekitar 380 pada tahun 1995 menjadi sekitar 200 pada tahun 2006. Akan tetapi proporsi jumlah korban dengan luka berat dan meninggal dunia relatif stabil (CMNP, http://www.cmnp.co.id/).
Upaya Penanganan Belum Optimal
Berbagai solusi telah dilakukan Pemerintah DKI untuk mengatasi permasalahan transportasi perkotaan di kota Jakarta. Akan tetapi upaya-upaya tersebut belum mampu untuk memberikan hasil yang diharapkan.
a. Area Traffic Control System (ATCS)
ATCS dimaksudkan untuk mengurangi waktu hambatan di persimpangan dengan mengoptimalkan sistem persimpangan dengan lampu lalu lintas, sehingga akan diperoleh gelombang hijau (green wave) antara satu persimpangan dengan persimpangan yang lain. Dengan green wave maka apabila pengguna jalan mendapatkan lampu hijau pada satu persimpangan dan pengguna jalan tersebut mengikuti batas kecepatan yang ditentukan, maka akan mendapat lampu hijau pada persimpangan berikutnya.
Solusi ini belum memberikan hasil yang diharapkan karena beban volume lalu lintas yang tinggi, banyaknya hambatan samping pada ruas jalan dan persimpangan, dan kondisi teknis infrastruktur ATCS yang kurang mamadai.
b. Aturan 3 in 1
Aturan ini mewajibkan semua kendaraan pribadi yang akan melewati jalan Sudirman dan Thamrin, berpenumpang 3 orang atau lebih termasuk pengemudi. Diterapkan hanya pada jam sibuk pagi dan sore.Skema ini sedikit banyak telah mampu menekan penggunaan kendaraan pribadi pada koridor utama tersebut, akan tetapi hal ini tidak berpengaruh banyak terhadap keseluruhan sistem transportasi perkotaan di Jakarta. Terdapat beberapa kelemahan dari skema ini antara lain: (1) tidak adanya manajemen atau aturan yang melarang pengunaan jalan-jalan lokal, sehingga pengguna jalan akan mencari jalan-jalan lokal (jalan tikus) yang ada untuk menghindari daerah 3 in 1, ini memindahkan kemacetan ke daerah lain, (2) beroperasinya penyedia jasa ilegal yang berperan sebagai penumpang (jockey) dengan imbalan sejumlah uang, untuk melengkapi jumlah penumpang menjadi 3, dan (3) daerah cakupan aturan ini terbatas pada satu koridor dan tidak didukung dengan skema manajamen permintaan yang lain (seperti manajemen parkir) serta alternatif sistem angkutan umum yang baik.
c. Pengembangan Bus Rapid Transit (BRT)
Bus Rapid Transit (BRT) dikembangkan di Jakarta dengan membangun Bus Only Lane (Busway) di beberapa koridor utama di Jakarta. Busway dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan angkutan umum dan mampu menarik pengguna kendaraan pribadi untuk menggunakan angkutan umum ini (Busway) sehingga akan mengurangi kemacetan.
Solusi ini juga belum memberikan hasil yang optimal, Busway belum bisa berbuat banyak untuk menarik minat pengguna kendaraan pribadi. Hal ini dimungkinkan terjadi karena opportunity cost dan standard kebutuhan kenyamanan pengguna kendaraan pribadi relatif tinggi dimana hal ini belum mampu dipenuhi oleh Busway, serta daerah pelayanan yang terbatas dan belum menjangkau daerah pinggiran Jakarta
d. Penertiban Parkir dan Pedagang Kaki Lima
Penggunaan ruas jalan untuk parkir (on-street parking) dan pedagang kaki lima (juga di trotoir) akan mengurangi kapasitas jalan. Untuk mengatasi hal ini, Pemerintah DKI Jakarta telah melakukan upaya penertiban dengan melarang dan merazia pedagang kaki lima serta penggembokan terhadap kendaraan-kendaraan yang parkir pada ruas jalan yang tidak disediakan untuk parkir.
Upaya ini belum begitu efektif dan tidak terlihat dampaknya terhadap perbaikan lalu lintas. Hal ini dimungkinkan karena tidak adanya konsistensi kebijakan, penegakan aturan yang kurang maksimal, dan masih banyaknya area on-street parking yang diijinkan.
e. Pembangunan Ruas Jalan Toll Dalam Kota.
Dalam beberapa tahun terakhir, telah dibangun beberapa ruas jalan toll di kota Jakarta sebagai upaya untuk menambah kapasitas jaringan jalan di Jakarta.
Pembangunan ruas jalan toll di Jakarta belum mampu mengatasi kemacetan di Jakarta. Terdapat kecenderungan, peningkatan kapasitas jalan justru menjadi salah satu variabel yang mendorong penggunaan kendaraan pribadi.
Electronic Road Pricing (ERP)
Salah satu strategi dalam kebijakan system transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport system policy) adalah manajemen permintaan perjalanan (travel demand management). Secara umum, tujuan dari kebijakan travel demand management adalah untuk mendorong pengguna jalan untuk mengurangi perjalanan yang relative tidak perlu (terutama pengguna kendaraan pribadi) dan mendorong penggunaan moda transportasi yang lebih efektif, lebih sehat, dan ramah lingkungan. Kebijakan travel demand management dapat dikelompokan menjadi tiga grup yaitu: instrumen-instrumen regulasi (regulatory instruments), persetujuan-persetujuan kerjasama (cooperative agreements), dan instrument-instrument ekonomi (economic instruments).
a. Regulatory instruments umumnya ditetapkan oleh pemerintah dan berisi standar-standar, larangan-larangan dan prosedur administrasi untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, sebagai contoh penetapan hari bebas kendaraan, melarang kendaraan pribadi untuk wilayah tertentu, batasan jumlah penumpang lebih dari 3, dan lain-lain.
b. Cooperative instruments adalah keterlibatan individu, perusahaan swasta atau institusi pemerintah dalam mengurangi kemacetan lalu lintas, sebagai contoh carpooling.
c. Economic instruments menggunakan insentif dan/atau disinsentif untuk mencapai tujuan transportasi yang berkelanjutan (sustainable transport). Salah satu economic instrument yang sering diaplikasikan adalah road pricing.
Road Pricing adalah pengenaan biaya secara langsung terhadap pengguna jalan karena melewati ruas jalan tertentu. Pada dasarnya terdapat dua tujuan dari pengenaan Road Pricing yaitu untuk menambah pendapatan suatu daerah atau Negara, atau suatu sarana untuk mengatur penggunaan kendaraan agar tidak terjadi kemacetan.
Terdapat beberapa tujuan utama dari road pricing, yaitu mengurangi kemacetan, menjadi sumber pendapatan daerah, mengurangi dampak lingkungan, mendorong penggunaan angkutan umum masal.
Ada beberapa pengelompokan road pricing berdasarkan tujuan.
Tabel 1 – Pengelompokan Road Pricing
Nama Deskripsi Tujuan
Road toll (fixed rates) Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu. Untuk meningkatkan pendapatan dan investasi.
Congestion pricing (time-variable) Pengenaan biaya didasarkan atas kepadatan lalu lintas, jika lalu lintas padat maka biaya yang dikenakan akan tinggi, namun sebaliknya jika lalu tidak padat maka biaya yang dikenakan akan rendah Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi kemacetan.
Cordon fees Pengenaan biaya atas penggunaan jalan-jalan tertentu Mengurangi kemacetan di pusat-pusat kota.
HOV lanes Bagi kendaraan yang tidak bisa banyak menampung jumlah penumpang, akan dikenakan pungutan Untuk mendorong peralihan penggunaan kendaraan pribadi kepada penggunaan kendaraan yang memilik daya tampung yang banyak, sehingga jumlah kendaraan di jalanraya dapat dikurangi.
Distance-based fees Biaya yang dikenakan terhadap kendaraan bergantung pada seberapa jauh kendaraan digunakan Untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi berbagai masalah lalu lintas.
Pay-As-You-Drive insurance Membagi rata pembayaran berdasarkan jarak sehingga asuransi kendaraan menjadi biaya yang tidak tetap. Mengurangi berbagi masalah lalu lintas khususnya kecelakaan lalu lintas.
Road space rationing Penggunaan batasan tertentu di jam-jam padat lalu lintas (misalnya berdasarkan nomor kendaraan) Untuk mengurangi kemacetan di Jalan-jalan utama atau di pusat-pusat kota.
Congestion pricing (pungutan biaya kemacetan) merupakan salah satu economic instruments yang bertujuan untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Electronic Road Pricing (ERP) merupakan salah satu sebutan untuk Congestion Pricing. Dengan congestion pricing, pengguna kendaraan pribadi akan dikenakan biaya jika mereka melewati satu area atau koridor yang macet pada periode waktu tertentu. Pengguna kendaraan pribadi, akhirnya, harus menentukan apakah akan meneruskan perjalanannya melalui area atau koridor tersebut dengan membayar sejumlah uang, mencri rute lain, mencari tujuan perjalanan lain, merubah waktu dalam melakukan perjalanan, tidak jadi melakukan perjalanan, atau berpindah menggunakan moda lain yang diijinkan untuk melewati area atau koridor tersebut
Biaya yang dikenakan juga bertujuan untuk memberikan kesadaran kepada pengguna kendaraan pribadi bahwa perjalanan mereka dengan kendaraan pribadi mempunyai kontribusi terhadap kerusakan lingkungan dan kerugian kepada masyarakat yang tidak mengunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini seringkali tidak dipikirkan oleh masyarakat dan pengambil kebijakan. Congestion pricing telah sukses diaplikasikan di beberapa kota seperti Singapore, Oslo, Stockholm, dan London. Dana yang terkumpul, bisa juga dijadikan sebagai salah satu sumber pembiayaan untuk mendukung beroperasinya moda transportasi yang lebih efektif, sehat, dan ramah lingkungan sepert Bus Rapid Transit, Mass Rapid Transit, dan lain-lain.
a. Singapore
Singapore merupakan kota pertama yang mengaplikasikan ERP (sejak tahun 1998), pada awalnya disebut urban road user charging. Tujuannya adalah untuk membatasi lalu lintas yang masuk CBD pada saat jam puncak untuk mengurangi kemacetan. Sebelum ERP, Singapore menggunakan Area-Licensing Scheme (ALS), pada tahun 1998, ALS diganti dengan Electronic Road Pricing (ERP).
Harga untuk memasuki daerah atau koridor ERP bervariasi berdasarkan rata-rata kecepatan jaringan. Harga yang bervariasi tersebut ditujukan untuk mempertahankan kecepatan antara 45-65 km/jam pada expressways dan 20-30 km/jam pada jalan arteri.
Dampak diterapkanya congestion pricing atau ERP di Sangapore cukup signifikan. Prosentase penggunaan carpools dan bus meningkat dari 41% menjadi 62%, dan volume lalu lintas yang menuju daerah diterapkannya congestion pricing menurun sampai dengan 44%.
b. London
ERP diaplikasikan di London pada 17 Pebruari 2003. Tujuan dari aplikasi ERP di London adalah untuk mengurangi kemacetan, meningkatkan reliabilitas waktu perjalanan, dan mengurangi polusi udara.
Aplikasi ERP di London memberikan beberapa hasil positif antara lain:
• Penurunan volume lalu lintas 15 %
• Penurunan kemacetan 30%
• Penurunan polusi 12% (NOx, PM10)
• Perjalanan menjadi lebih reliable
• Reliabilitas bus schedule meningkat signifikan
• Kecelakaan lalu lintas menurun
• Peningkatan kecepatan tidak meningkatkan fatalitas kecelakan
• Tidak terjadi dampak lalu lintas yang besar di daerah diluar area congestion charging
• Menjadi sumber pendapatan yang sebagian besar dipakai untuk perbaikan pelayanan angkutan umum
Beberapa hasil positif yang bisa dicatat adalah:
• Menurunnya prosentase lalu lintas ke/dari pusat kota dari 20-25% menjadi 10-15%
• Meningkatnya aksesibilitas yang ditandai dengan penurunan antrian di pusat kota dan daerah-daerah dekat pusat kota sebesar 30-50%
• Menurunnya total emisi kendaraan bermotor antara 10-14% di pusat kota, dan antara 2-3% untuk total satu kota.
Mengapa ERP
Permasalahan transportasi perkotaan di Jakarta mempunyai kecenderungan semakin bertambah parah. Indikasi ini bisa dilihat dari berbagai studi yang dipaparkan di awal tulisan ini. Apabila terus dibiarkan, maka bukan tidak mungkin Jakarta akan mengalami kemacetan yang sangat parah atau bahkan macet total pada jam-jam sibuk
ERP diharapkan mampu mengurangi perjalanan dengan kendaraan pribadi dan mengurangi perjalanan yang tidak perlu, terutama pada jam-jam sibuk.
Peningkatan kapasitas jalan tanpa dibarengi disinsentif terhadap pengguna kendaraan pribadi justru memungkinkan untuk meningkatkan laju pertumbuhan lalu lintas, atau biasa dikenal dengan fenomena induced demand. Banyak studi telah mengungkapkan fenomena induced demand ini. Induced demand adalah sebuah fenomena dimana ketika supply ditambah maka konsumsi akan meningkat. Hal ini karena konsumsi tinggi yang tidak terlayani.
Beberapa studi di negara maju menunjukkan bahwa elastisitas permintaan perjalanan (traffic demand) terhadap penambahan kapasitas jalan berkisar antara 0 sampai 1. Artinya, jika kapasitas jalan meningkat sebesar 1% maka permintaan perjalanan juga akan meningkat. Bahkan untuk jangka panjang bisa melebihi 1% (http://en.wikipedia.org/wiki/induced_demand).
Fenomena ”Induced Demand” ini sangat potesial untuk terjadi di Jakarta dengan indikasi bahwa jumlah pengguna jalan tol inelastis terhadap tarif tol. Volume lalu lintas jalan tol dalam kota terus meningkat dari 95 juta per tahun pada tahun 1995 menjadi 186 juta pertahun pada tahun 2005, atau meningkat hampir 2 kali lipat. Pada sisi lain, tarif tol untuk kelas kendaraan penumpang dan truk kecil meningkat 1.8 kali lipat dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2005 (CMNP, http://www.cmnp.co.id/).
Oleh sebab itu, pembangunan jalan baru handaknya dilakukan setelah semua upaya manajemen permintaan (termasuk ERP) tidak berhasil meningkatkan kinerja lalu lintas secara signifikan. Pembangunan jalan baru hendaknya dilihat sebagai salah satu upaya dalam mendukung manajemen permintaan lalu lintas.
Keuntungan ERP
Meskipun tujuan utama congestion pricing (ERP) adalah untuk mengurangi kemacetan, akan tetapi uang hasil pungutan biaya kemacetan dapat menjadi sumber dana pemerintah daerah dalam meningkatkan pelayanan transportasi seperti meningkatkan pelayanan angkutan umum, peningkatan fasilitas bagi pejalan kaki dan pengguna sepeda, dan lain-lain.
Berdasarkan studi yang dilakukan PCI, PCKK, dan Sumitomo Corporation, aplikasi ERP di Jakarta layak secara ekonomi maupun finansial (periode evaluasi dari 2008 sampai dengan 2020).
a. Penghematan Konsumsi BBM.
Dengan melakukan simulasi sederhana berdasarkan kurva hubungan antara kecepatan dan konsumsi BBM tiap jenis kendaraan bermotor, serta dengan menggunakan data jumlah kendaraan bermotor di Jakarta, maka dapat dihitung konsumsi BBM untuk tiap skenario kecepatan dan proporsi penggunaan kendaraan pribadi.
Dari gambar diatas dapat dilihat bahwa secara rata-rata kecepatan dimana konsumsi BBM minimal adalah 50 km/jam.
Apabila aplikasi Congestion Pricing mampu meningkatkan kecepatan rata-rata lalu lintas dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), dan menurunkan volume kendaraan pribadi sebesar 10%, dan dengan asumsi panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka aplikasi Congestion Pricing di Jakarta akan menghemat penggunaan BBM dan subsidi sebesar 6.65 trilyun/tahun.
b. Penurunan Polusi Udara
Perhitungan penurunan polusi udara sebagai dampak menurunnya kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi dapat dilakukan dengan menggunakan formula laju emisi. Formula laju emisi yang dipergunakan adalah berdasarkan Keputusan Dirjen Bina Marga No 60 Tahun 1999 tentang Pengesahan 13 pedoman teknik Dirjen Bina Marga. Laju emisi adalah besarnya massa polutan yang dilepaskan oleh satu kendaraan per kilometer jarak tempuh.
Dengan menggunakan data yang sama seperti perhitungan penghematan BBM, maka dengan asumsi kecepatan rata-rata lalu lintas akan naik dari 20 km/jam menjadi 30 km/jam (naik 10 km/jam), volume kendaraan pribadi menurun 10%, dan panjang perjalanan rata-rata 10 km, maka akan didapat penurunan CO sebesar 35% per hari dan penurunan NOx sebesar 23% per hari.
Prasyarat Keberhasilan
Dukungan masyarakat akan sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya aplikasi road pricing (ERP). Pemerintah harus melibatkan masyarakat dalam mengambil keputusan dan harus mampu menjelaskan tujuan dan maksud ERP secara mudah dan jelas; bagaimana ERP akan mengatasi masalah-masalah kemacetan dan masalah transportasi lain; keuntungan dan kerugian ERP untuk masyarakat; bagaimana masalah equity dan privacy akan dilindungi; antisipasi terhadap pihak-pihak atau bisnis yang akan terpengaruh, terutama karena perubahan tata guna lahan; bagaimana pendapatan dari ERP akan dikelola dan dipergunakan
Selain itu,karena ERP salah satu tujuannya adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi, maka harus disediakan angkutan umum yang nyaman, aman, reliable, dan tariff terjangkau sehingga utilitas angkutan umum ini tidak jauh berbeda dengan utilitas kendaraan pribadi. ERP dan perbaikan angkutan umum juga harus didukung dengan penyediaan fasilitas pejalan kaki dan pengguna sepeda. Fasilitas-fasilitas tersebut bisa menjadi feeder bagi angkutan umum dan sekaligus sebagai moda alternatif.
ERP tidak akan berhasil apabila diterapkan secara parsial, tidak terintegrasi dengan strategi lain. ERP akan berhasil apabila merupakan salah satu bagian dari sebuah integrated transport policy. Beberapa teknik manajemen permintaan lalu lintas yang akan bersinergi baik dengan ERP seperti pajak bahan bakar; kontrol penggunaan dan pemilikan kendaraan; pengawasan land-use development dan Transit Oriented Development (TOD); Intelligent transport systems (ITS); parking controls dan pricing, dll.
Sebelum ERP diaplikasikan, hendaknya telah dipersiapkan landasan hukumnya, serta perangkat technology dan sumber daya manusia yang akan berfungsi dalam penegakan aturan (law enforcement). Landasan hukum yang akan digunakan juga harus memuat tentang lembaga yang akan mengoperasikan aspek teknis ERP, mengelola keuangan, dan melakukan law enforcement. Lembaga yang efisien, transparan, dan akuntable sangat menunjang keberhasilan aplikasi ERP.
ERP harus diterapkan dalam kondisi seluruh ruas jalan di dalam satu kota telah mengikuti standar design jalan perkotaan yang telah ditetapkan dan perilaku pengemudi mengikuti peraturan tata cara berlalu lintas yang berlaku. Hal ini untuk menghindari tuduhan bahwa kemacetan sebenarnya karena standar design jalan yang tidak tepat dan perilaku pengemudi yang tidak teratur.
Peningkatan standar design termasuk menghilangkan penggunaan ruas jalan dan trotoar untuk hal-hal yang tidak semestinya (contoh pedagang kaki lima), membatasi on-street parking, pembatasan akses untuk jalan-jalan tertentu, dan aplikasi manajemen lalu lintas yang tepat (seperti lampu lalu lintas, marka, median, rambu, dan lain-lain).
Penegakkan peraturan lalu lintas meliputi larangan berhenti pada tempat yang tidak semestinya, parkir pada tempat yang tidak semestinya, pengawasan kecepatan, pengawasan menyalip (merging, diverging), dan lain-lain. Perilaku yang tidak benar dalam berlalu lintas merupakan salah satu sumber kemacetan.
Elctronic Road Pricing (ERP) dapat menjadi salah satu strategi yang efektif untuk mengatasi kemacetan, hanya jika didukung kebijakan lain.
REFERENSI
Pickford A.T.W, & Blythe P.T. 2006, “Road User Charging and Electronic Toll Collection.”
Jaensirisak S. 2004, “Urban Road Pricing: From Theory To Practice.”
FHWA. 2006, “Issues and Options for Increasing the Use of Tolling and Pricing to Finance Transportation Improvements.”
Blythe, P.T. 2004, “Road User Charging in the UK. Where Will We Be 10 Years from Now?”
Crane, P. 2005 “Congestion Charging in Central London: Key Factors in Successful Delivery.”
Paparan PCI, PCKK, dan Sumitimo Corporation, 2008. “The Study on Jakarta Road Pricing in the Republic of Indonesia.”
JICA and Bappenas (2004) “The Study on Integrated Transportation Master Plan for Jabodetabek-Indonesia (Phase II). Final Report Vol.2.”
Kedeputian V Menko Perekonomian, 2007, ”Survai Kecepatan dan Hambatan di Beberapa Ruas Jalan Utama Jakarta.”
http://bulletin.penataanruang.net/view/_printart.asp?idart=130
Langganan:
Postingan (Atom)